Komisi Yudisial; Mengusulkan Hakim, Mengawasi Hakim [19/08/04]
Dalam dua tahun ke depan, sebuah lembaga baru diintrodusir oleh pemerintahan transisi pasca-Orde Baru. Lembaga itu diberi nama Komisi Yudisial, sebuah lembaga yang punya tugas pokok mengusulkan nama calon hakim agung dan ikut memantau perilaku para hakim. RUU Komisi Yudisial telah disepakati DPR dan pemerintah, 15 Juli 2004.
Lahirnya Komisi Yudisial yang banyak disuarakan aktivis organisasi nonpemerintah itu makin menambah panjang komisi-komisi yang lahir sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto. Menurut catatan Kompas, paling tidak tercatat sudah tiga belas komisi dilahirkan. Kehadiran telah menambah lembaga negara konservatif seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang digagas Montesquieu.
Gagasan Trias Politica yang memisahkan kekuasaan dalam tiga wilayah kekuasaan barangkali sudah harus ditinggalkan dengan hadirnya state auxialiary agency (lembaga negara tambahan). Namun demikian tetap menjadi sebuah pertanyaan menarik bagaimana sebenarnya bangunan sistem pemerintahan Indonesia pasca-Perubahan UUD 1945, ditambah dengan lahirnya berbagai komisi. Itu memang menjadi pertanyaan besar dan saya pikir itu harus ditata ulang, kata Firmansyah Arifin, Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Memang agak susah membayangkan bagaimana bangunan sistem pemerintah dan hubungan antar lembaga negara yang terbentuk pasca-Perubahan UUD 1945. Bahkan, menurut Firmansyah, susah juga menempatkan posisi Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 2 RUU Komisi Yudisial menyebutkan, Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Perubahan UUD 1945 memang telah mengubah sistem kekuasaan kehakiman dengan menempatkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lalu di mana posisi Komisi Yudisial yang dinobatkan sebagai lembaga negara yang mandiri dan bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Sama dengan komisi-komisi lainnya, Komisi Yudisial pun berada dalam wilayah abu-abu, kata Firmansyah.
Dalam banyak kasus sebagai sebuah komisi yang dinobatkan sebagai lembaga negara, tetapi mendapat perlakuan tidak selayaknya seperti lembaga negara. Ke depan memang harus ditata kembali dengan membuat cetak biru sistem ketatanegaraan Indonesia, ujar Firmansyah.
TERLEPAS dari diskursus mengenai perlunya penataan kembali lembaga, kehendak untuk membentuk lembaga sejenis Komisi Yudisial bukanlah hal baru. Dalam pembahasan RUU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1968, sudah diusulkan ide mengenai Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). MPPH itu berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran dan usul yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan bagi para hakim. Namun ide itu gagal diperjuangkan, tulis Rifqi Sjarief Assegaf dari Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan saat memberi pengantar buku Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa (2002).
Ide Komisi Yudisial kembali mendapatkan momentum menyusul adanya desakan penyatuatapan kekuasaan kehakiman yang didasarkan pada Tap MPR No X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional. Munculnya desakan agar lembaga peradilan satu atap, makin memunculkan desakan agar KomisiYudisial segera direalisir. Desakan masyarakat itu diakomodasi dengan selesainya pembahasan RUU Komisi Yudisial, pada 15 Juli 2004.
Secara yuridis posisi Komisi Yudisial tinggi karena ia tercantum dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan tahun 2001. Dalam Pasal 24B Perubahan UUD 1945 disebutkan, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Di negara lain, keberadaan Komisi Yudisial bukanlah hal baru, meskipun dengan nama yang berbeda-beda. Bahkan, menurut Rifqi dalam kata pengantar buku Komisi Yudisial, keberadaan Komisi Yudisial sudah menjadi tren di negara yang bercirikan demokrasi modern.
Paling tidak ada dua model berbeda yang mengatur keberadaan lembaga semacam komisi yudisial. Di negara Eropa Selatan, seperti Perancis, Italia, Spanyol atau Portugal, komisi ini cenderung mempunyai kewenangan terbatas, yaitu perekrutan hakim, mutasi, dan promosi, serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sedang di negara Eropa Barat, seperti Swedia, Irlandia, Denmark, cenderung diberikan kewenangan yang lebih luas. Kewenangannya tidak hanya merekrut hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga mengawasi administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan.
KOMISI Yudisial Indonesia mungkin akan mengambil peranan lain. RUU Komisi Yudisial secara teoretis sudah menjadi undang-undang karena RUU tersebut disepakati DPR dan pemerintah pada 15 Juli 2004. Sesuai dengan UUD 1945, 30 hari setelah disetujui DPR dan pemerintah, maka RUU itu otomatis akan menjadi undang-undang.
Meski demikian, masyarakat masih harus bersabar untuk menanti lahirnya Komisi Yudisial. Pasal 40 RUU Komisi Yudisial, menetapkan bahwa paling lambat 10 bulan sejak undang-undang ditetapkan, anggota Komisi Yudisial sudah harus ditetapkan. Dan, Komisi Yudisial baru bisa operasional paling lambat sepuluh bulan setelah keanggotaannya terbentuk. Itu berarti paling cepat baru pada akhir tahun 2005, Komisi Yudisial baru terbentuk.
Firmanyah menilai, dibandingkan RUU yang lain, RUU Komisi Yudisial yang dibahas Badan Legislasi DPR relatif lebih komprehensif. Saya kira cukup baik karena Komisi Yudisial punya tugas untuk mengawasi perilaku hakim, termasuk hakim konstitusi, ujarnya.
Namun, dia mengingatkan agar kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim ini tidak berbenturan dengan lembaga-lembaga pengawas yang ada dalam lingkungan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Perlu diperjelas agar tidak tumpang tindih, kata Firmansyah.
KOMISI Yudisial ini akan beranggotakan tujuh orang yang semuanya berstatus pejabat negara. Mereka bisa diambil dari mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden atas usulan DPR.
Sesuai dengan Pasal 13 RUU Komisi Yudisial, komisi ini mempunyai wewenang untuk (a) mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan (b) menetapkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Berkaitan dengan pengusulan calon hakim agung, Komisi Yudisial bertugas (a) mendaftar calon hakim agung; (b) menyeleksi calon hakim agung: (c) menetapkan calon hakim agung; (d) mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Dalam Pasal 18 RUU Komisi Yudisial, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan tiga orang calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung dengan tembusan kepada Presiden.
Dalam penafsiran Firmansyah, tak terlalu jelas sejauh mana kewenangan DPR setelah menerima calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Seharusnya, tak perlu lagi uji kelayakan dan kepatutan dilakukan DPR. DPR tinggal menetapkan saja, katanya.
RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan soal proses seleksi calon hakim agung di DPR. Dalam Pasal 19 hanya disebutkan, DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 hari hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud Pasal 18.
RUU Komisi Yudisial tak menjelaskan apakah usulan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial bisa dikurangi oleh DPR atau DPR hanya sekadar menjadi tukang pos untuk meneruskan ke Presiden. Namun, menurut Akil Mochtar, anggota Komisi II DPR, DPR mempunyai kewenangan untuk menyeleksi lagi usulan Komisi Yudisial.
Dikatakan Akil, DPR berpegang pada UU Mahkamah Agung, di mana DPR berwenang mengusulkan satu orang calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung. Jadi, DPR tetap melakukan uji kelayakan terhadap calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial, kata Akil.
Sedang mengenai pengawasan hakim, Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan menerima laporan masyarakat, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, memeriksa hakim, dan memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim dan selanjutnya laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta ditembuskan kepada Presiden.
Terlepas dari berbagai problematika yang mungkin akan muncul, kehadiran Komisi Yudisial pada tataran ide, merupakan langkah maju untuk ikut mengawasi kekuasaan kehakiman yang sepenuhnya berada di tangan Mahkamah Agung dan juga Mahkamah Konstitusi. Tapi pada tingkat praksis, masih harus ditunggu. (Budiman Tanuredjo)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 19 Agustus 2004