Komisi Yudisial: Jakarta Pusat Mafia Peradilan

Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas menegaskan, selain menjadi ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta juga menjadi pusat terjadinya praktik mafia hukum. Data itu terungkap dari tingginya korban mafia peradilan yang melapor ke Komisi Yudisial, yang mayoritas berasal dari Jakarta.

Hal itu terungkap dalam laporan tahunan Komisi Yudisial (KY) tahun 2009. Dari total laporan yang diterima KY, Jakarta menduduki peringkat tertinggi asal korban, yakni sebanyak 49 orang, disusul Jawa Timur (19) dan Sumatera Utara (18).

Ketua KY Busyro, Senin (11/1) di Jakarta, menjelaskan, ada dua faktor yang menyebabkan tingginya laporan pengaduan dari pencari keadilan di Jakarta. Pertama, warga Jakarta tergolong well-educated dan well-informed.

”Kedua, Jakarta itu, kan, memang pusat kebaikan sekaligus pusat kejahatan,” ujar Busyro.

Sepanjang 2009, KY menerima laporan pengaduan masyarakat sebanyak 2.104 perkara. Selama lima tahun, total laporan pengaduan yang diterima KY sebanyak 7.062 kasus yang berasal dari 33 provinsi di Indonesia.

Dari data KY, rata-rata dugaan pelanggaran perilaku hakim dilakukan oleh hakim tingkat pertama (pengadilan negeri), disusul hakim tingkat banding (pengadilan tinggi) dan hakim agung. Setidaknya, saat ini KY menangani delapan berkas perkara yang melibatkan sebanyak 18 hakim agung.

Dua di antaranya tengah diselidiki secara intensif oleh Komisioner KY, yaitu hakim agung Djoko Sarwoko terkait dugaan intervensi kasus perdata antara PT Sweet Indo Lampung (anak perusahaan Sugar Company Group) dan Marubeni Corporation.

Hakim agung yang lain adalah Paulus Effendie Lotulung (Ketua Muda Tata Usaha Negara) yang terkait kasus pemilihan kepala daerah Lampung Utara dan sengketa tanah. Djoko akan diperiksa pada 12 Januari 2010. Lotulung akan diperiksa pada 17 Januari 2010. Pengaduan terhadap keduanya berasal dari masyarakat.

Belum tersosialisasi
Selama hampir lima tahun berdiri, hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan, KY belum tersosialisasi dengan baik. KY dilaporkan hanya menyentuh level masyarakat perkotaan dengan latar belakang pendidikan SLTA hingga sarjana.

Terkait dengan hal itu, Busyro mengatakan, pihaknya tidak memiliki cukup anggaran untuk melakukan sosialisasi. Berdasarkan hasil penelitian LP3ES, media elektronik menjadi alat paling efektif untuk sosialisasi.

”Kalau televisi, kami tidak bisa seperti kementerian lain bisa menampilkan orang-orang pertama di lingkungannya. Mereka juga bisa membuat baliho besar. KY itu baliho kecil saja tidak punya,” kata Busyro. (ana)

Sumber: Kompas, 12 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan