Kondisi Pengadilan; Pemborosan Waktu Jadi "Penyakit" di Pengadilan

Kuasa hukum RCTI, Kompas dan Kompas.com, serta Warta Kota, Amir Syamsuddin, mondar-mandir di depan ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pekan lalu. Ia menunggu sidang perkara gugatan yang diajukan tersangka kasus perjudian Raymond Teddy terhadap ketiga media itu.

Jadwal sidang sebenarnya pukul 10.00. Namun, hingga pukul 13.30, sidang belum mulai. Amir mulai gelisah. ”Ini sidang belum mulai-mulai,” keluhnya. Sidang akhirnya dimulai pukul 14.00.

Persidangan yang molor atau pemborosan waktu dalam setiap sidang bukan rahasia lagi. Hampir di banyak pengadilan negeri (PN), khususnya di Jakarta, jadwal sidang molor berjam-jam sudah menjadi hal yang rutin.

Pemborosan waktu menunggu sidang juga dialami pengacara Azas Tigor Nainggolan saat ingin beracara di PN Jakarta Timur. ”Coba lihat, berapa banyak orang rugi waktu setiap mau mengikuti sidang karena sidang tertunda berjam-jam,” katanya.

Memang ada beberapa penyebab acara sidang molor. Misalnya, para pihak, penggugat atau tergugat, belum datang.

Dalam kasus pidana, bisa juga terdakwa belum didatangkan oleh kejaksaan. Alasan lain, kuasa hukum belum datang. Bisa juga hakim yang memeriksa perkara itu belum lengkap, hakim tidak berada di tempat, atau hakim ada acara lain.

Apa pun alasannya, acara sidang yang molor berjam-jam dapat menunjukkan manajemen lembaga peradilan masih lemah. Masalah reformasi lembaga peradilan tak hanya terkait dengan persoalan penanganan kasus, tetapi juga manajemen waktu. Ini hal serius untuk dibenahi dan seharusnya menjadi bagian upaya mereformasi peradilan.

”Jangan bicara substansi lembaga peradilan. Manajemen waktu di pengadilan saja seperti ini,” kata Tigor. Acara sidang yang molor sangat merugikan orang, dari pengacara, terdakwa yang menunggu sidang, sampai masyarakat yang mengikuti sidang. Pengadilan sebagai lembaga pelayanan publik tak memberikan pelayanan yang optimal.

Dengan pemborosan waktu dalam menunggu sidang, menurut Tigor, pemeriksaan perkara di persidangan pun dapat menjadi kurang berkualitas. Kondisi seperti itu akhirnya memicu munculnya praktik mafia hukum di pengadilan.

Oleh karena itu, menurut Tigor, Mahkamah Agung perlu membenahi pengadilan melalui ketua pengadilan. ”Kalau tak dibenahi, sulit mereformasi peradilan,” katanya.

Amir mencontohkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tepat waktu dalam menggelar sidang. Jadwal di MK memang hampir tidak pernah molor. (fer)
Sumber: Kompas, 21 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan