Komitmen Polri Tegakkan Hukum secara Internal
Polri memiliki komitmen penegakan hukum secara internal untuk mewujudkan kepastian hukum. Jika dalam proses penyelidikan dan penyidikan diperoleh bukti kuat bahwa ada oknum anggota Polri yang melanggar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), terhadap yang bersangkutan akan diproses melalui mekanisme peradilan umum.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri Inspektur Jenderal Aryanto Boedihardjo mengemukakan hal tersebut dalam siaran pers yang dikeluarkan di Jakarta, kemarin. Penjelasan tersebut terkait pembentukan opini di masyarakat setelah penyerahan dokumen dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husain kepada Kapolri Jenderal Sutanto beberapa hari lalu. Usai bertemu Kapolri pada Selasa (26/7), Yunus Husain mengatakan pihaknya telah menyerahkan dokumen 15 perwira tinggi Polri yang mempunyai rekening tidak wajar.
Menurut Aryanto, dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, Polri tetap memerhatikan UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Maka dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, Polri selalu memerhatikan asas praduga tidak bersalah.
Untuk menjunjung supremasi hukum, tambah Aryanto, segala informasi atau masukan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum tentang nilai kebenaran laporan atau pengaduan masyarakat, maka Polri, sesuai sumpah jabatannya, tidak dibenarkan memaksakan kehendak untuk melakukan upaya paksa. Bahkan Polri berkewajiban untuk memproses pihak-pihak yang secara sengaja melakukan pencemaran nama baik, fitnah, dan sebagainya.
Dijelaskan pula, kehadiran Kepala PPATK di Mabes Polri tidak khusus menyerahkan dokumen rekening bermasalah, tetapi melaksanakan koordinasi teknis berkait dengan penelusuran dana hasil kejahatan perjudian, korupsi, perbankan, illegal logging/fishing/meaning dan sebagainya, untuk menjerat para pelaku dalam UU No 25/2005 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berkaitan dengan pemunculan inisial/nama beberapa perwira Polri yang sengaja digulirkan beberapa pimpinan lembaga swadaya masyarakat (LSM), Aryanto berharap agar semua pihak menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah dan memosisikan privasi seseorang di depan publik sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Sutanto membantah keterlibatan 15 perwira tinggi (pati) Polri terkait kasus rekening tidak wajar. ''Itu tidak benar. Hanya satu-dua pati yang dilaporkan memiliki rekening mencurigakan. Sebagian besar justru perwira menengah (pamen),'' kata Sutanto kepada Media di sela-sela upacara pembukaan Pendidikan Sespati Polri ke-9 di Lembang, Jabar, kemarin.
Namun, orang nomor satu di Polri itu menolak membeberkan nama-nama pati yang diduga memiliki simpanan yang tidak wajar. Alasannya, karena adanya UU No 25 Tahun 2003 tentang Money Laundering.
''Ada aturan UU tentang Money Laundering yang melarang pengungkapan nama-nama itu,'' tegas Sutanto.
Jangan distorsi
Di tempat terpisah kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Ketua PPATK Yunus Husain untuk mendapatkan kejelasan menyangkut pemberitaan adanya beberapa perwira tinggi Polri yang disebut memiliki rekening tidak wajar. Presiden didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, sedangkan Yunus Husain datang bersama Wakil Ketua PPATK Kusno Duaji.
''Ini memang langsung ke Presiden karena kita tidak ingin sampai terjadi distorsi pemberitaan sehingga dapat merugikan pihak-pihak lain yang belum tentu bersalah. Oleh sebab itu, Presiden mendapatkan laporan agar tidak terjadi tafsiran-tafsiran atau tudingan-tudingan yang belum tentu. Jadi asas praduga tidak bersalah itu betul-betul harus dipegang,'' jelas Sudi.
Sedangkan Yunus mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Kepolisian dan Timtas Tipikor, serta kejaksaan, termasuk lembaga lainnya. Dia mengaku PPATK hingga saat ini telah menyerahkan laporan kepada Kapolri sebanyak 292 laporan dan dari 292 laporan itu sebanyak 60 telah selesai disidik kepolisian.
Dari 60 laporan tersebut, jelas Yunus lagi, sebanyak 45 kasus telah diserahkan ke kejaksaan untuk diproses, serta tujuh kasus tidak dapat diteruskan karena tidak cukup bukti, empat kasus tidak dapat diteruskan karena tersangka di luar negeri. Selain itu ada juga tersangka yang meninggal. Sedangkan dari 45 yang telah diteruskan ke Kejaksaan, sebanyak 20 kasus telah diputus pengadilan, dan dihukum antara empat bulan hingga seumur hidup. (Tia/Mhj/San/X-6)
Sumber: Media Indonesia, 2 Agustus 2005