Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi

Kendati Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan judicial review yang diajukan Bram H.D. Manoppo, Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri yang menjadi tersangka dalam kasus pengadaan helikopter Mi-2 di Nanggroe Aceh Darussalam, berbagai pihak rupanya tidak cukup bergembira atas putusan MK. Putusan itu dinilai telah memberikan celah baru bagi terbebasnya Abdullah Puteh dan Bram Manoppo sendiri, sekaligus dinilai telah melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi.

Pro dan kontra atas putusan pengadilan adalah hal yang biasa terjadi. Dengan adanya beragam pendapat, justru sebuah putusan akan mengalami pengayaan-pengayaan yang nantinya akan berguna untuk memutuskan hal serupa di masa depan. Dengan catatan, putusan tersebut memang dicapai dengan sebuah proses peradilan yang fair dan jauh dari praktek suap-menyuap (judicial corruption). Akan tidak ada gunanya mendebatkan putusan yang diambil karena hakim telah berpihak atau telah dibayar. Dalam pijakan seperti inilah saya ingin mengajak kembali mendiskusikan putusan MK, terlepas apakah kita setuju atau tidak dengan putusan tersebut.

Pertama-tama yang ingin dijelaskan adalah isi putusan MK itu sendiri. Berita-berita yang berkembang di media massa kadang tidak cukup secara komprehensif merekam kejadian sesungguhnya. Sering sebuah media hanya memuat sebuah moment opname dari sebuah kejadian. Lalu para komentator yang mengiringinya hanya melandaskan diri pada berita tersebut. Akibatnya, sering terjadi distorsi dalam sebuah diskursus yang berkembang.

Judicial review yang dimintakan Bram Manoppo adalah terhadap Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasal tersebut berbunyi, Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

Pemohon membangun argumentasinya dengan menyatakan bahwa pasal tersebut mengandung ketentuan berlaku surut (retroaktif). Karena itu, bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun.

Untuk sampai pada putusan menolak atau mengabulkan permohonan, hakim-hakim MK menggunakan dua pendekatan. Pertama, membuktikan dulu apakah Pasal 68 mengandung ketentuan retroaktif atau tidak. Kedua, bila ternyata retroaktif, apakah pemberlakuan secara retroaktif ketentuan hukum bagi pemberantasan korupsi dapat dibenarkan dari kacamata konstitusi atau tidak. Pendekatan kedua akan digunakan bila klaim pemohon bahwa Pasal 68 mengandung ketentuan retroaktif dapat dibenarkan.

Ternyata, setelah melalui proses persidangan, MK berkesimpulan bahwa Pasal 68 tidak mengandung ketentuan retroaktif. Karena itu, tidak cukup alasan bagi pemohon untuk menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28I ayat (1). MK pun kemudian menolak permohonan pemohon. Begitulah sesungguhnya putusan MK atas permohonan judicial review Bram Manoppo.

Pertempuran para hakim MK belum masuk pada wilayah apakah delik korupsi dapat ditembus dengan ketentuan retroaktif atau tidak. Pertempuran itu terhenti dengan kesimpulan sama bahwa pasal 68 tidak mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut. Karena itu, tidak cukup alasan untuk mempertentangkannya dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Tulisan rekan saya, A. Irmanputraputra Sidin (Kewenangan KPK Reatroaktif?, Koran Tempo, 16/2), yang membahas bisa-tidaknya KPK melakukan kewenangan secara retroaktif, sesungguhnya sudah terlalu jauh (beyond) dari kasus pengujian yang dihadapi MK kali ini.

Persoalan yang berkembang kemudian adalah bukan terletak pada amar putusan MK, melainkan pada pertimbangan yang mendasari putusan tersebut. Padahal bila amar putusan saja yang dipegang, tidak perlu ada keraguan sedikit pun akan eksistensi UU KPK dan KPK pascaputusan MK. UU KPK dan eksistensi KPK sama sekali tidak berubah setelah adanya putusan MK. Dua hal tersebut tetap seperti apa adanya. KPK tetap dapat melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU KPK, termasuk mengambil alih semua tindak pidana yang proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya belum selesai dan mengalami kendala seperti yang disebut dalam Pasal 9 UU KPK.

Harus diakui, di kalangan hakim memang berbeda dalam memaknai tidak retroaktifnya Pasal 68 UU KPK. Ada hakim yang berpendapat bahwa pasal 68 tidak retroaktif karena pengambilalihan tersebut dibatasi terhadap tindak pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah UU KPK diundangkan (27 Desember 2002). Sebab, pada saat diundangkannya UU KPK tersebut, kewenangan KPK sudah ada, walaupun KPK sendiri belum melaksanakan kewenangannya (KPK belum terbentuk karena lima komisionernya belum dipilih).

Tegasnya, kewenangan pengambilalihan KPK dibatasi hanya pada peristiwa yang terjadi pada saat dan setelah 27 Desember 2002. Secara argumentum a contrario, KPK tidak berwenang mengambil alih proses hukum terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum 27 Desember 2002. Saya telah melakukan klarifikasi terhadap soal ini kepada setidaknya tujuh orang hakim. Ternyata, pendapat ini hanya minoritas (dua dari tujuh hakim yang diklarifikasi).

Mayoritas hakim berpendapat bahwa KPK tetap dapat mengambil alih proses hukum terhadap tindak pidana korupsi tanpa pembatasan waktu, tidak jadi masalah apakah sesudah atau sebelum 27 Desember 2002. Tidak retroaktifnya pasal 68 UU KPK itu bukan karena kewenangan pengambilalihan dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang terjadi pada saat dan sesudah UU KPK diundangkan, melainkan pada definisi retroaktif itu sendiri.

Seperti dapat dibaca pada halaman 73 putusan MK, suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika: (a) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, (b) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan.

Bagi mayoritas hakim MK, Pasal 68 UU KPK sama sekali tidak mengandung salah satu dari dua unsur tersebut. Sebab, pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan pasal 68 tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang secara logis berarti tidak mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih oleh KPK.

Harus diakui pula, perbedaan cara pandang dalam memahami tidak retroaktifnya pasal 68 tersebut tecermin dalam pertimbangan hukum. Ada bagian dalam pertimbangan hukum yang seolah-olah menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih kasus yang terjadi sebelum 27 Desember 2002 (pendapat minoritas). Dikatakan seolah-olah karena memang tidak ada kalimat dalam putusan MK yang eksplisit menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih kasus korupsi sebelum 27 Desember 2002. Sayangnya, putusan MK kali ini tidak memuat dissenting opinion atau concuring opinion seperti disampaikan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dalam pengujian undang-undang tentang pemekaran Papua.

Namun, seandainya pun ada ketidakkonsistenan dalam pertimbangan hukum MK kali ini, publik harus tetap berpegang pada amar putusan yang menolak permohonan. Artinya, tak ada perubahan apa pun setelah MK membacakan putusan terhadap pengujian Pasal 68 UU KPK. Agenda pemberantasan korupsi yang memang sudah menjadi komitmen kita semua harus tetap jalan dengan KPK sebagai instrumen utamanya. Tidak perlu ragu akan masa depan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 22 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan