Komisi Yudisial; Sapu Bersih untuk Hakim Kotor [01/06/04]

RUU Komisi Yudisial dibahas pekan ini. Upaya membersihkan hakim kotor. Efektifkah?

SEDERETAN pesan pendek sampai di telepon seluler Direktur Jenderal Peraturan Perundangan Abdul Gani Abdullah, akhir April silam. Di sana disebutkan telah turunnya amanat Presiden yang menunjuk Departemen Kehakiman sebagai mitra DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial. Pertemuan dengan Badan Legislasi DPR pun telah dilakukan oleh Departemen Kehakiman, pertengahan Mei lalu. Pembahasannya harus selesai tahun ini, kata Abdul Gani.

Sesuai dengan kesepakatan, pekan ini DPR memulai pembahasan RUU yang sudah tertunda hampir setahun itu. Dewan malah ingin agar pengesahan UU Komisi Yudisial selesai sebelum masa tugas mereka berakhir, September 2004. Ketua Badan Legislasi DPR, Zein Badjeber, berjanji pada akhir bulan ini juga pembahasannya sudah rampung. Soalnya, pembentukan Komisi Yudisial sudah lama diamanatkan dalam amendemen ketiga UUD 1945. Dalam pasal 24 B konstitusi hasil amendemen disebutkan, komisi ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, ditambah berwenang menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim.

Pengawasan perilaku hakim itulah yang bakal menjadi titik berat tugas Komisi Yudisial. Kotornya peradilan di negeri ini memang sudah kesohor. Masih ingat kisah Mimi Lindawati pada 1987? Saking kesalnya, perempuan ini melemparkan sepatunya ke muka hakim, gara-gara Hakim Abdul Razak di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ingkar janji. Alih-alih menjatuhkan hukuman berat pada terdakwa Nani yang telah menipu Mimi, Hakim malah menghukum ringan terdakwa. Padahal Abdul Razak sudah telanjur menerima uang. Malang bagi Mimi, sudah ditipu dua kali—oleh terdakwa dan hakim—ia malah divonis enam bulan penjara karena dianggap menghina mahkamah.

Lalu, pada tahun 2002, tiga hakim agung—Supraptini Sutarto, Marnis Kahar, Yahya Harahap—dituding menerima suap Rp 196 juta dari Endin Wahyudin. Namun, dalam persidangan, akhirnya ketiga hakim itu dibebaskan dari dakwaan. Kasus lain menimpa Hakim Agung Fauzatullo Zendrato, yang dituduh menerima suap Rp 550 juta dalam kasus PT Surabaya Industrial Estate Rungkut.

Nah, hadirnya Komisi Yudisial diharapkan bakal mengurangi praktek kotor di kalangan hakim itu. Lembaga ini ibarat sapu untuk membersihkan lembaga peradilan, ujar Direktur Eksekutif Lembaga Independen Pemantau Peradilan (LeIP), Rifqi Sjarief Assegaf.

Harapan Rifqi boleh menjulang, tapi untuk mencapai hasil yang diharapkan, butuh perjuangan panjang. Pasalnya, dalam rancangan undang-undang buatan DPR, kewenangan Komisi Yudisial dianggap masih lemah. Selain punya kewenangan pengawasan, lembaga ini seharusnya memiliki wewenang memeriksa hakim, kata Rifqi.

Seperti tersebut dalam Pasal 13 ayat 1 huruf C RUU DPR, Komisi Yudisial dalam tugas pengawasan yang dimilikinya melakukan pemeriksaan terhadap informasi atau data berkenaan dengan dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim. Malangnya, tugas ini tak diserahkan ke Komisi Yudisial, tapi ke Dewan Kehormatan Hakim, seperti tertera dalam UU Mahkamah Agung No. 5/2004. Hampir percuma bila komisi ini memiliki fungsi pengawasan, tetapi ujung-ujungnya berakhir di Majelis Kehormatan Hakim, ujar Rifqi.

Pengawasan internal oleh Majelis Kehormatan Hakim tidak akan efektif, mengingat semangat esprit de corps para tuan bertoga itu sangat tinggi. Ada rasa sungkan jika seorang hakim menghukum kolega sendiri, kata Rifqi. Maka, jika Dewan ingin komisi ini lebih bergigi, mesti ada pembagian wewenang pengawasan. Komisi Yudisial diberi kewenangan mengawasi perilaku hakim di dalam maupun di luar ruang sidang. Secara tegas usul ini dimasukkan LeIP dalam Pasal 11 b yang berbunyi: Komisi Yudisial bertugas melakukan pengawasan perilaku hakim di dalam dan di luar kedinasan.

Lalu apa kerja Majelis Kehormatan? Tugas pengawasan majelis ini lebih kepada teknis yudisial yang menyangkut praktek beracara di pengadilan. Ketua Badan Legislasi DPR, Zein Badjeber, sepakat dengan usul itu. Hanya, pengawasan oleh komisi itu tidak boleh masuk ke materi perkara. Komisi ini tak bisa mengintervensi putusan yang sudah dibuat hakim, ujarnya.

Soal penjatuhan sanksi, LeIP menyarankan agar diberikan dua jenis sanksi: sanksi tertutup dan sanksi terbuka. Sanksi berupa teguran tertulis yang tertutup diberikan jika hakim berbuat kesalahan kecil yang tak mengganggu kredibilitas dirinya. Adapun sanksi terbuka diberikan kepada para pelanggar yang melakukan kesalahan kecil berulang-ulang dan berat.

Pemeriksaan terhadap hakim tentu tak akan mudah. Soalnya, selama ini data di pengadilan sangat sulit diakses. Padahal, untuk memeriksa track record hakim, Komisi Yudisial membutuhkan akses seluas-luasnya. Sebab itu Rifqi mengusulkan agar komisi ini leluasa memeriksa track record hakim, selain berwenang meminta laporan periodik pengadilan dan membuka catatan persidangan. Selama ini lembaga peradilan selalu tertutup dalam soal ini, katanya.

Karena itu LeIP mengusulkan Pasal 13 ayat 1 huruf b diberi penjelasan seperti ini: Untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pasal ini, Komisi Yudisial berhak memanggil pihak yang dianggap perlu didengar keterangannya, meminta pengadilan membuka catatan pengadilan, meminta pengadilan memberikan semua data lain yang dianggap perlu.

Laporan periodik pengadilan sangat penting untuk memperlancar tugas Komisi, karena pengadilan memiliki data perkara, nama majelis hakim, dan pengacaranya. Dari situ bisa ditelusuri, apakah ada perkara yang selalu melibatkan hakim dan pengacara yang sama, atau mereka bergaul rapat. Sebab, hal itu bisa menjadi indikasi awal adanya praktek kotor di pengadilan. Selain itu, catatan persidangan diperlukan buat melihat dissenting opinion (pendapat yang berbeda) dari seorang hakim. Catatan ini penting untuk melengkapi track record hakim yang bersangkutan.

Namun Rifqi pesimistis usul ini akan lolos. Sebab, korps hakim bisa jadi akan menolaknya. Gerakan pengebirian pasal-pasal usulan LSM, menurut dia, kemungkinan bisa terjadi selama pembahasan rancangan ini. Namun, menurut Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung, Abdul Rahman Saleh, korps hakim tidak akan melakukan gerakan yang malah menghambat reformasi di tubuh peradilan. Saya sendiri tidak mendengar ada isu gerakan seperti itu, katanya.

Zein Badjeber menilai sangat kecil kemungkinan intervensi politik dalam pembahasan RUU yang satu itu. Rancangan ini tidak ada nilai politisnya, katanya. Nah, untuk para tuan hakim yang sering melakukan praktek kotor dalam proses peradilan, bersiaplah menerima kehadiran polisi hakim ini.

Juli Hantoro, Lis Yuliawati (Koran Tempo)

Sumber:Rubrik Hukum Majalah Tempo, No. 14/XXXIII/31 Mei - 06 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan