Konflik Kepentingan
Sunday, 06 August 2017 - 00:00
Konflik kepentingan (conflict of interest) dan melayani kepentingannya sendiri (self dealing) dalam pelbagai bentuknya merupakan tindakan tidak etis.
Namun, praktik semacam ini justru masih sering terjadi di lembaga pemerintahan, legislatif, yudikatif, institusi profesi, dan kegiatan bisnis meski rambu-rambu hukum dan etika sudah melarang praktik tidak elok semacam itu.
Konflik kepentingan bisa terjadi antara kepentingan pribadi dan kepentingan jabatan untuk dirinya sendiri, kepentingan orang lain, kepentingan organisasi dengan motif melindungi atau mencari untung, antara kepentingan pribadi dan atau institusi dengan kepentingan penegakan hukum, atau terhadap subyek hukum (orang) dan atau obyek perkara (masalah).
Sementara melayani kepentingan sendiri adalah tindakan menggunakan kewenangan atau jabatan dengan seolah-olah untuk dan atas nama kepentingan jabatan tersebut meski sesungguhnya untuk kepentingan pribadi. Misalnya, menggunakan mobil dinas untuk mudik Lebaran. Menggunakan dana operasional pimpinan buat membeli barang kebutuhan pribadi atau seorang pejabat di suatu pemerintahan atau swasta mengerjakan proyek pemerintah atau proyek swasta dengan perusahaannya sendiri dan seterusnya.
Pembentukan Panitia Khusus Angket KPK adalah contoh terbaru pembentukan lembaga koflik kepentingan antara kepentingan lembaga negara (DPR) dan jabatan sebagai anggota DPR dengan kepentingannya sendiri, kepentingan melindungi orang lain, atau melindungi organisasi dalam proses hukum. Mengapa demikian?
Pertama, pembentukan institusi Pansus jelas dilatarbelakangi kemarahan beberapa anggota DPR terhadap KPK yang membuka pernyataan Miryam S Haryani di persidangan yang mengaku ia ditekan anggota DPR. Penolakan KPK menghadirkan Miryam membuat Pansus marah, lalu bekerja melebar ke mana-mana, yang justru semakin membuka konflik kepentingan kian terang benderang.
Kedua, pimpinan Pansus adalah pihak yang sedang beperkara dan telah diperiksa jadi saksi dalam kasus KTP elektronik.
Ketiga, Pansus mendatangi, mendatangkan, dan meminta informasi dari terpidana korupsi dan saksi-saksi yang pernah diperiksa KPK.
Dari tiga aspek itu saja sudah cukup bukti bahwa institusi, personal Pansus, serta pihak-pihak yang memberikan keterangan dan informasi yang diperoleh tentang KPK tidak obyektif, imparsial, bias, penuh prasangka, dan tidak adil sebagai buah dari konflik kepentingan untuk melayani kepentingan sendiri.
Apakah kesimpulan dan rekomendasi Pansus kelak layak ditindaklanjuti? Tentu saja tidak karena pembentukan dan cara kerjanya syarat konflik kepentingan dan untuk melayani kepentingan sendiri, bukan dilahirkan pejabat yang bekerja untuk dan atas nama jabatan bagi kepentingan umum (publik).
KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah contoh lain dari institusi yang mengabaikan prinsip nirkonflik kepentingan dalam menjalankan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya mengawasi persaingan usaha.
Dalam lembaga KPPU ada biro investigasi yang diisi oleh staf sekretariat Komisi yang ditugaskan oleh Komisi untuk melakukan kegiatan penyelidikan atau membacakan laporan dugaan pelanggaran pada pemeriksaan pendahuluan, mengajukan alat bukti, menyampaikan kesimpulan pada pemeriksaan lanjutan, dan mempertahankan alat-alat bukti yang mendukung laporan dugaan pelanggaran tersebut pada tahap pemeriksaan lanjutan.
Dalam pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan tersebut, investigator bertindak layaknya jaksa penuntut umum, sementara komisioner bertindak layaknya hakim. Hubungan investigator dan komisi adalah hubungan subordinat, di mana investigator bekerja atas perintah komisi.
Dalam posisi demikian itu sudah jelas komisioner KPPU terlibat konflik kepentingan dengan semua temuan investigator untuk melayani kepentingan Komisi, dan dapat dipastikan akan menerima dan membenarkan apa pun temuan investigator dan nyaris tidak ada proses memeriksa, mengadili, dan memutus yang berkualitas untuk mencari kebenaran dan keadilan sebagaimana seharusnya peradilan.
Kalau sudah begitu, sehebat dan sebagus apa pun pembelaan terlapor dan kuasa hukum nyaris sia-sia sehingga tidak salah jika ada kritik bahwa persidangan di KPPU tidak memenuhi syarat due process of law; prinsip universal yang seharusnya diwujudkan dalam persidangan apa pun.
Konflik kepentingan dan melayani kepentingannya sendiri selalu melahirkan proses remang-remang yang dapat menimbulkan perilaku kecurangan, manipulasi, penyuapan, korupsi, menjual pengaruh melalui penyalahgunaan posisi.
Lebih jauh dapat menyebabkan kerusakan reputasi dan melemahkan kepercayaan publik pada integritas institusi. Karena itu, perilaku ini harus dihentikan dengan menguatkan instrumen hukum dan etika dengan sanksi atau konsekuensi bahwa proses dan putusan yang dilakukan secara tidak adil (konflik kepentingan dan atau untuk kepentingan sendiri) batal demi hukum dan etika atau setidaknya dapat dibatalkan lewat proses hukum.
SUPARMAN MARZUKI, DOSEN FAKULTAS HUKUM UI; KETUA KOMISI YUDISIAL 2013-2015
-----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Konflik Kepentingan".