Kontinyuitas Korupsi Kepala Daerah
MEMBICARAKAN korupsi di Jawa Tengah tidak ada yang lebih menarik melampaui perilaku korup yang dilakukan kepala daerah. Daya tarik itu terletak pada betapa banyak kepala daerah yang terjerat hukum, betapa banyak dana yang dikorup, sampai pada dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Secara kuantitas, kepala daerah yang terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan. Bagaimana tidak? Sejak tahun 2000-2011 di Jawa Tengah ada 20 mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi tersangka serta seorang kepala daerah aktif, dua mantan wakil kepala daerah, dan seorang mantan gubernur sedang diproses di pengadilan.
Kerugian negara ditaksir Rp 240 miliar. Itu baru kasus yang terungkap. Jadi mungkin lebih banyak lagi apabila yang belum terungkap bisa terungkap di kemudian hari.
Semua kasus korupsi yang dilakukan para kepala daerah terjadi ketika mereka masih aktif sebagai kepala daerah. Dari 20 orang tersebut, 13 orang sudah disidangkan, termasuk dua mantan kepala daerah yang divonis bebas di tingkat pengadilan negeri, yakni mantan Bupati Demak Endang Setyaningdyah dan mantan Wakil Bupati Karanganyar Sri Sadoyo. Adapun tiga mantan kepala daerah sudah meninggal, sembilan belum disidangkan, dan dua kasusnya di-SP3-kan.
Melihat betapa banyak kepala daerah aktif dan mantan kepala daerah terlibat korupsi, muncul pertanyaan apakah jumlah itu sekadar gambaran yang ketahuan atau ketiban sial atau sisanya benar-benar bersih dari korupsi? Jika jawabnya adalah yang terjerat tersebut hanya faktor kebetulan atau sial, sesungguhnya lebih dari data yang ada adalah sangat mungkin berperilaku korup.
Banyaknya kepala daerah dan mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi mengingatkan pada semua kepala daerah agar berhati-hati menjalankan pemerintahan. Sebab, tidak ada jaminan habis masa jabatan berarti habis pula permasalahan. Bahkan bisa sebaliknya, habis masa jabatan baru muncul masalah.
Namun yang lebih menarik lagi, menurut catatan investigasi dan pemantauan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), ternyata perilaku korup itu dikerjakan secara istikamah (kontinu) dari waktu ke waktu, baik dari sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD maupun dipilih langsung oleh rakyat. Tidak ada rasa takut dan jera di kalangan bupati dan wali kota untuk korupsi, walau banyak pendahulu mereka telah masuk penjara. Keinginan keras menghindari korupsi juga nihil.
Menurut pendapat para pengamat politik, para elite politik di pusat dan daerah cenderung korup karena biaya sistem pemilu yang diterapkan terlalu mahal. Namun dalam kenyataan, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dianggap berbiaya lebih murah, ternyata mereka juga cenderung korup. Tampaknya mahal dan murah biaya pemilu tidak terlalu signifikan untuk mengerem perilaku korup kepala daerah.
Berdasar fakta itu kita layak bertanya, apakah sistemnya yang jelek, orangnya yang jelek, atau kedua-duanya? Mengapa pula meski sudah banyak mantan kepala daerah dipenjara, para penggantinya tetap melanjutkan amal jelek yang diwariskan para pendahulu mereka? Apakah memang jika seseorang sudah menduduki jabatan nomor satu dalam pemerintahan di daerah mesti masuk perangkap korupsi dan sulit melepaskan diri? Apakah barangkali mereka memang sengaja menjeratkan diri dalam korupsi? Atau, barangkali salah satu cita-cita dari para kepala daerah adalah menumpuk kekayaan lewat jabatan secara cepat?
Kegagalan Reformasi
Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak reformasi bergulir. Namun bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan. Terbukti, banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Reformasi yang semestinya bisa menekan kecenderungan korupsi yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan menyebarluaskan korupsi. Jika dulu para bupati, apalagi camat, sulit korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak yang dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki wewenang.
Bila dikaji lebih jauh, program pemberantasan korupsi, terutama di bidang reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan kampanye pencitraan politik daripada benar-benar ingin direalisasikan. Itu bisa kita lihat dari fakta kepala daerah yang terlibat korupsi. Mulai dari kepala daerah yang tidak memiliki prestasi memajukan daerah sampai yang berprestasi gemilang pun terseret kasus korupsi. Contoh yang terakhir bisa kita ambil kasus Kabupaten Sragen. Untung Wiyono selama menjabat dikenal sebagai bupati yang sangat sukses melakukan program pelayanan satu atap. Intinya, pelayanan satu atap adalah program meminimalisasi korupsi. Keberhasilannya dicontoh di banyak daerah dan dia mendapat penghargaan secara nasional. Namun toh akhirnya dia terjerat juga kasus korupsi setelah masa jabatannya berakhir.
Banyaknya kepala daerah terlibat korupsi antara lain karena terlalu banyak wewenang yang mereka miliki. Itu bisa dibuktikan dengan lebih banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi ketimbang wakil kepala daerah. Selama 10 tahun (2000-2011) hanya ada dua wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sedikitnya wakil kepala daerah terlibat korupsi karena memang mereka tak memiliki wewenang. Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku. Bahkan wewenang mereka kalah jauh dari sekretaris daerah (sekda) di bidang keuangan.
Fakta itu sesuai dengan rumus korupsi, yakni korupsi dirumuskan dengan C = M+D-A. Corruption (C) sama dengan monopoly power (M) plus discretion by official (D) (wewenang pejabat) minus accountability (akuntabilitas). Jika seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa memutuskan apa saja tanpa harus melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka peluang untuk menyeleweng. Dan, itulah yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini. (51)
Jabir Alfaruqi, Ketua Yayasan KP2KKN Jawa Tengah dan Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 11 Juli 2011