Kontroversi Pemberian Integrity Award

Beberapa waktu lalu media massa meramaikan kontroversi Integrity Award 2005 untuk Khairiansyah Salman dari Transparency International atau TI. Padahal, anugerah itu cuma simbol, bukan integritas itu sendiri.

Anugerah bukan akhir perjalanan, tetapi awal perjalanan. Gelar setinggi nobel peace prize saja bisa menjadi kontroversi, apalagi Integrity Award 2005.

Bagi TI, Khairiansyah adalah pahlawan, whistleblower (peniup peluit) pemberantasan korupsi yang harus dianugerahi Integrity Award agar kian banyak orang berani melapor karena korupsi tergolong kejahatan yang sulit diberantas.

Sebagai organisasi bereputasi global, TI seharusnya memberikan anugerah dengan penuh kehati-hatian. Diprosesnya Khairiansyah dalam perkara Dana Abadi Umat (DAU) baru-baru ini tak perlu menyurutkan pemberian Integrity Award dari TI jika saja anugerah ini diberikan dengan kriteria ketat, jelas, tidak terburu-buru, dan yang bersangkutan betul-betul memenuhi kriteria sebagai orang yang mempunyai integritas. Karena, arti kata integrity adalah adherence to moral and ethical principles; soundness of moral character; honesty.

Jelas ukuran pemberian award adalah integritas, bukan hanya sebagai peniup peluit. Jika Khairiansyah dianggap sebagai peniup peluit yang baik, cukup sampai di situ penghargaan yang diberikan dan tidak perlu diberi Integrity Award. Alasannya, mereka yang memperoleh Integrity Award harus ditelusuri latar belakang kehidupannya, sepak terjangnya, perilaku, dan konsistensinya dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi dalam kurun waktu cukup lama, bukan dari satu kejadian saja.

Yang pasti seorang peniup peluit harus dilindungi hukum. Masalahnya, anugerah itu diberikan agak terburu-buru karena kasus KPU belum tuntas di pengadilan. Meski tidak sama prestisenya dengan nobel peace prize, karena ini menyangkut negara Indonesia yang dilaporkan termasuk salah satu negara paling korup di dunia, penelusuran akan moralitas, karakter, perilaku, dan kejujuran si penerima anugerah adalah substansial.

Karena itu, paling tidak harus ada tim khusus untuk menelusuri calon penerima anugerah dari orang-orang yang mengenal calon penerima penghargaan, misalnya atasan, teman sejawat, bawahan, teman sekolah, dan keluarga.

Kontroversi atas penerima anugerah Khairiansyah akan menggoyahkan kepercayaan publik kepada organisasi ini. Pemberi rekomendasi anugerah secara moral turut bertanggung jawab.

Pengembalian Integrity Award kepada TI di Berlin bukan jawaban atas kontroversi itu. Yang harus dilakukan adalah pembatalan dan pencabutan anugerah dari Khairiansyah sebagai tanggung jawab moral kepada masyarakat bila setelah dikaji ulang dengan fakta-fakta baru ternyata Khairiansyah tidak memenuhi kriteria Integrity Award.

Pembatalan anugerah ini tidak akan menghalangi penegakan hukum casu quo pemberantasan korupsi di Indonesia, sebaliknya akan mendorong pemberantasan korupsi jika diberikan kepada orang yang tepat.

Jika anugerah diberikan tanpa penelusuran integritas calon penerima, lalu ditemukan fakta baru yang meragukan integritas si penerima anugerah, anugerah itu perlu dibatalkan untuk menjaga kredibilitas TI. Apalagi jika Khairiansyah dinyatakan bersalah dalam kasus DAU melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Pembatalan anugerah merupakan hal umum dilakukan jika penerima gelar ternyata tak memenuhi kriteria untuk menerimanya. Sebagai contoh pembatalan peraih medali kejuaraan olahraga sedunia, Olimpiade, dan lainnya beberapa waktu lalu karena terbukti menggunakan doping. Ini membuktikan, dalam bidang olahraga saja dibutuhkan kejujuran apalagi penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi.

Sikap yang seharusnya diambil TI adalah meragukan segala perkara KPU yang kontroversial ini, seperti diucapkan Rene Descartes, De omnibus dubitandum.

Semoga pemberian anugerah di masa datang tidak akan menimbulkan kontroversi, mengingat diperlukan orang-orang yang berani, jujur, dan berintegritas tinggi guna memberantas korupsi. Indonesia membutuhkan peniup peluit setara Khairiansyah untuk menyukseskan pemberantasan korupsi.

Frans H Winarta Ketua Umum Dewan Pengurus Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI)

Tulisan ini disalin dari Kompas, 15 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan