Konferensi UNCAC Bali; Menyelamatkan Aset Negara
Sejak 28 Januari sampai 1 Februari 2008, PBB menyelenggarakan konferensi akbar antikorupsi atau United Nations Convetion Against Corruption (UNCAC) Conference di Bali. Konferensi yang dihadiri delegasi dari 140 negara itu membahas tema sangat krusial dalam agenda pemberantasan korupsi nasional dan global: menyelamatkan aset negara.
Menyelamatkan aset negara yang telah dijarah koruptor, terutama para diktator, tidaklah mudah. Pemburuan harta koruptor yang telah dicuci (money laundering) melalui mekanisme keuangan dan investasi internasional akan menghadapi kendala hukum dan politik yang pelik.
Karena itu, kita harus mempersiapkan strategi yang matang untuk mengembalikan harta rakyat yang telah dicuri orang yang telah menyalahgunakan kekuasaannya itu.
Modus Korupsi Diktator
Pencurian aset negara oleh kepala negara terjadi di berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang dengan sistem politik otoriter. David A. Chaikin (2001), penasihat hukum pemerintah Filipina dalam pengembalian aset yang dijarah mantan Presiden Marcos, memetakan berbagai modus korupsi yang dilakukan para diktator dan kesulitan yang dihadapi dalam pengembalian aset itu.
Sah Iran termasuk dalam daftar diktator yang korup itu. Dia diperkirakan mencuri harta negara senilai USD 35 miliar selama 25 tahun berkuasa. Sang diktator itu menggunakan yayasan dan kegiatan sosial untuk menutupi kejahatan korupsinya. Namun, pemerintah Islam di bawah Ayatullah Khomeini tidak berhasil menyelamatkan satu sen pun dari harta yang dijarah.
Ferdinand Marcos menjarah harta rakyat, sebagian diinvestasikan dalam batangan emas, dengan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden Filipina dari 1965 sampai 1986. Sang tiran itu dan keluarganya meraup harta haram lebih dari USD 5 miliar.
Dengan bantuan pejabat bank dan pengacara Swiss, Marcos menggunakan nama palsu seperti William Saunders, nama orang lain, dan membuat yayasan di Liechtenstein untuk menutupi kejahatan korupsinya.
Saking besarnya harta yang dicuri, Guinnes Book of Records memasukkannya sebagai salah satu pencuri terbesar dalam sejarah. Meski demikian, pihak otoritas Swiss hanya menemukan USD 340 juta aset Marcos. Setelah sepuluh tahun proses litigasi, uang itu dan bunganya berhasil dikembalikan kepada rakyat Filipina.
Benua Eropa pun tidak lepas dari diktator yang korup. Nicholas Ceausescu, mantan kepala negara komunis Rumania, mencuri harta negara sebesar jutaan dolar Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan keluarganya selama lebih dari 20 tahun berkuasa.
Tim investigasi dari Kanada berhasil melacak aset yang dikorup Ceausescu dalam jumlah signifikan. Tetapi, karena kemauan politik yang lemah, pemerintah yang berkuasa tidak menindaklanjuti hasil temuan tersebut.
Menyelamatkan Aset
Lalu, pelajaran penting apa yang dapat kita petik, terutama oleh peserta Konferensi Bali, dari pengalaman pemburuan harta para diktator itu? Ada tiga hal. Pertama, korupsi adalah masalah global dan kejahatan lintas batas. Karena itu, penyelesaian dan penegakan hukum antikorupsi nasional tidak akan pernah efektif tanpa memperkuat sistem kerja sama dan penegakan hukum antikorupsi internasional. Selama masih ada negara yang melindungi koruptor, seperti Swiss dan Singapura, selama itu pula korupsi akbar para penguasa akan terus berlangsung.
Negara pihak UNCAC harus terus mengupayakan dan memperkuat harmonisasi sistem hukum perdata, pidana, ekstradisi, dan keuangan internasional untuk mempermudah pengembalian aset. Kalau perlu, UNCAC otomatis menjadi perjanjian ekstradisi multilateral bagi negara pihak. Untuk itu, harus ada sistem disinsentif internasional bagi negara yang menolak menjadi pihak UNCAC atau perjanjian ekstradisi.
Kedua, perlu dibentuk badan atau komisi ahli PBB yang membantu dan mengoordinasikan upaya negara-negara dalam pengembalian aset hasil korupsi. Badan ini terdiri atas para ahli dan profesional dalam bidang antikorupsi, investigasi, keuangan, dan hukum internasional.
Dalam kerangka UNCAC dan dengan kuasa khusus dari negara yang meminta (requesting state), badan ini melakukan investigasi dan upaya hukum untuk mengembalikan aset itu.
Ketiga, sebaliknya sistem antikorupsi internasional tidak akan pernah efektif tanpa kemauan politik pemimpin nasional untuk mengembalikan aset hasil jarahan para penguasa.
Karena itu, sekali lagi, perlu dibuat sistem disinsentif nasional maupun internasional bagi negara dan pemimpin pemerintahan yang tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi dan pengembalian aset koruptor.
Misalnya, perlu dibuat daftar hitam oleh PBB atau lembaga swadaya masyarakat internasional independen bagi negara dan pemimpin pemerintahan yang tak memiliki komitmen atau tidak mau dengan sungguh-sungguh mengimplementasikan UNCAC dalam hukum nasionalnya.
Kemudian, apa yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan harta rakyat yang telah dijarah para koruptor dan dicuci di luar negeri? Untuk tujuan ini, pemerintah perlu membentuk tim yang kuat yang terdiri atas para pakar dan profesional baik nasional maupun internasional.
Tim pemburu aset koruptor Kejaksaan Agung selama ini kurang efektif. Perlu dimasukkan dalam tim itu pakar internasional yang berpengalaman dalam pengembalian aset yang dijarah para koruptor. Secara simultan, kerangka UNCAC terus diperkuat.
Selain itu, pemerintah harus mengawasi dengan ketat dan sistematik terhadap pembukaan rekening bank dan transaksi keuangan oleh pejabat publik.
Roby Arya Brata, kandidat doktor kebijakan antikorupsi pada The Australian National University (ANU)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 Januari 2008