Komisi VIII DPR Akhirnya Tolak Penjualan Tanker Pertamina [15/06/04]

Pimpinan DPR menyatakan akan segera memanggil pimpinan Komisi VIII DPR dalam rangka meminta klarifikasi soal kunjungan sejumlah unsur pimpinan dan anggota Komisi VIII DPR ke Hongkong dan Korea Selatan, terkait dengan rencana penjualan tanker raksasa milik PT Pertamina.

Saya sudah berkoordinasi dengan Ketua DPR, dan segera memanggil Ketua Komisi VIII untuk mengklarifikasi kunjungan anggota Dewan itu, ujar Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan Tosari Widjaya, Senin (14/6) di Jakarta.

Secara terpisah, Ketua Komisi VIII DPR Irwan Prayitno sebagai pemimpin rombongan anggota Komisi VIII DPR dalam kunjungan ke Hongkong dan Korea Selatan mengatakan, perjalanan 15 anggota Komisi VIII yang menghabiskan dana sekitar Rp 150 juta itu seluruhnya dibiayai dengan dana Komisi VIII.

Dari hasil perjalanan itu, akhirnya anggota rombongan menyimpulkan rencana penjualan tanker raksasa (very large crude carriers) milik PT Pertamina harus ditolak. Sebab, tanker raksasa itu akan menguntungkan badan usaha milik negara tersebut.

Pada wawancara pagi harinya di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Irwan masih mengatakan, karena kepergian ke Hongkong dan Korea Selatan (Korsel) mendadak, sebagian dana yang digunakan terpaksa meminjam dari Pertamina.

Namun, pada malam harinya, sekitar pukul 20.30, ia menelepon Kompas dan mengatakan Sekretariat DPR menyatakan tidak jadi meminjam ke Pertamina.

Irwan juga mengatakan, pada awalnya dia memang tidak mengetahui mengenai pembiayaan perjalanan ke Hongkong dan Korsel tersebut. Sebab, biasanya pada setiap perjalanan dinas, anggota DPR selalu hanya mendapat tiket dan langsung berangkat. Akan tetapi, setelah tiba di Tanah Air, Minggu lalu, dia mengaku baru mendapat informasi dari Kepala Sekretariat Komisi VIII DPR mengenai dana pembiayaan perjalanan itu.

Dia juga menegaskan, perjalanan itu merupakan perjalanan dinas yang menggunakan paspor biru dan tidak ditutup- tutupi. Jika ada anggota DPR yang berangkat dan menyangkal keberangkatannya saat ditanyai wartawan, menurut Irwan, hal itu merupakan urusan pribadi.

Mengapa waktu berada di Hongkong dan Korsel itu ia tidak bisa dihubungi, Irwan mengaku memang tidak mengaktifkan telepon selulernya. Ketika di Korsel, lanjutnya, semua telepon genggam anggota DPR memang tidak bisa diaktifkan.

Harus seizin pimpinan

Tosari, menjawab pertanyaan pers seusai Sidang Paripurna DPR, mengatakan hal-hal yang akan diklarifikasi di antaranya masalah perizinan bepergian bagi anggota DPR di masa sidang DPR. Juga masalah pembiayaan dalam rangka kunjungan ke Hongkong dan Korsel, selain jumlah anggota DPR yang ikut dalam kunjungan tersebut.

Ditanya apa langkah selanjutnya dari DPR setelah pemanggilan pimpinan Komisi VIII, Tosari menjawab, Sekarang ini kami belum tahu dan langkah apa yang mesti dilakukan.

Kembali ditanya apakah pimpinan DPR sudah mendapat pemberitahuan berkaitan dengan kepergian Komisi VIII, Tosari mengatakan, pada dasarnya anggota DPR tidak boleh meninggalkan tugasnya di masa persidangan DPR.

Kecuali atas seizin pimpinan DPR. Biasanya, pimpinan itu dikoordinasikan oleh bidangnya masing-masing. Karena Komisi VIII dikoordinasikan oleh bidang industri dan pembangunan, yaitu di bawah koordinasi Pak HM Fatwa, saya belum mendapat pemberitahuan dari Pak Fatwa, apakah hal itu sudah ada izin dari Pak Fatwa atau tidak. Izin itu biasanya diberikan untuk tidak mengganggu persidangan. Sebab itu, biasanya hal tersebut diberikan pada hari libur sidang, kata Tosari menambahkan.

Ia juga menegaskan, tidak ada kewenangan dari Komisi VIII DPR untuk berangkat ke luar negeri tanpa persetujuan pimpinan DPR. Kalau kepergian itu tidak ada izin, sudah seharusnya akan ada sanksi lewat kode etik DPR, ucapnya.

Secara terpisah, anggota Komisi VIII DPR, Noor Adenan Razak, mengakui ikut dalam rombongan Komisi VIII bersama istrinya. Istri saya ikut karena memang dokter menyarankan supaya dia ikut untuk mengontrol kesehatan saya, ujarnya.

Namun, Noor menyatakan keikutsertaannya itu dalam rangka tugas Sub-Komisi VIII DPR Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melihat proses sebenarnya dalam perubahan kebijakan direksi Pertamina.

Tolak penjualan

Mengenai penolakan terhadap keputusan direksi Pertamina untuk menjual tanker raksasa yang sedang dibangun di Korsel, Irwan Prayitno mengatakan, hal itu diputuskan setelah pihaknya mengumpulkan informasi di lapangan dari tangan pertama di Hongkong dan Korsel.

Keputusan tersebut merupakan hasil rapat rombongan di Seoul, Korsel, pada malam terakhir di negara tersebut.

Menurut Irwan, rombongan di Hongkong menerima informasi dari Goldman Sachs yang menunjukkan bagaimana tanker tersebut harus dijual. Selain itu, anggota Komisi VIII juga mendapat pemaparan mengenai bisnis tanker dunia oleh lembaga World Tanker.

Di Seoul, mereka mendapatkan presentasi dari Hyundai Heavy Industries bahwa harga tanker dengan double hulk seperti yang dimiliki Pertamina akan mengalami kenaikan sekitar 30 persen setiap tahun karena memiliki prospek bisnis bagus, selain juga karena perkembangan harga baja.

Pihak Hyundai juga menyampaikan bahwa galangan mereka tidak menerima pesanan tanker raksasa seperti dimiliki Pertamina, hingga tahun 2007, karena banyaknya pesanan.

Selanjutnya, rombongan Komisi VIII mengunjungi galangan kapal Hyundai di Ulsan, Korsel, untuk melihat langsung dua tanker milik Pertamina yang sedang dibangun. Salah satu dari kedua tanker itu rencananya sudah akan diserahkan tanggal 9 Juli 2004.

Irwan juga mengatakan, pihak Hyundai yang akan membangun tanker itu sendiri kagum dengan kecanggihan rancangan Pertamina.

Menurut pengakuan Irwan, rombongan sempat naik ke atas kapal dan mengobrol dengan karyawan Pertamina yang dilatih mengoperasikan kapal itu.

Salah seorang kapten kapal Pertamina mengatakan sanggup untuk mengoperasikan tanker itu seperti ketika pertama kali membawa tanker dari Timur Tengah ke Kilang Balongan pada tahun 1980-an. Perbedaannya hanya pada ukuran tanker yang lebih besar.

Dalam kunjungan ke kapal, rombongan bertemu dengan pegawai American Bureau Shipping yang mengecek spesifikasi tanker milik Pertamina. Mereka mengatakan, lembaga Marine Polution telah melarang tanker single hulk beroperasi mulai tahun 2005.

Bahkan, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat telah melarang tanker single hulk. Sementara negara di Timur Tengah bisa sewaktu-waktu melarang masuknya tanker single hulk ke negara mereka.

Rombongan juga mendapat informasi bahwa tanker raksasa tidak mungkin menganggur di masa depan. Bahkan, apabila dijual lima tahun mendatang, harganya masih bisa bertahan seperti sekarang karena banyak peminat.

Wewenang Pertamina

Menyinggung omongan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone bahwa Pertamina akan rugi karena tanker hanya membawa minyak sekali jalan, Irwan mengatakan omongan Alfred itu menjadi bahan tertawaan di Ulsan. Sebab, semua tanker sewa juga hanya pergi membawa muatan dan pulang dalam keadaan kosong.

Manajer Hubungan Pemerintah dan Masyarakat PT Pertamina Hanung Budya mengatakan, Komisi VIII DPR memang memiliki wewenang memberikan rekomendasi untuk mempertahankan atau menjual tanker raksasa milik Pertamina. Namun, keputusan akhir merupakan keputusan bisnis yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab direksi PT Pertamina Persero.

Tentu setelah proses divestasi, siapa pun, termasuk DPR bisa memberikan tanggapan. Tetapi ini keputusan bisnis, DPR punya hak mengawasi, jadi koridornya akan mempertanyakan kenapa dijual, dan kami menjawab, papar Hanung.

Ia juga mengingatkan bahwa sejak awal Komisi VIII DPR tidak pernah memberikan persetujuan untuk membangun tanker raksasa. Waktu itu Komisi VIII hanya menyatakan, memahami dan menyetujui rencana bisnis Pertamina di saat Baihaki Hakim menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina.

Jadi, Pertamina akan mendengarkan keputusan Komisi VIII secara saksama mengenai rekomendasi DPR. Kemudian keputusan yang kami ambil akan dipertanggungjawabkan, baik kepada auditor maupun publik, melalui anggota DPR, ujar Hanung.

Mengenai proses penjualan tanker, sampai saat ini Hanung menegaskan, hingga kemarin belum ditentukan pemenang tender penjualan tanker raksasa Pertamina. Paling lambat, katanya, dua hari, pihak Pertamina akan mengumumkan penjualan tanker itu.(boy/har)

Sumber: Kompas, 15 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan