Konstruksi Sosial pada Perempuan Tersangka Pidana
Seorang teman berkomentar begini di linimasa Twitter tentang pemberitaan dua perempuan tersangka kasus penipuan dan pembobolan bank, “Wah, kok mulai misogyny (kebencian terhadap perempuan) nih pemberitaan tentang Malinda Dee.” Artikel yang dirujuk oleh teman itu berjudul “Femme Fatale”, yang menyebut Selly Yustiawati dan Malinda Dee sebagai perempuan cantik nan berbahaya atau yang biasa orang Prancis biasa sebut femme fatale. Tak lama, telepon genggam saya berpendar, pesan kelakar masuk, “Jangan sekali-kali serahkan slip setoran kosong yang sudah Anda tandatangani kepada petugas bank, secantik dan sebesar apa pun payudaranya. Jika payudara karyawati bank Anda semakin besar, segera periksa rekening Anda.” Ada juga kelakar lain berupa foto payudara palsu dalam sebuah kotak, keterangannya, “Bukti pemeriksaan Malinda Dee.”
Secara nasional, belum ada data pelaku kejahatan terpilah berdasarkan jenis kelamin terpublikasi. Jika data narapidana lembaga pemasyarakatan yang tersebar di Jawa Barat (2010) ada 1.083 narapidana laki-laki dan 255 perempuan, secara kasar bisa dikatakan 1 dari setiap 4 pelaku kejahatan adalah perempuan. Lebih sedikitnya jumlah perempuan pelaku kejahatan daripada laki-laki bisa jadi karena tekanan sosial terhadap perempuan untuk menjadi perempuan baik-baik yang bekerja di rumah selama ini lebih besar daripada terhadap laki-laki. Sehingga kemungkinan dan peluang laki-laki melakukan kejahatan lebih tinggi daripada perempuan.
Masyarakat kita membuat aturan sosial tentang peran perempuan dan laki-laki. Peran laki-laki adalah pencari nafkah, pemimpin, berani berinisiatif dan mengambil risiko. Sedangkan tugas perempuan adalah menikah, melakukan pekerjaan domestik, menjadi ibu rumah tangga baik-baik, mengurus anak dan keluarga. Ketika aturan ini dilanggar, bukan sanksi pidana yang dijatuhkan, melainkan sanksi sosial. Inilah yang menjelaskan pelecehan yang terjadi terhadap tersangka penipuan, Selly dan Malinda. Selly dan Malinda melanggar dua aturan sekaligus, tidak hanya aturan hukum pidana, tapi juga aturan sosial tentang peran gender bagaimana seharusnya perempuan. Sanksi sosial yang mereka terima berbentuk pemberitaan dan perlakuan yang merendahkan harga diri, tidak proporsional dengan kejahatan yang mereka lakukan.
Bila saja Selly dan Malinda laki-laki, mungkin yang dibahas media bukan fisiknya, melainkan terfokus pada tindakan kejahatan itu sendiri. Misalnya, bagaimana sistem internal kontrol perusahaan atau bank yang lemah sehingga memungkinkan karyawannya untuk curi uang nasabah selama bertahun-tahun tanpa diketahui. Namun, karena pelakunya adalah perempuan, seksualitasnya pun digunakan untuk merendahkan martabatnya sebagai hukuman bagi perempuan yang tidak memenuhi peran gender yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Simak saja pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam sebagaimana dikutip Kompas.com. Ia mengatakan, "Dia itu operasi semua. Dirombak wajahnya. Jadi, sebetulnya enggak cantik," ujar Anton. Pernyataan ini sungguh tidak relevan dengan pokok perkara pidananya.
Pelaku kejahatan laki-laki, seperti Gayus, tidak direndahkan seperti seonggok daging walau jumlah nominal yang dicuri jauh melampaui apa yang dicuri Selly dan Malinda. Perbedaan perlakuan masyarakat terhadap Malinda dan Gayus berakar pada pemahaman bahwa perempuan seharusnya berada di rumah dan, andai pun bekerja, tidak seharusnya duduk di posisi tinggi dalam perusahaan sehingga mampu melakukan kejahatan kerah putih bernilai miliaran rupiah.
Sebagaimana dikatakan oleh Chesney-Lind, M. (1984) dalam tulisan berjudul “Women and Crime: A Review of the Recent Literature on the Female Offender”, perempuan narapidana disamakan dengan perempuan iblis, sehingga mereka sering menerima perlakuan yang lebih kejam daripada laki-laki dalam sistem peradilan. Perbedaan perlakuan ini diakibatkan oleh pemahaman bahwa perempuan pelaku kejahatan telah melanggar tidak hanya aturan hukum, tetapi juga peran gender yang diharapkan masyarakat. [The "evil women" hypothesis which parallels the female inmate as subhuman perspective, holds that women often receive harsher treatment than men in the criminal justice system and suggests that this different treatment results from the notion that criminal women have violated not only legal boundaries but also gender role expectations (Chesney-Lind, 1984; Erez, 1992)].
Freda Adler (1975) mengatakan bahwa gerakan emansipasi perempuan pada 1970-an meningkatkan akses ekonomi untuk perempuan sehingga memberi peluang, sama dengan laki-laki, untuk melakukan kejahatan kerah putih, pembunuhan, dan perampokan. Ia juga mengatakan bahwa, semakin perempuan menaiki tangga karier, hal itu juga dimanfaatkannya untuk berkarier di kejahatan kerah putih. Terinspirasi dari Pat Carlen (1980), ada juga yang berargumentasi bahwa perempuan pelaku kejahatan sebetulnya adalah perempuan secara biologis saja, namun berwatak patriarki.
Terlepas dari perdebatan perempuan dan motivasi seperti apa yang membuat mereka melakukan kejahatan, pada prinsipnya, hukum harus ditegakkan pada tiap warga negara. Baik warga negara perempuan, laki-laki, cantik, jelek, kaya, ataupun miskin. Tidak bisa dimungkiri bahwa perempuan juga bisa melakukan kejahatan sama seriusnya dengan laki-laki, seperti Artalyta Suryani, pelaku korupsi yang ditangkap oleh petugas KPK pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip Tri Gunawan tertangkap dengan uang US$ 660 ribu di tangan. Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim. Akhirnya, Artalyta dihukum lima tahun penjara. Dari dalam penjara pun, Artalyta masih menyogok petugas lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan perlakuan dan fasilitas istimewa. Kajian feminis yang sensitif dengan relasi kuasa mampu menjelaskan bahwa, walaupun Artalyta adalah perempuan, dia perempuan yang beruang. Sehingga ia memiliki kuasa yang besar untuk melecehkan sistem hukum kita. Relasi kuasa yang tidak imbang dalam kasus ini lebih dipengaruhi oleh uang daripada jenis kelamin.
Gerakan feminis juga membuat perempuan pelaku kejahatan menjadi lebih kelihatan akibat pelaporan, kajian, dan pengawasan yang lebih banyak dilakukan akhir-akhir ini. Hasil kajian para feminis bidang kriminologi perlu diperhitungkan untuk berkontribusi pada bagaimana seharusnya sistem peradilan memperlakukan perempuan kriminal. Sebab, ada juga perempuan pelaku pidana namun sesungguhnya adalah korban kekerasan. Tengok saja perempuan terpidana hukuman mati karena kasus narkotik dan kaitannya dengan praktek perdagangan perempuan (Pusat Kajian Wanita & Gender-Universitas Indonesia, 2003). Lagi-lagi, akibat konstruksi gender yang mengajarkan perempuan untuk bersifat submisif, perempuan jadi mudah ditipu dan sulit untuk menolak paksaan oleh pasangan laki-lakinya sehingga terjebak menjadi kurir pengedar narkotik. Sebagian dari mereka dihukum mati dan kebanyakan pasangan laki-lakinya bebas atau mendapat hukuman lebih ringan.
Sudah saatnya sistem peradilan peka terhadap bagaimana konstruksi sosial dalam masyarakat mempengaruhi sistem peradilan. Sehingga para penegak hukum, juga media dan masyarakat, mampu berlaku adil terhadap tersangka perempuan dan laki-laki, tanpa bias payudara.
Firliana Purwanti, PENULIS BUKU THE ORGASM PROJECT
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 6 April 2011