Komisi Pemberantasan Korupsi Versus Komisi Pemilihan Umum

Berbagai ragam reaksi bermunculan ketika orang mendengar berita bahwa Mulyana W Kusuma, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini, jelas, memiliki news value sangat tinggi.

Pertama, Mulyana merupakan sosok yang cukup beken namanya, seorang kriminolog dari Universitas Indonesia. Kedua, institusi yang diwakilinya, KPU, juga tidak kalah beken. Bahkan KPU merupakan sebuah nama besar dalam kehidupan demokrasi di negara kita pasca-Orde Baru.

Semua anggota KPU diam-diam, pasti, mempunyai rasa bangga dan rasa berjasa besar atas suksesnya penyelenggaran Pemilihan Umum 2004. Sebab, inilah untuk pertama kalinya bangsa Indonesia mengadakan pemilihan presiden secara langsung. Pemilu -baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden, relatif berlangsung aman, lancar dan tertib.

Ketiga, nama KPK pun harum. Ibarat seorang bayi, KPK begitu lahir sudah gebrak sini, gebrak sana. Orang-orang KPK menyadari betul ekspektasi tinggi seluruh masyarakat kita tentang pemberantasan korupsi.

Orang-orang KPK benci bukan main setiap kali mendengar berita bahwa instansi ini pada akhirnya juga akan mengalami nasib serupa dengan Komisi Anti Korupsi (KAK) pimpinan Wilopo dulu, yaitu mandul. Maka, menjadi obsesi besar bagi setiap anggota KPK untuk membongkar kasus-kasus korupsi kelas kakap.

Korupsi kelas kakap sesungguhnya tidak mesti hanya dilihat dari jumlah kerugian yang diderita negara. Siapa yang menjadi pelaku korupsi pun dapat dimasukkan dalam kategori kakap. Jika si pelaku adalah orang yang sangat beken, bergelar profesor doktor, atau menduduki jabatan strategis bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, perbuatan orang itu tentu akan menggegerkan masyarakat.

Magnitude kegegeran yang ditimbulkannya niscaya akan menyamakan tindak korupsi yang dilakukan oleh seorang konglomerat sekalipun.

Tapi, benarkah Mulyana W Kusuma telah melakukan tindak korupsi, atau perbuatan suap seperti dugaan sementara KPK?

Tidak mungkin! Teriak kuasa hukum Mulyana atau orang-orang yang dekat dengannya. Mulyana dijebak oleh suatu skenario yang dibuat rapi untuk menjatuhkannya.

Buktinya, ketika dia memasuki kamar hotel untuk menemui seseorang dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), di atas tempat tidur sudah tergeletak uang kontan sebesar Rp 50 juta dan empat lembar cek masing-masing senilai Rp 25 juta, kata sebuah sumber. Dan 10 atau 15 menit setelah Mulyana memasuki kamar hotel, masuklah pejabat KPK yang datang dengan membawa surat penangkapan atas diri Mulyana.

Mulyana tidak mungkin terlibat korupsi, sebab he is a good guy........ Teori komunikasi mengatakan perilaku komunikasi seseorang terhadap objek, antara lain, dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lampau dengan objek tadi. Dan selama ini Mulyana tidak pernah disebut-sebut terlibat dalam tindak kejahatan korupsi. Ketika menjadi anggota KPU sebelumnya, orang ini pun tidak terkait dengan kasus korupsi yang mengotori kinerja KPU pimpinan Rudini itu.

Tapi, tidak sedikit anggota masyarakat kita yang sungguh-sungguh merasa excited dengan berita penangkapan Mulyana. Mereka berharap dugaan korupsi dalam instansi KPU yang sudah lama disinyalir, akhirnya, bisa dibongkar oleh KPK.

Dan, apa yang dialami oleh Mulyana bisa saja baru merupakan pucuk dari iceberg yang mahadahsyat. Kalau saja iceberg itu dibongkar habis, tidak tertutup kemungkinan, nama-nama besar di tubuh KPU akan terseret pula.

Sebuah harian nasional terkemuka edisi 11 April 2005 memberitakan bahwa Mulyana menemui pejabat BPK atas suruhan pimpinan KPU. Jadi, dia sebenarnya hanya bertindak sebagai kurir, setelah negosiasi antar-bos kedua instansi pemerintah, yaitu KPU dan BPK, mencapai kesepakatan.

Kita hanya mengingatkan sebuah pepatah Cina kuno yang berbunyi, Musuh utama manusia sesungguhnya adalah dirinya sendiri.

Pepatah ini mengandung makna bahwa dalam kesempatan apa saja dan di mana saja, manusia adakalanya khilaf, tergoda setan, kemudian melakukan tindakan memalukan yang mencoreng martabatnya sendiri. Fenomena ini bisa menimpa siapa pun, tidak peduli apa pangkat dan jabatan orang itu.

Mana pendapat kedua kelompok ini yang benar - antara yang menepis keterlibatan Mulyana dalam tindak suap dan mereka yang percaya bahwa memang dalam tubuh KPU terdapat banyak masalah keuangan yang belum terungkap, kita tidak tahu. Tentu, prinsip praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.

Fakta

Yang menarik, dari kasus Mulyana ini dapat rentangkan sejumlah fakta.

Pertama, fakta bahwa KPU yang menyelenggarakan Pemilu 2004 merupakan super-body yang memiliki kewenangan luar biasa besar. Undang-Undang memang memberikan kewenangan eksklusif itu kepada KPU. Semua pihak, termasuk presiden, tidak dapat mencampuri kerja KPU ketika itu.

Dan, KPU pun seakan tuli terhadap kritik bertubi-tubi dari masyarakat. Dari soal permintaan fasilitas rumah mewah, mobil mewah, gaji yang besar, jalan-jalan ke luar negeri dengan tameng sosialisasi pemilu sampai dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang-barang untuk pemilu, KPU menghadapi semua kritik masyarakat dengan slogan, Anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Kedua, fakta bahwa sinyalemen atau dugaan korupsi dalam KPU sudah banyak diangkat ke permukaan oleh berbagai pihak. Tapi, semua ditepis oleh KPU. KPU seolah punya pendirian: yang utama Pemilu 2004 berjalan sukses. Bagaimana cara untuk mencapai tujuan itu, that's our business yang tidak boleh dicampuri oleh siapa pun!

Ketiga, fakta bahwa KPU ketika itu mengelola anggaran tidak kurang dari Rp 3 triliun, belum termasuk sumbangan dari berbagai negara maju, baik dalam bentuk barang, pelatihan maupun grant yang juga besar jumlahnya.

Keempat, fakta bahwa hingga 5 bulan setelah Presiden Yudhoyono dilantik, rakyat Indonesia belum mendengar dan belum membaca secara jelas pertanggungjawaban penggunaan anggaran pemilu oleh KPU.

Kelima, fakta bahwa atas laporan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya diam-diam melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi dalam KPU. Untuk itu, KPU meminta bantuan BPK untuk melakukan audit keuangan secara menyeluruh.

Keenam, fakta bahwa ketika Mulyana ditangkap, auditing keuangan KPU oleh BPK belum selesai dan masih terus dilakukan.

Ketujuh, fakta bahwa Mulyana W Kusuma hari itu, Sabtu, 9 April 2005, memang datang ke Hotel Ibis, Jakarta, untuk menemui seorang atau beberapa pejabat BPK. Pertemuan berlangsung di dalam kamar tidur, bukan di tempat yang terbuka.

Kedelapan, fakta bahwa pada waktu pertemuan di dalam kamar tidur hotel tersebut, ditemukan uang senilai Rp 150 juta, baik dalam bentuk cash maupun cek.

Di luar kedelapan fakta itu, masih terdapat paling tidak 10 unconfirmed reports mengenai kasus Mulyana. Satu di antaranya misalnya mengatakan bahwa pertemuan Mulyana dengan pejabat BPK di hotel pada 9 April bukanlah yang pertama. Juga informasi bahwa uang sebesar Rp 150 juta itu merupakan hasil dari saweran beberapa teman, dan lain sebagainya.

Apa pun the whole truth dari kasus penangkapan Mulyana, satu hal sudah pasti: bahwa posisi Mulyana betul-betul terpojok; seolah-olah dia sudah menjadi terdakwa. Bayangkan, suratkabar di seluruh Indonesia, edisi 10 atau 11 April 2005, telah menyiarkan berita penangkapan Mulyana. Begitu juga dengan stasiun televisi dan radio, semua!

Kesalahpahaman

Ilmu sosiologi mengajarkan bahwa manusia bisa saja melakukan kesalahan kolektif. Bisa saja Mulyana benar-benar bersih; yang terjadi hanya kesalahpahaman antara Mulyana dengan pejabat BPK, atau antara Mulyana dan pejabat KPK.

Tapi, para anggota KPK tentu sangat menyadari betapa besar risiko yang harus mereka tanggung jika surat penangkapan atas diri Mulyana yang ditandatangani oleh salah satu Wakil Ketua KPK, ternyata tidak berdasar sama sekali.

Rusak, akan rusak sekali kredibilitas KPK! Apalagi sejumlah pejabat KPK berani masuk dan mengacak-acak arsip Kesekretariatan Jenderal KPU tatkala seluruh anggota KPU sedang rapat pada 11 April 2005

Kita berharap kasus dugaan korupsi di KPU dibongkar hingga keakar-akarnya oleh KPK. Inilah the golden opportunity bagi KPK untuk menunjukkan taringnya kepada bangsa ini bahwa mereka memang tidak main-main dalam melaksanakan amanat konstitusi, yaitu memerangi korupsi dalam segala bentuknya.

Sikat siapa pun yang terlibat! Persetan dengan nama atau reputasi seseorang yang mungkin terseret dalam skandal ini. Sebab korupsi yang dilakukan oleh KPU, jika betul terbukti, merupakan suatu perbuatan yang sungguh amat tercela, apalagi sebagian besar anggotanya merupakan kaum ilmuwan beken dari satu universitas yang paling beken pula di Republik ini.

Untuk mem-back-up serta memberikan semangat kepada KPU, kita sarankan supaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan tinggal diam, tapi harus bersuara, antara lain, dengan memanggil pimpinan KPK.

Presiden harus mendesak KPK untuk bekerja sungguh-sungguh menuntaskan ka- sus ini, seraya mengingat- kan KPK untuk tidak ragu- ragi menindak siapa pun yang memang terindikasikan terlibat.

Dengan demikian, presiden sekaligus berkomunikasi dengan seluruh rakyat bahwa tekadnya memberantas korupsi sebagaimana yang puluhan kali didengungkan dalam kampanye pemilu yang lalu bukanlah pepesan kosong.

Dewan Perwakilan Rakyat pun harus memberikan dukungan moralnya kepada KPK. Dan seluruh komponen masyarakat juga harus mendukung, sekaligus mengawasi sepak-terjang KPK. Jika sampai ada pejabat KPK yang kemudian kena suap dalam upaya untuk mendeponir kasus ini, maka kiamatlah Republik Indonesia. Paling tidak, kiamatlah usaha kita memberantas korupsi...!( Tjipta Lesmana, Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pelita Harapan)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 13 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan