Konferensi Antikorupsi PBB; Negara Berkembang Enggan Libatkan Masyarakat Sipil

Kegagalan ini menjadi akhir Konferensi Putaran Kedua tentang Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNCAC) di Nusa Dua, Bali.

Kelompok negara-negara berkembang, yang tergabung dalam G-77, dan Cina gagal memasukkan usul pembentukan Kelompok Konsultasi Ahli untuk pengembalian aset curian. Kegagalan ini menjadi akhir Konferensi Putaran Kedua tentang Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-bangsa (UNCAC) di Nusa Dua, Bali.

Negara-negara maju menolak hal tersebut dimuat dalam resolusi. Sebagai gantinya, mereka ingin membuat Focus Group, yang bukan merupakan badan permanen. Tapi usul ini tidak disetujui G-77 dan Cina.

Adapun resolusi yang dicapai, antara lain, menyatakan bahwa mekanisme peninjauan implementasi UNCAC harus didasarkan pada asas non-intrusif, imparsial, dan tanpa pemeringkatan negara.

Asas non-intrusif dimasukkan karena desakan kelompok negara berkembang. Desakan ini muncul karena kekhawatiran bahwa mekanisme peninjauan dan bantuan teknis dalam penerapan UNCAC akan dikaitkan dengan sejumlah persyaratan yang diinginkan kelompok negara maju.

Anggota delegasi Indonesia serta Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Eddy Pratomo menyatakan hal itu sesuai dengan keinginan pemerintah Indonesia. Kami tidak ingin ada pihak-pihak tertentu yang menekan kita, katanya.

Siang kemarin konferensi resmi ditutup oleh Direktur Eksekutif Kantor PBB Urusan Obat Terlarang dan Kejahatan (UNODC) Antonio Maria Costa. Resolusi final baru disahkan setelah pertemuan konsultasi informal yang direncanakan selesai sore kemarin. Konferensi putaran ketiga akan digelar tahun depan di Doha, Qatar.

Rancangan resolusi ini mengundang kritik. Ketua Transparency International (TI) Huguette Labelle menyatakan, Tanpa mekanisme konkret untuk menilai implementasinya, konvensi ini tak akan lebih dari sekadar kertas mati.

Kami terus terang tidak puas, kata Rizal Malik, Sekretaris Jenderal TI Indonesia. Resolusi ini, menurut Rizal, tak memberi ruang bagi keikutsertaan masyarakat sipil dalam ikut mengawasi pelaksanaan UNCAC. Kendali sepenuhnya berada di tangan negara.

Rizal menyoroti asas non-intrusif dan ketiadaan pemeringkatan, yang sebenarnya bermanfaat untuk mendesak pemerintah yang korup melaksanakan konvensi antikorupsi. Rizal mengecam digunakannya argumen kedaulatan negara yang mendasari masuknya dua faktor itu. Sebagian kedaulatan kan sudah kita serahkan begitu meratifikasi UNCAC, katanya.

Hal senada dinyatakan Bambang Widjojanto, pengacara senior dari Kemitraan bagi Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia. Tanpa melibatkan unsur masyarakat sipil, negara-negara yang korup akan leluasa menjadikan UNCAC sebagai kosmetik belaka. Saat di-review, pemerintah bilang sudah mengadopsi ini dan itu, meski prakteknya tak banyak yang berubah, kata Bambang.

Keengganan ini juga diungkapkan Costa. Ini memang isu yang kontroversial, ia mengakui. Padahal, menurut saya, melibatkan LSM, media, kelompok bisnis, dan lainnya dalam memantau implementasi UNCAC sangatlah penting. KARANIYA DHARMASAPUTRA

Sumber: Koran Tempo, 2 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan