Komisi untuk Komisioner

Menjelang berbuka puasa, Rabu (26/9), saya menerima pesan singkat dari Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Denny Indrayana. Isinya, Komisioner Irawady Joenoes ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang rekanan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan gedung Komisi Yudisial (KY). Saya jawab, Ini baru berita! Langkah KY akan kian berat.

Beriringan dengan balasan saya kepada Denny Indrayana, datang belasan SMS dari teman-teman yang selama ini intens memerhatikan KY. Isinya hampir sama, sebagai lembaga yang diberi mandat konstitusional untuk menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, penangkapan Irawady akan memberikan image negatif bagi KY.

Gambaran peristiwa penangkapan Irawady baru diperoleh setelah KPK mengeluarkan keterangan resmi. Ada dua poin penting dari Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean. Pertama, saat ditangkap, Irawady didapati menyimpan uang Rp 600 juta di dalam sebuah tas dan 30.000 dollar AS dalam kantong bajunya. Kedua, transaksi serah terima uang itu dilaksanakan di rumah salah satu kerabat Irawady.

Benarkah penangkapan Irawady akan memperberat langkah KY ke depan? Tindakan apakah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan KY? Kedua pertanyaan itu menjadi penting di tengah beban KY setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah pasal pengawasan hakim dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY tidak punya kekuatan mengikat.

Pengalaman KPK

Kejadian yang menimpa KY bukan kasus pertama. Beberapa waktu lalu, Ajun Komisaris Suparman, penyidik KPK, terbukti menerima suap dalam perkara korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Bedanya, jika yang terlibat di KPK adalah pejabat di lapisan menengah, sementara di KY adalah pejabat di level tertinggi alias seorang komisioner.

Meski saat itu pelaku ada di level menengah, kasus suap Suparman dinilai merusak citra KPK sebagai lembaga yang diberi kewenangan extra-ordinary dalam pemberantasan korupsi. Dalam perkembangannya, KPK mampu membuktikan, hukuman lebih berat pantas diberikan kepada aparat internal yang menyalahgunakan kewenangan. Suparman dituntut 12 tahun penjara dan pengadilan memutuskan hukuman delapan tahun penjara.

Dalam batas-batas tertentu, KY bisa belajar dari pengalaman KPK menghadapi jajarannya yang menyalahgunakan kewenangan. Pernyataan Ketua KY Busyro Muqoddas untuk bersikap terbuka dan membantu KPK menuntaskan kasus ini dapat dibaca sebagai isyarat KY tidak akan melindungi Irawady. Pernyataan ini penting guna menyelamatkan KY sebagai institusi. Tidak kalah penting, kasus Irawady harus dijadikan starting-point untuk membenahi internal KY.

Diberhentikan

Langkah KY memberhentikan sementara Irawady harus diapresiasi. Apalagi, aturan yang digunakan adalah Pasal 35 Ayat (1) UU No 22/2004 yang tidak memerlukan Dewan Kehormatan KY. Namun, untuk membuktikan KY tidak main-main dengan kasus Irawady, pemberhentian sementara harus dipandang sebagai langkah antara atau darurat sebelum diberhentikan dengan tidak hormat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Ayat (1) UU No 22/2004: Ketua, Wakil Ketua, Anggota KY diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul KY dengan alasan: (a) melanggar sumpah jabatan; (b) dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) melakukan perbuatan tercela; (d) terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau (e) melanggar larangan rangkap jabatan.

Jika diletakkan dalam kerangka Pasal 33 Ayat (1), perbuatan Irawady dapat dikategorikan melanggar sumpah jabatan dan melakukan perbuatan tercela. Dalam lafal sumpah bagian kedua, ditegaskan, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian. Sementara itu, perbuatan tidak tercela adalah perbuatan yang tidak merendahkan martabat anggota KY.

Oleh karena itu, begitu usul pemberhentian sementara dilaksanakan, KY harus bergerak ke arah pemberhentian tidak dengan hormat. Langkah ke arah itu dapat dilakukan setelah Irawady diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan KY. Bisa jadi, langkah itu terasa berat. Namun, itu harus dilakukan untuk menyelamatkan KY.

Pelajaran buat DPR

Selain menyelamatkan KY, kasus Irawady harus menjadi pelajaran bagi DPR dalam melakukan fit and proper test calon anggota komisi-komisi negara. Apalagi dalam waktu dekat, DPR akan memilih pimpinan KPK.

Agar pengalaman Irawady tidak terulang, semua calon anggota komisi negara harus cermat diteliti dengan membuka ruang luas terhadap masukan masyarakat. Akan jauh lebih aman jika calon yang terdeteksi punya masalah (yang berbau suap dan korupsi) tidak diloloskan.

Jika perlu, DPR membentuk tim khusus untuk meneliti rekam jejak (track record) semua calon. Lalu, hasil penelusuran DPR disandingkan dengan data di panitia seleksi. Perlu dicatat, dengan hanya mengandalkan pertemuan dalam ruang fit and proper test, besar kemungkinan kita akan sering mendapatkan komisioner-komisioner yang bekerja untuk uang komisi.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan