Komjen Pol Ito Sumardi: Tak Ada, Rekaman Ade Rahardja-Ari Muladi

Kabareskrim Pastikan Hanya Berupa CDR

Rekaman pembicaraan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Ade Rahardja dengan Ari Muladi barangkali tidak pernah ada. Bukti yang digunakan untuk menjerat dua pimpinan KPK Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara dugaan pemerasan itu ternyata hanya berupa call data record (CDR).

"Bukan rekaman, tapi CDR," kata Kabareskrim Komjen Pol Ito Sumardi di Mabes Polri kemarin (11/8). Bukti CDR tersebut, kata dia, akan diserahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai bukti sidang Anggodo Widjojo. "Kita akan lihat, bukti itu relevan atau tidak," imbuhnya.

CDR merupakan dokumen yang berisi rincian panggilan atau hubungan antara nomor-nomor telepon. Namun, berbeda dengan yang selama ini diklaim oleh Polri, CDR tersebut tidak berisi rekaman pembicaraan. Bahkan, di depan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso pernah mengatakan memiliki rekaman percakapan Ade-Ari sebanyak 64 kali.

Terpisah, Kapuspenkum Kejagung Babul Khoir Harahap mengatakan, di dalam berkas perkara Bibit-Chandra memang tidak ada barang bukti berupa CD atau kaset yang berisi rekaman. "Tapi, ada hubungan telepon. Itu di dalam berkas," kata Babul di kantornya kemarin.

Babul mengungkapkan, di dalam berkas disebutkan perkenalan Ade dengan Ari karena ada hubungan sebanyak 64 kali. "Di BAP disebut 64 kali komunikasi. (Tetapi) Transkip percakapannya tidak ada," kata mantan wakil kepala Kejati Sumut itu.

Dapatkah itu digunakan sebagai bukti di sidang? Babul mengatakan, selama masih memiliki relevansi dengan perkara, CDR bisa dipakai sebagai alat bukti. "Nanti di sidang diajukan ke hakim. Kalau hakim memutuskan bisa dipakai, ya akan kita pakai," ujarnya.

Di bagian lain, KPK melalui juru bicaranya, Johan Budi, meragukan bukti berupa CDR yang kini berada di tangan polisi itu. Johan mengatakan, sebelumnya KPK pernah melakukan pemeriksaan internal terhadap Ade. "Bersamaan ketika kasus Bibit-Chandra ditangani polisi," ucap Johan Budi di kantornya kemarin.

Lebih lanjut Johan menuturkan, pemeriksaan itu dilakukan oleh bagian pengawasan internal. Dengan tegas, dia mengatakan, KPK tentu memiliki CDR para pegawainya. Pada pemeriksaan internal tersebut, CDR nomor telepon seluler Ade juga diperiksa. "Nomornya 08116600xx," ucapnya.

Nomor telepon seluler pascabayar tersebut merupakan nomor yang sehari-hari digunakan Ade untuk berkomunikasi dan diperoleh dari pihak opetaror. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak pernah ada kontak antara Ade dan Ari. Johan malah mempertanyakan apakah ada nomor seluler lain milik Ade. Nah, jika memang Ade punya nomor lain, hal itu haruslah dibuktikan terlebih dulu.

Johan memaparkan, CDR merupakan catatan aktivitas nomor telepon seluler. Dalam CDR, akan diketahui nomor tersebut pernah berhubungan dengan nomor-nomor yang lain. Selain itu, tanggal, jam, dan durasinya pun bisa diketahui secara detail. Bahkan, juga ada informasi lain, seperti saat berhubungan berada di mana.

Selain dari CDR, menurut Johan, saat diperiksa oleh penyidik KPK, Ade menyatakan tidak pernah berbicara dengan Ari. Begitu juga Ari. Dia membantah bahwa dirinya pernah berhubungan dengan Ade.

Karena itu, Johan meminta ketegasan polisi untuk membuka CDR bila benar-benar memiliki bukti tersebut. "Kalau ada, sampaikan ada. Tapi kalau tidak, sampaikan tidak ada biar masyarakat nggak bingung," ucapnya.

Majelis hakim yang menyidang kasus Anggodo Widjojo tampaknya bakal bergeming dengan upaya polisi menyerahkan CDR. Ketua majelis hakim kasus upaya menghalang-halangi penyidikan KPK, Tjokorda Rae Suamba, menyatakan tak bakal kembali memundurkan agenda sidang hanya karena penyerahan CDR. ''Agenda sidang pekan depan untuk pembacaan tuntutan. Jadi, tak bisa mundur lagi,'' kata Tjokorda saat ditemui di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kemarin (11/8).

Tjokorda justru mempertanyakan kenapa CDR itu baru akan diserahkan sekarang. Sebab, hakim sudah berkali-kali memberi kesempatan untuk membeber bukti tersebut. ''Saya sudah memberikan tiga kali kesempatan agar rekaman itu diputar, tapi tidak ada tindak lanjut,'' kata Tjokorda yang juga menjadi hakim ketua sidang sengketa saham antara kubu Siti Hardiyanti Rukmana dan Harry Tanoesodibjo di PN Jakarta Pusat ini.

Hakim memang sudah tiga kali memerintahkan rekaman itu dibeber di sidang. Namun, polisi lebih memilih mengabaikan perintah pengadilan dan baru sekarang mereka hendak menyerahkan bukti rekaman itu.

Secara terpisah, peneliti ICW Febri Diansyah menilai, keabsahan CDR itu harus dibuktikan. Pengadilan Tipikor memiliki para ahli untuk memeriksa keabsahan tersebut. Karena itu, dia meminta penegak hukum tidak mengklaim bahwa CDR itu bisa menjadi alat bukti yang sah. "CDR itu bukan rekaman. (CDR) itu hanya untuk mengklaim bahwa di KPK ada mafia," sorot Febri di gedung DPR kemarin. (fal/rdl/kuh/bay/aga/c1/iro)
Sumber: Jawa Pos, 12 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan