Kontroversi Sebutir Pertimbangan

Mahkamah Konstitusi menyatakan wewenang KPK mengambil alih kasus korupsi tak mengandung asas berlaku surut. Tapi ada pertimbangan yang ganjil.

Wajah kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu menegang. Ketua KPK, Taufieqqurahman Ruki, amat serius menyimak putusan yang terpampang pada layar lebar melalui alat infocus. Begitu juga wakilnya, Erry Riyana Hardjapamekas. Berkali-kali ia mengernyitkan dahi sambil memperhatikan putusan, kalimat demi kalimat. Barulah ketika pembacaan putusan sampai pada halaman terakhir, wajah mereka jadi sumringah.

Di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, emosi kedua petinggi KPK tersebut bagai dipermainkan oleh hakim konstitusi, Selasa pekan lalu. Hari itu sebuah permohonan uji material yang menyangkut kewenangan KPK sedang diputus.

Saat pembacaan pertimbangan hukum, kelihatannya permohonan mereka bakal dikabulkan. Eh, ternyata tidak, ujar Erry. Jika permohonan itu dikabulkan, memang gawat, wewenang KPK mengambil alih kasus korupsi yang telah diusut aparat lain sebelum lembaga ini berdiri bisa lenyap.

Permohonan itu diajukan oleh H.D. Bram Manoppo, Direktur Utama PT Putra Pobiagan Mandiri. Dia adalah salah satu tersangka dalam kasus korupsi pengadaan helikopter Rusia yang melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh. Sebagai pengusaha rekanan Gubernur, ia dituduh terlibat dalam mark-up pengadaan helikopter. Sempat ditangani oleh polisi, kasus ini akhirnya diambil alih KPK.

Nah, Bram menilai Pasal 68 Undang-Undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menjadi dasar pengambilalihan itu, tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan semua penanganan kasus korupsi yang belum selesai saat KPK dibentuk dapat diambil alih oleh lembaga ini. Di mata pemohon, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28i Ayat 1 UUD 1945, yang menolak asas berlaku surut alias retroaktif. Di situ dinyatakan: hak setiap orang untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Karena merasa haknya dilanggar, Bram memohon agar Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 68 tersebut. Buat memperkuat permohonannya, ia juga menyebut Pasal 70 dan 72 Undang-Undang KPK. Pasal 70 menyatakan KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenang satu tahun setelah undang-undang itu diundangkan. Adapun Pasal 72 menegaskan undang-undang itu mulai berlaku saat tanggal diundangkan. Undang-undang KPK diundangkan pada 27 Desember 2002, berarti pula lembaga ini baru berfungsi pada akhir 2003. Sang pemohon perlu mengungkapkan hal ini karena pengadaan helikopter terjadi pada 2001 sampai Juli 2002, jauh sebelum KPK berdiri.

Dalam putusannya, majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menilai permohonan itu kurang beralasan. Faktanya, Bram belum pernah diperiksa oleh kepolisian dan kejaksaan selain oleh KPK. Sehingga tidak ada korelasi linear antara tindakan KPK yang memeriksa Bram dan konteks pengambilalihan sesuai dengan Pasal 68, ujar Jimly saat membacakan putusan. Lagi pula, selama ini Bram diperiksa berdasarkan Pasal 6c Undang-Undang KPK, yang menyebutkan tugas lembaga ini untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pasal 68 sama sekali tidak disebutkan dalam pemanggilan tersangka.

Itulah sebabnya hakim konstitusi menyatakan argumentasi Bram bahwa KPK menerapkan asas retroaktif dalam pemeriksaan tidak berkaitan dengan masalah yang perlu diuji Mahkamah. Ini tidak bertalian dengan sesuai-tidaknya aturan dalam undang-undang dengan konstitusi, tapi hanya menyangkut soal penerapan undang-undang. Soal penerapan undang-undang bukan Mahkamah Konstitusi yang berhak memeriksa, melainkan pengadilan biasa atau pengadilan tindak pidana korupsi, begitu pendapat majelis hakim.

Bahkan dalam putusan itu juga diungkapkan, dua hakim konstitusi sebenarnya menilai Bram tidak memiliki kapasitas mengajukan gugatan (legal standing) karena tidak ada hak-hak konstitusional yang dideritanya. Siapa saja mereka? Itu rahasia, ujar Jimly seusai membacakan putusan.

Kendati begitu, hakim konstitusi juga menyatakan pendapat tentang Pasal 68 Undang-Undang KPK. Setelah menimbang berbagai pendapat ahli hukum, mereka menegaskan bahwa pasal tersebut tidak mengandung asas berlaku surut, walaupun lembaga ini dapat mengambil alih kasus yang telah ditangani (aparat lain) sebelum lembaga itu berdiri.

Dengan berbagai pertimbangan seperti itu, akhirnya permohonan Bram Manoppo ditolak oleh hakim konstitusi. Itulah yang membuat Taufieqqurahman maupun Erry Riyana lega.

Persoalan selesai? Ternyata belum. Soalnya, dalam salah satu butir pertimbangannya, majelis konstitusi juga mengeluarkan pendapat mengenai Pasal 72 Undang-Undang KPK. Di situ dinyatakan undang-undang tersebut berlaku saat diundangkan. Artinya, demikian pendapat majelis, keseluruhan Undang-Undang KPK hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang terjadi setelah undang-undang ini diundangkan. Undang-Undang KPK berlaku ke depan (prospektif), kata Jimly saat membacakan putusan. Dengan kata lain, ditegaskan pula dalam pertimbangan itu, Undang-Undang KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang terjadi sebelum undang-undang ini diberlakukan.

Pertimbangan itulah yang mengundang kontroversi karena kurang selaras dengan putusannya. Ini menyediakan celah bagi pemohon dan tersangka lain dalam kasus pengadaan helikopter Rusia, termasuk Abdullah Puteh, untuk meloloskan diri dari jeratan KPK.

Jangan heran jika kuasa hukum pemohon, M. Assegaf, menyambut gembira kendati permohonan kliennya ditolak. Dia merasa kliennya tetap dimenangkan karena hakim konstitusi jelas menegaskan bahwa KPK tidak berwenang menangani kasus-kasus sebelum undang-undang tentang KPK disahkan. Artinya, kata dia, Undang-Undang KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang terjadi sebelum KPK terbentuk. Meski putusan ditolak, kami telah dimenangkan, ujar Assegaf.

Toh, Assegaf mengakui kehebatan KPK karena menggunakan Pasal 6c ketika memeriksa kliennya, bukan menggunakan Pasal 68. KPK menggunakan pasal yang disamarkan, ujarnya. Ini yang membuat permohonan kliennya ditolak.

Berbekal pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang KPK, Assegaf pada keesokan harinya, dalam sidang kasus Abdullah Puteh, langsung meminta hakim agar menghentikan persidangan itu. Dia juga meminta pemeriksaan terhadap Bram dihentikan. Jika tidak, berarti KPK tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi, ujarnya.

Mungkinkah satu butir pertimbangan dijadikan dasar untuk memereteli wewenang KPK? Inilah yang menjadi perdebatan hukum. Yang pasti, Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie mengatakan yang mengikat adalah amar putusan majelis konstitusi, bukan pertimbangannya. Putusan Mahkamah Konstitusi kan sudah jelas, menolak permohonan, katanya.

Kendati begitu, Taufieqqurahman Ruki, yang semula sumringah, belakangan tampak kurang puas terhadap putusan MK setelah memelototi pertimbangan yang kontroversial itu. Menurut dia, Mahkamah Konstitusi seharusnya menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan tujuan diterbitkannya Undang-Undang KPK. Begitu pula Erry Riyana. Ia menilai pertimbangan hakim telah menciptakan celah baru. Seharusnya putusan itu tegas saja menyatakan gugatan ditolak, ujarnya.

Menurut praktisi hukum Frans Hendra Winarta, semestinya majelis konstitusi hanya menyoroti Pasal 68 Undang-Undang KPK, sesuai dengan permintaan pemohon. Hakim konstitusi cukup memutus apakah pasal itu selaras atau tidak dengan UUD 1945, ujarnya. Yang terjadi, pertimbangan majelis terlalu meluas, sampai menilai juga Pasal 70 dan 72 Undang-Undang KPK. Ini yang bisa menimbulkan salah penafsiran.

Salah seorang hakim konstitusi, I Dewa Gde Palguna, mengungkapkan penjabaran Pasal 70 dan 72 sebenarnya sesuai dengan yang diminta Bram. Kami menjabarkan apa yang diminta dan didalilkan pemohon, katanya. Ia juga meminta agar membaca putusan itu secara utuh. Putusan itu harus dibaca utuh. Jangan sepenggal-sepenggal atau mengambil bagian tertentu saja, ujarnya.

Terlepas dari perdebatan, sejauh ini KPK tidak terlalu mempedulikan permintaan Bram Manoppo lewat kuasa hukumnya agar penyidikannya terhadap dirinya dihentikan. Pimpinan KPK rupanya tetap berpegang pada putusan Mahkamah Konstitusi dan bukan secuil pertimbangannya. Wakil Ketua KPK, Tumpak H. Panggabean, menegaskan lembaganya akan tetap memeriksa perkara yang terjadi sebelum Undang-Undang KPK berlaku. Sepanjang cukup bukti, kami akan meneruskan pemeriksaan itu, ujarnya.(Sukma N. Loppies)

Sumber: Majalah Tempo, No. 52/XXXIII/21 - 27 Feb 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan