Komjen Susno Duadji Segera Diselidiki

Bantah Kapolri, Saksi Sebut Nama Kurir Baru

Mabes Polri tidak ingin citranya terus dipojokkan ga­ra-gara perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komjen Susno Duadji. Begi­tu menerima laporan resmi dari tim pengacara KPK, Inspektorat Pengawasan Umum dan Divisi Pro­fesi dan Pengamanan (Propam) lang­sung bergerak cepat.

"Laporan atas Komjen Susno Duadji akan segera diselidiki dulu," kata Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komjen Pol Ju­suf Manggabarani di Mabes Polri kemarin (28/9). Pemeriksaan selanjutnya ditangani Propam Mabes Polri.

"Prosesnya itu saya berdua dengan Kadiv Propam Irjen Pol Oegroseno menerima, terus ditangani lebih oleh Kadiv Propam. Berdasar aturan hukum yang berlaku, jadi diawali penyelidikan ba­ru diambil langkah," katanya.

Jenderal tiga bintang itu memastikan, laporan siapa pun ke Irwasum akan diproses. Polisi tidak boleh menolaknya dengan alasan apa pun. "Setiap orang yang mela­por harus kita terima. Tidak ada alasan politik untuk tidak menerima laporan dan pengaduan apa pun yang berkaitan dengan masalah kepolisian," kata alumnus Akpol angkatan 1975 itu.

Jusuf mengatakan tidak mempunyai masalah psikologis bila harus memeriksa petinggi polisi yang setingkat dengan dirinya. Irwasum tetap memeriksanya sesuai peraturan yang berlaku. "Kan sudah ada aturannya. Kita luruskan saja berdasarkan aturan yang berlaku," kata mantan Kapolda Sulsel itu.

Apakah Susno akan dinonaktifkan? Jusuf menggeleng. "Tidak ada komentar. Orang hanya bertanggung jawab berdasar apa yang dibuatnya. Ini kan belum diperiksa," tegasnya.

Irwasum belum bisa memberikan hasil pemeriksaan karena kasusnya sedang diselidiki. "Jadi, nanti Kadiv Propam membuat laporan sekaligus kepada Kapolri tentang hasil kepolisian dan (kemudian arahan) Kapolri turun, nanti diberi langkah selanjutnya," katanya.

Tim pengacara KPK sebelumnya melaporkan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Mereka menduga Susno melanggar ketentuan hukum, norma, kesusila­an dan wewenang. Pemeriksaan terhadap Bibit dan Chandra dini­lai sebagai sebuah kejahatan.

Mereka melapor setelah Bibit dan Chandra menjalani wajib la­por di Bareskrim kemarin. Bibit dan Chandra tidak diperiksa, ta­pi hanya disuruh menandatanga­ni daftar hadir wajib lapor.

Laporan terhadap sikap Susno, se­lain disampaikan ke Irwasum Polri, ditembuskan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Polhukam Widodo A.S. "Biar mereka secara terbuka menindaklanjuti PP tentang disiplin dan pemberhentian anggota polisi," kata salah satu pengacara KPK, Ahmad Rifai. Laporan itu, la­njutnya, untuk menyelamatkan ke­polisian. "Kita sampaikan la­por­an ini karena cinta pada kepo­lisian dan agar kepolisian tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain," ujarnya.

Di bagian lain, konflik berlarut-larut antara KPK dan Polri membuat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. membuka suara. Dia mengatakan, ke­salahan ada pada Kapolri Bam­bang Hendarso Danuri.

''Saya tidak akan mengatakan presiden perlu menegur Kapolri. Tapi, kalau saya yang menjadi pre­siden, akan saya pecat (Kapolri),'' kata Mahfud di gedung MK kemarin (28/9).

Kendati mendukung perppu Plt un­tuk KPK, Mahfud mengatakan bahwa upaya hukum untuk pimpinan KPK tidak tepat. Sebe­lumnya, mantan Menhan era Pre­siden Abdurrahman Wahid itu menyebut Polri keblablasan da­lam menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka.

Mahfud mengaku tak bisa mengingatkan Kapolri dalam forum resmi. Sebab, dia bukan anggota ka­binet. ''Karena saya tidak bisa mengatakan di dalam sebuah forum resmi langsung kepada Polri, sebagai pejabat negara, saya hanya bisa mengingatkan dengan per­nyataan,'' katanya.

Sejumlah LSM kemarin meng­ajukan judicial review tentang perppu Plt pimpinan KPK ke MK. Tapi, MK menyatakan tidak bisa menerimanya. Mahfud mengatakan, perppu tidak bisa di-judicial review. Perppu hanya boleh diuji dengan political review atau legis­lative review.

Perppu justru hak presiden apabila kondisi dirasa mendesak dan perlu. ''Kita tidak menguji UU secara material, tetapi secara formal. MK hanya bisa menguji UU dalam arti formal,'' katanya.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mendukung tuntutan agar Sus­no Duadji dinonaktifkan sementara. "Agar penyelesaian ka­sus bisa efektif, Pak Susno di­nonaktif­kan sementara untuk meng­hadapi tuntutan itu," ujar Hidayat mengomentari langkah KPK mengadukan Susno ke Irwasum Mabes Polri.

Penonaktifan Susno tersebut, me­nurut Hidayat, adalah hal yang wajar dilakukan Polri. Dengan pe­nonaktifan itu, Susno memiliki waktu luang untuk menyelesaikan masalah hukum yang dituduhkan kepadanya. "Sebagai institusi hukum Kapolri bisa mempertim­bangkan itu," katanya.

Soal penetapan tersangka terhadap dua pimpinan KPK, Hidayat menyerahkan hal itu pada proses hukum. Dia meminta agar seseorang tidak dijadikan tersangka hanya karena rumor dan tanpa bukti yang kuat.

Anggota Wantimpres Adnan Bu­yung Nasution juga berkomentar tegas. "Saya berkali-kali bilang, kalau KPK sudah punya bukti keter­libatan Susno Duadji, ya tangkap saja. Periksa dong, kenapa enggak ada nyali dari KPK," jelas Bu­yung di kantor Wantimpres, Jl Veteran, Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, langkah itu perlu dilakukan agar tidak semakin berkembang wacana liar soal Susno yang disebut-sebut tersangkut suap. "Menurut saya, harus ada keberanian moril juga. Kalau tidak, kasihan juga dia jadi bulan-bulanan orang terus," ujarnya.

Buyung menyatakan, kalau benar Susno terlibat, sebaiknya Pol­ri memberhentikannya. "Tapi, kalau Kapolri tetap anggap dia bersih, berarti teman-teman KPK harus melaksanakan tugas. Kalau enggak, masyarakat bingung," jelasnya.

Ari Sebut Yulianto
Pernyataan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) terus menuai bantahan. Selama ini, BHD menyebut kurir dan saksi utama pemberian duit suap ke­pada dua pimpinan Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi (KPK) adalah Ari Muladi. Tapi, Ari ternyata tak pernah mengenal dua pimpinan KPK tersebut, yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.

Dia menyebut ada orang lain yang memberikan uang itu kepada Bibit dan Chandra yang kini berstatus tersangka. Hal tersebut tertuang dalam salinan berita acara pe­meriksaan (BAP) yang diperoleh Jawa Pos kemarin (28/9). BAP itu disusun pada 26 Agustus 2009.

Dalam BAP tersebut, Ari bersaksi bahwa dirinya tidak mengenal dua pimpinan KPK yang dise­but BHD menerima uang suap itu, yakni Chandra dan Bibit. Karena itu, uang tersebut diberikan melalui seorang perantara lagi, yakni Yulianto alias Anto.

Sugeng Teguh Santosa, kuasa hukum Ari, ketika dimintai keterangan menyatakan bahwa kliennya tidak mengenal pejabat di KPK. "Ari tidak kenal orang KPK. Karena itu, dia meminta bantuan Yulianto untuk menyerahkannya ke pimpinan KPK," kata Sugeng kepada koran ini di Jakarta kemarin.

Keterangan tersebut berarti ber­tolak belakang dengan per­nyataan BHD. Sebelumnya, man­tan Kabareskrim itu mengatakan bahwa yang menyerahkan uang kepada Bibit dan Chandra adalah Ari. Padahal, Ari tidak mengenal ke­duanya. Dalam konferensi pers Jumat lalu (25/9) pun, BHD tak pernah menyebut nama Yu­lianto. Me­nurut dia, semua uang itu di­se­rahkan oleh Ari.

Dalam salinan BAP tersebut, Ari tidak mengenal Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja. Tapi, Yu­lianto mengaku kenal dengan Ade. Berdasar informasi yang diperoleh koran ini, Ade dan Yulianto kenal karena sama-sama pernah tinggal di Surabaya. Di Kota Pahlawan, Ade pernah menjabat Kapolwilta­bes Surabaya dan Kaditserse Polda Jatim.

Yulianto pula yang menjanjikan menyerahkan uang tersebut kepada pimpinan KPK. Dari dia juga surat pencabutan cekal itu muncul dan diserahkan kepada Ari untuk ditunjukkan kepada Anggoro bah­wa upaya penyuapan KPK suk­ses. Namun, ternyata surat pencabutan cekal tersebut palsu dan merupakan akal-akalan Yulianto.

Saat ditanyai penyidik apakah pernah melihat surat yang ter­kait dengan PT Masaro, Ari men­ja­wab pernah. Yakni, surat pen­ca­butan ce­kal ke luar negeri yang dikeluarkan oleh Deputi Penindakan KPK (yang dipimpin Ade). Na­mun, Ari mengaku bahwa itu bukan surat asli dari KPK. Dia mengantar Yulianto ke tempat pembuatan surat tersebut di Matraman.

Sugeng menjelaskan, pihaknya kini justru mengkaji rencana untuk memperkarakan Yulianto. Alasannya, ada keterangan dari Bibit dan Chandra yang membantah dikatakan telah menerima suap. "Padahal, uang sudah dise­rahkan ke­pada Yulianto. Tapi, Pak Bibit dan Pak Chandra membantah," terang penga­cara kelahiran Semarang tersebut.

Lantas, apa dasar pernyataan BHD Jumat lalu di Mabes Polri itu? Mungkin, dasarnya adalah BAP Ari pada pemeriksaan Juli 2009. Saat itu Ari berstatus saksi. Ketika itu dia belum didampi­ngi pengacara.

Calon dari Internal
Desakan agar pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK berasal dari in­ternal lembaga itu, tampaknya, akan diakomodasi. Tim lima bentukan Presiden SBY akan memasukkan calon dari internal KPK ke dalam tiga orang yang akan di­pilih untuk mengisi posisi yang di­tinggalkan Antasari Azhar, Chandra M. Hamzah, dan Bibit S. Riyanto.

Anggota tim lima Adnan Buyung Nasution mengatakan, hal itu juga se­suai dengan usul pimpinan yang masih ada, Haryono Umar dan M. Jasin. "Memperhatikan saran dari pimpinan yang ada, mereka minta sudah ada yang tune in," kata Adnan Buyung kemarin (28/9).

Namun, anggota Wantimpres itu belum menyebutkan orang dari internal yang akan menjadi Plt tersebut. Termasuk apakah dia masih aktif atau dari jajaran pimpinan KPK periode pertama. Mengenai komposisinya, mungkin Plt dari internal adalah satu orang.

Sebelumnya, saat memberikan masukan ke tim lima, M. Jasin dan Haryono Umar mengatakan akan lebih baik jika tim lima menunjuk orang internal KPK dan mantan pimpinan KPK. Menurut Jasin, mereka terbiasa bekerja dengan sistem yang ketat. Selain itu, integritasnya juga tak perlu diragukan lagi. "Selama ini KPK memiliki data rahasia. Kalau itu orang dalam, saya yakin tidak akan membocorkan kepada orang lain," jelasnya (Jawa Pos, 26/9).

Beberapa nama dari internal KPK memang muncul sebagai calon Plt pimpinan. Misalnya, pe­nasihat KPK Abdullah Hehamahua dan beberapa deputi di KPK, yakni Deputi Penindakan Ade Rahardja serta Deputi Pen­cegahan Eko Sasmito Tjiptadi. Ke­mudian, juga ada beberapa man­tan pimpinan KPK seperti Amien Sunaryadi, Erry Riyana Har­djapamekas, dan Tumpak Ha­torangan Panggabean.

Kemarin tim lima kembali menggelar pertemuan untuk mendapatkan masukan. Kali ini dari kalangan LSM. Setelah pertemuan, anggota tim lima Todung Mulya Lubis mengatakan, tim memperoleh beberapa masukan. Misalnya, adanya kriminalisasi pimpinan KPK. Todung mengakui, ada beberapa nama yang dicalonkan menjadi Plt, namun menolak karena adanya kriminalisasi itu. "Ini pelajaran untuk ke depan. Tidak boleh ada kriminalisasi," katanya.

Hingga saat ini, tim lima masih terus menggodok nama-nama yang akan diajukan sebagai Plt pimpinan KPK. Rencananya, tim akan menyerahkan tiga nama ke presiden pada Kamis mendatang (1/10). (rdl/fal/aga/dyn/iro)

Sumber: Jawa Pos, 29 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan