Konsultan Politik; Kualitas Calon, Militansi Kader, dan Organisasi Tetap Penentu

Kualitas calon, militansi kader partai politik, dan kemampuan organisasi partai politik tetap menjadi kunci utama kemenangan dalam pemilihan umum kepala daerah atau pemilihan umum.

Bagi sejumlah partai politik, hasil kajian lembaga survei dan konsultan politik hanya menjadi pelengkap data untuk partai. Selain itu, harus dipisahkan antara lembaga survei dan konsultan politik yang berbeda kepentingannya.

Seperti dilaporkan Kompas (14/6), fenomena munculnya lembaga survei dan konsultan politik tidak terelakkan dalam era pemasaran politik ini. Beberapa lembaga survei yang merangkap konsultan politik bahkan mengklaim memenangi sejumlah pemilihan kepala daerah.

Namun, tidak semua partai politik percaya kepada konsultan politik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang telah memenangi sejumlah pemilu kepala daerah, tetap percaya bahwa tiga hal, yaitu kualitas calon, militansi kader PDI-P, dan kemampuan organisasi, yang menentukan kemenangan. Strategi itulah yang dipakai PDI-P untuk ”merebut” 183 posisi kepala daerah dari 244 kepala daerah yang diperebutkan sejumlah partai politik dalam pemilu kepala daerah tahun ini.

”Survei dan konsultan politik berperan memberikan gambaran kondisi lapangan. Data itu menjadi salah satu masukan untuk menyusun strategi pemenangan, seperti bagaimana kader partai dan calon yang diusung harus bekerja. Tanpa militansi kader partai serta calon yang berkualitas, keberadaan survei dan konsultan politik tidak akan ada artinya,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI-P Hasto Kristiyanto di Ponorogo, Jawa Timur, Senin.

Keberadaan lembaga survei dan konsultan politik dalam pilkada yang diikuti PDI-P bahkan sering kali hanya memberi masukan tentang metodologi dan analisis. Pelaksanaan survei dilakukan kader partai.

”Dengan cara ini, kami berusaha menjaga militansi kader partai. Pada saat yang sama, biaya survei juga menjadi murah, seperti di Pilkada Trenggalek, Jawa Timur, hanya sekitar Rp 7,5 juta, karena pelaksananya adalah kader partai,” tutur Hasto menjelaskan.

Berbeda dengan PDI-P, Partai Amanat Nasional (PAN) justru mewajibkan calon-calon kepala daerah menggunakan jasa lembaga survei guna memetakan kekuatan calon tersebut.

Namun, Ketua Tim Pemilu Kepala Daerah Partai Amanat Nasional Drajad H Wibowo di Jakarta, Senin, mengungkapkan, untuk menjamin kualitas hasilnya, PAN hanya merekomendasikan beberapa lembaga survei, yaitu tim survei internal PAN, Lingkaran Survei Indonesia, atau Charta Politika.

Konflik kepentingan

Pembatasan penggunaan lembaga survei itu dilakukan PAN karena saat ini muncul banyak lembaga survei dadakan di daerah yang kualitas kerjanya diragukan. Hasil survei sering kali tidak rasional dan dimanipulasi agar calon tersebut memperoleh dukungan dari PAN.

Peneliti Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengingatkan, keberadaan lembaga survei yang sekaligus menjadi konsultan politik atau sebaliknya rawan menimbulkan konflik kepentingan. Lembaga survei dituntut untuk independen dan jujur terhadap hasil survei, apa pun hasilnya.

Di Amerika Serikat, asosiasi lembaga survei dan konsultan politik dipisah. ”Tetapi karena belum ada aturan yang jelas di Indonesia, dua fungsi itu dapat dilakukan oleh lembaga yang sama,” ujar Burhanuddin.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengungkapkan, konsultan politik tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus sama-sama bekerja dengan calon. Banyak fungsi partai ataupun tim sukses yang tidak bisa diambil oleh konsultan, seperti agregasi kepentingan, menggarap suara kader, dan pemilih partai bersangkutan, serta melakukan peran-peran legislatif dan eksekutif. (MZW/NWO)
Sumber: Kompas, 15 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan