Kontrak Sosial dan Kuasa Partai

Selain kampanye antipolitikus busuk yang beberapa waktu lalu gencar dikumandangkan oleh banyak LSM, kelompok masyarakat sipil lainnya juga sedang mengupayakan terjadinya kontrak sosial. Kontrak sosial yang dimaksud tak lain adalah penandatanganan janji atau ikrar dari calon anggota dewan legislatif kepada masyarakat pemilih yang tertuang dalam satu lembar kertas bermeterai bersegel.

Beberapa kalangan penggagas yakin kontrak sosial itu akan efektif jika dilakukan sebelum calon legislator terpilih menjadi wakil rakyat. Tapi beberapa lainnya berharap kontrak sosial juga bisa dipaksakan setelah pelaksanaan pemilu. Tujuannya agar anggota Dewan yang telah mengikat kontrak sosial itu jika di kemudian hari dinilai ingkar janji, ada upaya hukum yang dapat ditempuh untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Pokok kata, kontrak sosial versi ini tidak sekadar bermuatan moral dan politis, tapi memiliki kekuatan hukum. Sebenarnya pemilu, baik untuk legislatif maupun presiden, adalah bentuk kontrak sosial itu sendiri. Dikatakan demikian karena pencoblosan suara adalah simbol terjadi transaksi politik antara pembeli (pemilih) dan penjual (partai politik dan calon legislator) yang telah bersepakat untuk menitipkan sebagian dari kehendak pemilih agar diperjuangkan oleh lembaga politik yang sah dan wakil rakyat yang dipilihnya. Lewat pemilu, kehendak yang beragam dari pemilih itu bisa diatur dan dikelola wakilnya di parlemen sehingga tidak menimbulkan benturan yang keras antara masing-masing kehendak yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain sebagai akad politik, pemilu juga merupakan instrumen untuk menciptakan tertib sosial-politik. Maka, adanya gerakan kontrak sosial sebelum atau sesudah pemilu perlu dipandang sebagai cerminan dari adanya krisis kepercayaan publik terhadap pemilu dan hasilnya. Di luar kampanye golongan putih, gerakan kontrak sosial adalah bentuk yang nyata dari adanya ketidakpercayaan terhadap prosedur demokrasi yang bernama pemilu. Masyarakat--setidaknya yang menggagas kontrak sosial itu--tidak percaya bahwa para wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu nanti akan memperjuangkan aspirasi dan kehendak masyarakat luas (konstituen). Pengalaman pemerintahan hasil Pemilu 1999 cukup memberikan alasan bagi masyarakat untuk curiga terhadap politikus dan partai politik yang menjadi peserta pemilu. Apalagi banyak di antara peserta Pemilu 2004 adalah partai dan politikus lama yang pada Pemilu 1999 memperoleh suara. Dengan demikian, kontrak sosial itu hadir untuk memastikan bahwa politisi yang terpilih tidak akan mengkhianati suara rakyat pemilihnya. Walaupun dalam prakteknya kontrak sosial itu telah dilakukan oleh beberapa calon legislatif, pertanyaan seputar efektivitas kontrak sosial itu juga tetap mengemuka. Setidaknya karena locus atau target yang dibidik oleh penggagas kontrak sosial hanyalah para politikus secara individu. Jika dihadapkan pada realitas politik bahwa sistem pemilihan pada Pemilu 2004 yang masih berorientasi pada partai daripada kandidat, ada kemungkinan kontrak sosial yang hanya mengikat politikus tidak akan memberikan efek tekan. Dalam sistem proporsionalitas terbuka model sekarang, posisi tawar politikus terhadap partai teramat lemah. Alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat pemilih, di internal partai sendiri mereka harus berkompetisi untuk mendapatkan nomor urut jadi. Kontrak sosial akan menjadi lebih tidak efektif jika politikus yang bersedia meneken perjanjian itu adalah yang menempati nomor urut bawah yang kemungkinannya kecil untuk terpilih sebagai wakil rakyat. Kontrak seperti ini hanya bisa berjalan jika kekuasaan partai dalam sistem pemilu tidak lagi menentukan. Dengan kata lain, sistem pemilu yang berorientasi kandidatlah yang mampu memberikan jalan bagi efektivitas kontrak sosial yang kini sedang dikembangkan. Karena kuasa partai masih kental mewarnai proses politik, tekanan kepada partailah seharusnya kekuatan tawar masyarakat sipil itu diarahkan. Asumsinya, partai sebagai pemilik kekuasaan tidak akan berubah perangai jika tekanan terhadapnya tidak pernah dilakukan. Satu hal yang bisa dilakukan penggagas kontrak sosial adalah memediasi komunikasi politik antara konstituen (masyarakat pemilih) dan partai yang selama ini tidak berjalan. Setidaknya dalam konteks kontrol atas wakil rakyat oleh konstituen, beberapa pasal dalam UU No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bisa digunakan sebagai instrumennya. Beberapa pasal dalam dua UU tersebut membuka peluang bagi masyarakat (konstituen) untuk meminta partai supaya mengganti anggotanya di parlemen oleh sebab-sebab tertentu. Pada Pasal 8 huruf (f) UU No. 31/2002 dikatakan bahwa partai memiliki hak untuk mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pada pasal yang sama huruf (g) disebutkan bahwa partai juga berhak mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 12 UU yang sama dikatakan bahwa alasan-alasan pemberhentian anggota (wakil rakyat) di parlemen oleh partai karena tiga alasan: mengundurkan diri dari keanggotaan partai yang bersangkutan, melanggar AD/ART partai bersangkutan, dan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Karena alasan kedua itu, penting bagi konstituen untuk mempelajari AD/ART partai secara cermat. Supaya penggantian antarwaktu maupun usul pemberhentian anggota parlemen tidak sebatas arisan jabatan dan dimaknai secara sepihak oleh partai, perlu campur tangan dari konstituen dalam prosesnya. Beberapa pasal dalam UU No. 22/2003 bisa dijadikan alasan bagi adanya campur tangan itu, terutama alasan-alasan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 20 UU itu mengenai sumpah anggota DPR, pada alinea terakhir berbunyi ... bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, pada Pasal 29 huruf (f) disebutkan bahwa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat adalah bagian dari kewajiban anggota DPR. Selama ini problem utama wakil rakyat adalah pada kecenderungan mengkhianati suara pemilih. Maka, kedua alasan yuridis di atas sangat mungkin bisa digunakan sebagai instrumen untuk menekan partai guna mengganti wakil rakyat yang tidak amanah. Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, Sabtu, 3 April 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan