Kontrol Sosial Jepang Jadi Roh Pemberantasan Korupsi

Kata "korupsi" tidak terlalu populer di Jepang. Berbeda dengan situasi di Indonesia, istilah korupsi menjadi isu yang dibahas sehari-hari. Perbedaan ini setidaknya mencerminkan bahwa kasus korupsi di Indonesia sudah sangat parah bila dibandingkan sang "Saudara Tua dari Timur".

Takahiro Yoshimaru, mahasiswa Ritsumeikan University Jepang mengungkapkan analisis singkatnya ketika berkunjung ke kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (21/9/2011). Yoshimaru yang mengikuti Summer Visit kerjasama Universitas Indonesia dan Ritsumeikan University itu mempertanyakan peran media dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. "Banyak sekali berita tentang korupsi di layar televisi dan koran-koran. Ini tidak terjadi di negara kami, karena biasanya begitu sebuah kasus korupsi muncul di media, dalam waktu singkat pihak yang terlibat akan segera mengundurkan diri," ujarnya.

Media di Jepang, menurutnya, berperan penting dalam menyebarkan berita korupsi dan membakar kemarahan massa. "Ketika masyarakat sudah geram, maka tekanan publik sangat besar agar seseorang yag dinilai korup segera mundur," katanya.

Hal yang sama, sayangnya, tidak terjadi di Indonesia. Wakil koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, sikap ksatria untuk mengundurkan diri ketika terbukti melakukan kesalahan tidak dimiliki oleh pejabat Indonesia. Justru mereka mencoba mempertahankan posisinya dengan cara apapun. "Ada sejumlah pejabat yang menjadi tersangka kasus korupsi tetap mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Dan, sebagian diantara mereka terpilih," terang Adnan.

Selain mental pejabat korup yang rendah, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia juga terhambat akibat sistem yang korup. Hampir seluruh sektor kehidupan telah menjadi lahan basah para koruptor. Kepentingan politik bertemu dengan kepentingan bisnis menciptakan sistem kartel politik yang sangat korup. Kinerja aparat penegak hukum yang rendah juga turut menjadi faktor penghambat. "Setiap tahun, ICW melakukan riset untuk memonitor kinerja aparat penegak hukum. Harapan kami, hasil monitoring itu dapat menjadi bahan evaluasi," tambah Adnan.

Jepang yang pada 2010 menempati peringkat 7,8 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK), memulai revolusi dalam pemberantasan korupsi saat Perdana Menteri Junichiro Koizumi melakukan perubahan radikal, privatisasi jasa layanan pos. Dengan membuka akses swasta dalam pengelolaan lumbung simpanan rakyat Jepang, Koizumi telah menegakkan pondasi untuk pemberantasan korupsi. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan