Komisi Yudisial Tidak Berwenang Lagi Awasi Hakim Agung

Mahkamah Konstitusi kemarin memutuskan menerima sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial yang diajukan 31 hakim agung.

Mahkamah Konstitusi kemarin memutuskan menerima sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial yang diajukan 31 hakim agung. Mahkamah Konstitusi memutuskan Komisi Yudisial tak berwenang mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi karena Undang-Undang Komisi Yudisial dianggap belum sempurna.

Mahkamah Konstitusi berpendapat segala ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena menimbulkan ketidakpastian hukum, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie membacakan putusannya di gedung Mahkamah Konstitusi.

Menurut Mahkamah, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tak mengatur secara terperinci prosedur, subyek, obyek, instrumen, dan proses pengawasan. Itu sebabnya, semua ketentuan pengawasan itu kabur dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum soal tugas, Mahkamah menyatakan undang-undang tadi harus direvisi.

Mahkamah Konstitusi merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan Undang-Undang Komisi Yudisial, ujar Jimly. Pengawasan terhadap hakim agung untuk sementara dikembalikan kepada pengawasan internal Mahkamah Agung selama perbaikan undang-undang.

Mahkamah Konstitusi menilai pengawasan terhadap hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan konstitusi karena hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etiknya diawasi Komisi, sesuai dengan Undang-Undang Komisi Yudisial. Hakim konstitusi diawasi oleh Majelis Kehormatan sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Ketua Muda Perdata MA Harifin A. Tumpa gembira dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan ini satu langkah untuk kembali ke rel (yang semestinya), katanya seusai sidang. MA memiliki prosedur pengawasan bertingkat dari pengadilan tingkat pertama.

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Firmansyah Arifin menganggap putusan ini merendahkan hakim konstitusi karena, menurut konstitusi, hakim juga terdiri atas hakim konstitusi. TITO SIANIPAR

Sumber: Koran Tempo, 24 Agustus 2006
---------------
MK Batalkan UU KY tentang Pengawasan
Busyro: KY Sama Sekali Tidak Kecil Hati

Mahkamah Konstitusi membatalkan semua ketentuan UU Komisi Yudisial tentang pengawasan hakim karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan pengawasan di dalam UU tersebut dinilai kabur sehingga di dalam pelaksanaannya menimbulkan ketidakpastian hukum.

Untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat pembatalan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menganjurkan agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera memperbaiki Undang-Undang Komisi Yudisial (UU KY). Pemerintah dan DPR diminta melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU KY, UU Mahkamah Agung (MA), dan UU MK.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka di Gedung MK, Rabu (23/8) di Jakarta. Putusan ini dicapai dalam rapat musyawarah hakim yang dihadiri sembilan hakim konstitusi yang menghasilkan keputusan bulat, tanpa dissenting opinion.

Dalam pertimbangan hukumnya, Pasal 24 B Ayat (1) UUD 1945 menyiratkan bahwa KY hanya dapat mengawasi pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. Namun, pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim tidak diatur di dalam UU KY.

Hal tersebut menyebabkan adanya penafsiran yang tidak tepat, terutama oleh KY yang menafsirkan bahwa penilaian perilaku dilakukan dengan penilaian putusan. Kewenangan pengawasan etik yang diberikan UUD telah secara sadar atau tidak ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan.

Selain itu, MK menyoroti tidak jelasnya pengaturan tentang mekanisme pengawasan di dalam UU KY. UU itu tidak mengatur bagaimana prosedur pengawasan, siapa yang mengawasi, obyek yang diawasi, dan instrumen yang digunakan di dalam pengawasan.

Konsepsi pengawasan yang digunakan oleh UU KY pun dinilai tidak tepat. UU tersebut menggunakan paradigma check and balance antarcabang kekuasaan. Hal itu tidak tepat jika diterapkan di dalam hubungan MA dan KY karena di dalam pelaksanaannya justru menimbulkan kekisruhan akibat penafsiran yang tidak tepat.

Hakim MK tidak diawasi KY
Dalam putusannya, MK juga menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan KY. Pengawasan KY terhadap hakim MK akan mengganggu dan memandulkan MK sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

Dalam pertimbangannya, MK menilai ketentuan tentang KY di dalam Pasal 24 B UUD 1945 tidak berkaitan dengan ketentuan tentang MK yang diatur di dalam Pasal 24 C UUD 1945.

Ketentuan berbeda berlaku untuk hakim agung. MK tidak menemukan dasar-dasar konstituonalitas dihapuskannya pengawasan KY terhadap hakim agung.

Tak berkecil hati

Menanggapi putusan ini, Ketua KY Busyro Muqoddas mengaku pihaknya sama sekali tidak berkecil hati. Semoga hakim-hakim MK mampu mempertanggungjawabkan putusan tersebut kepada rakyat, tulis Busyro dalam pesan pendeknya yang dikirimkan kepada Kompas.

Sementara itu, Ketua Muda Perdata MA Harifin A Tumpa menilai bahwa keputusan tersebut justru bagus untuk memulai kembali dan menata kembali hubungan KY dan MA. Ia tidak melihat putusan tersebut sebagai upaya memereteli kewenangan KY, tetapi hanya sebagai langkah untuk mengembalikan segala sesuatu ke relnya. (ANA)

Sumber: Kompas, 24 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan