Komposisi Hakim Pengadilan Antikorupsi; Dewan Setuju Usulan Pemerintah
ICW: hakim ad hoc harus selalu lebih banyak dari hakim karier.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dewi Asmara mengatakan komposisi hakim ad hoc dan hakim karier sebaiknya disesuaikan dengan tingkat kesulitan kasus korupsi yang ditangani. Hal tersebut, menurut dia, bisa ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. "Hakim ad hoc itu bisa menyesuaikan dengan kasus," kata Dewi saat dihubungi kemarin.
Usulan ini sesuai dengan sikap pemerintah dalam rancangan tersebut. Pada Jumat lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata meminta agar komposisi hakim di pengadilan khusus itu ditentukan oleh ketua pengadilan negeri. Sebab, kata Andi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus masuk ke peradilan umum.
Jika di bawah peradilan umum, Andi melanjutkan, pengadilan antikorupsi itu harus ada di semua pengadilan negeri. "Jika harus ada tiga hakim ad hoc, setidaknya dibutuhkan sekitar 1.500 hakim ad hoc. Bisa tidak menyiapkan hakim sebanyak itu?" ujar Andi. Padahal hakim ad hoc merupakan hakim yang memiliki keahlian tertentu.
Dewi mengatakan, meski belum disepakati, rapat panitia khusus soal komposisi hakim itu tampaknya menyepakati usulan pemerintah. Sebab, kata Dewi, jika komposisi hakim ad hoc terlalu banyak, akan terjadi komplikasi, terutama anggaran. Padahal, kata dia, hakim ad hoc adalah hakim dengan keahlian khusus dan ketika diangkat tidak boleh memiliki profesi lain. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi conflict of interest. "Jika digaji sama dengan pegawai negeri sipil, apa mau?" ujar Dewi. "Perlu lihat realitasnya."
Selain itu, Dewi melanjutkan, definisi hakim ad hoc harus disepakati dulu agar mudah memposisikan hakim ad hoc dalam komposisi hakim pengadilan khusus tersebut.
Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW), lembaga penggiat antikorupsi, menyarankan komposisi hakim di pengadilan khusus antikorupsi tetap terdiri atas tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier. "Tidak boleh ditentukan ketua pengadilan negeri. Berbahaya karena bisa sangat subyektif," ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho kemarin.
Emerson khawatir ketua pengadilan negeri dapat memanfaatkan kewenangannya untuk memilih hakim dalam perkara tertentu. Maka, menurut Emerson, hakim ad hoc harus selalu lebih banyak dari hakim karier.
Dewi menilai usulan tersebut berlebihan dengan jumlah hakim ad hoc diperbanyak. "Usul itu tidak aplikatif dan bisa menabrak hukum itu sendiri. Jangan menyelesaikan masalah itu dengan pokoknya," katanya.
Meski jumlah hakim ad hoc tidak banyak, Dewi menuturkan, masyarakat tidak perlu khawatir. "Kan, masih ada saksi ahli. Ini juga bisa menutupi jika jumlah hakim dengan keahlian khusus tidak mencukupi," katanya. EKO ARI WIBOWO | FAMEGA SYAVIRA
Sumber: Koran Tempo, 3 Agustus 2009