Kontrak Politik Anggota Kompolnas

Hari-hari ini, mungkin saya tengah mempersiapkan jas baru. Jas itu, rencananya, akan saya pakai ketika dilantik di Istana Negara oleh Presiden SBY. Awalnya, saya perkirakan, bersama yang lain akan dilantik sebelum hari Bhayangkara, 1 Juli 2005. Awalnya pula saya bayangkan, kamilah yang akan mengusulkan nama calon Kapolri kepada Presiden sebelum di-fit and proper test oleh DPR.

Namun, ternyata hingga hari ini belum jelas kapan kami akan dilantik. Tugas mengusulkan nama Kapolri pun di-by pass oleh Presiden. Jangan-jangan, benar apa kata orang. Komisi Kepolisian Nasional, saya menjadi salah satu anggotanya, memang tidak ada apa-apanya.

Tak pelak, di hari-hari seputar hari Bhayangkara sekaligus pergantian Kapolri ini, kami berenamlah selaku wakil masyarakat, yang paling banyak diperhatikan orang. Di mana-mana orang, apalagi anggota Polri, memandang dan membicarakan kami. Jengah juga rasanya. Tapi, saya maklum. Sebagai 'barang baru', orang tentu ingin melihat dari dekat siapa-siapa yang telah ditetapkan sebagai anggota Kompolnas tersebut.

Di sisi lain, saya juga bangga karena kami berenam, tiga mewakili pakar dan tiga lainnya mewakili tokoh masyarakat, terpilih setelah melalui seleksi yang ketat. Enak saja bila ada yang bilang kami ini titipan Polri!

Sebenarnya, jujur saja, persyaratan menjadi anggota komisi ini cukup unik. Selain peserta dibagi menjadi dua, kelompok pakar dan kelompok tokoh masyarakat, pelamar pun dibatasi usianya yakni paling rendah 45 tahun. Kalau tidak ada batas itu, mungkin bukan saya, tetapi anak-anak muda yang duduk sebagai anggota. Alhasil, saya mendadak jadi orang penting di mata wartawan.

Sebenarnya, jujur dari lubuk hati, saya dan anggota-anggota terpilih lainnya memang belum siap menjalankan tugas pertama Kompolnas, yakni mengusulkan nama calon Kapolri. Sebab, bagaimana mau mengusulkan nama, sedang mekanisme hubungan dan tata cara kerja dalam komisi saja belum ada. Bicara langsung dengan tiga menteri yang menjadi anggota ex-officio, apalagi! Jadi, mau mengusulkan siapa?

Saya berpikir, di minggu-minggu pertama kami bekerja, sebaiknya konsentrasi diarahkan pada penetapan aturan main internal dulu. Demikian pula, adalah baik bila kami menetapkan pembagian tugas di antara kami sendiri. Rasanya, hal itu urgen dilakukan mengingat, jelek-jelek, kami ini telah menyandang jabatan publik yang membuat kami perlu menata omongan, perilaku, dan sebagainya.

Yang saya takutkan adalah ketika aturan main belum terbentuk, telah keburu datang entah itu broker jabatan atau makelar proyek, bisa pula rekanan vendor, yang pura-pura tersenyum manis dan mengobral fasilitas. Jelas saja, tujuannya untuk 'membeli' kami. Semoga saja teman-teman saya sesama anggota komisi tak tergoda. Semoga saja, saya sendiri tidak tergoda.

Memang kami sadar, kelahiran yang tertunda dari komisi ini sungguh akibat politik. Jika tidak karena politik, bukankah sudah sejak tahun-tahun lalu komisi ini seharusnya sudah bekerja dan kini sudah siap saat, sebagai contoh, ketika diminta mengusulkan nama kandidat kapolri? Sekarang, karena alasan politis pula, komisi yang baru berusia seumur jagung ini terpaksa mengurut data karena tugasnya diambil alih oleh Presiden.

Tetapi, bukan karena kesebalan itu yang membuat saya tertarik melamar sebagai anggota Kompolnas. Biarlah, kali ini, kami menjadi pemberi 'cap stempel' saja saat Presiden mengusulkan nama calon Kapolri. Tapi, besok-besok, saya dan teman-teman, akan bekerja sungguh-sungguh merealisasikan tugas kedua dan tugas ketiga dari komisi, yakni merumuskan dan mengusulkan kebijakan umum Polri kepada Presiden serta mengumpulkan keluhan masyarakat tentang kepolisian. Sungguh, di usia kami yang rata-rata sudah tinggi ini, kami ingin berbuat yang terbaik bagi masyarakat via Polri untuk yang terakhir kalinya.

Saya memang telah lama mengetahui bahwa Polri, walaupun bukan karena kemauannya sendiri, telah menjadi begitu kuat secara politis. Ada yang bilang, langkah Polri yang mempersamakan diri seolah-olah sebagai Departemen Keamanan Dalam Negeri sebagai sikap keblinger! Polri itu kan alat negara, bukan lembaga yang dipimpin seorang pejabat politik seperti menteri!

Walau hanya di dalam hati, saya sebenarnya senyum-senyum sendiri. Bicara soal keblinger, Polri rasanya tidak sendirian. Rekan samping Polri, yang selama ini berada di bawah departemen sebagaimana seharusnya, eh malah kini tidak lagi di bawah departemen tersebut. Menurut kabar, katanya, mereka ngambek melihat posisi Polri.

Singkatnya, situasi menyangkut sektor keamanan di Indonesia memang belum rapi, kalau tidak bisa dikatakan centang-perentang. Bayangkan, bagaimana masyarakat mau aman kalau penataan lembaga-lembaganya masih semrawut. Undang-undangnya pun saling tumpang tindih atau malah tidak lengkap. Pembentukan Kompolnas haruslah dilihat dalam konteks upaya menata ulang sektor ini.

Selanjutnya, ada pula hal yang sejak pagi-pagi saya camkan sejak saya diumumkan sebagai anggota Kompolnas. Menurut saya, kehadiran komisi yang baru ini tidak boleh malah menambah runyam situasi. Bila tidak bisa memperbaiki keadaan (mengingat kewenangan kami sendiri tidak besar), paling tidak janganlah memperburuk keadaan.

Terkait dengan itu, saya mendengar bisikan dari istri di rumah. Sejak Presiden SBY mengibarkan bendera perang antikorupsi, istri saya tiba-tiba jadi rajin membisiki saya untuk tidak gampang terima uang atau barang, ataupun gampang menandatangani sesuatu yang tak jelas. Bisikannya sama: Kompolnas akan disegani orang kalau anggota-anggotanya memiliki integritas, tidak gampang 'dibeli' serta tidak menjadi penguasa baru terkait dengan penempatan serta jabatan di kepolisian.

Saya mafhum sekali mengapa istri saya, yang sebenarnya sederhana itu, tiba-tiba mampu berbisik tentang hal yang canggih ini. Sepertinya, bukan rahasia bahwa di Polri, banyak hal ajaib bisa terjadi berbekalkan memo, telepon atau amplop tebal. Kalau kami ikut-ikutan terlibat praktik itu, lalu apa bedanya dengan yang lain? Jika itu akhirnya terjadi, terjawablah kekhawatiran banyak anggota masyarakat sejak awal bahwa Kompolnas memang tidak independen serta mudah dikooptasi.

Memang, hanya kami yang bisa menjawab keraguan itu. Bukan orang lain. Kamilah yang disumpah untuk menerima amanah ini. Untuk itu, kami tidak boleh menyalahkan orang lain jika komisi ini akhirnya tampil tak bergigi.

Saya lalu teringat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM. Pada awal berdirinya, siapa yang percaya padanya? Tak satu pun. Semua meyakini, komisi itu hanya akan menjadi pemberi justifikasi bagi pemerintahan Soeharto dan perilaku aparatnya yang melanggar HAM. Nyatanya, dengan segala keterbatasan yang ada, komisi itu tampil berani dan menyumbang amat besar bagi lahirnya reformasi di Indonesia saat ini. Jika mereka bisa, mengapa kami tidak?

Adrianus Meliala, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)/kriminolog UI, Jakarta

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 11 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan