Komisi Kejaksaan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Februari lalu menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres ini memberikan dasar hukum pembentukan Komisi Kejaksaan, yang tugasnya melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku serta sikap jaksa dan pegawai kejaksaan.
Sebagaimana Komisi Yudisial dan Komisi Kepolisian Nasional, gagasan pembentukan Komisi Kejaksaan merupakan jawaban terhadap ketidakefektifan sistem pengawasan internal (fungsional) yang telah built in dalam tubuh kejaksaan yang diperankan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas).
Ketidakefektifan pengawasan internal ini disebabkan berbagai faktor: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai; (2) pengawasan yang tidak transparan (tidak terjangkau oleh kontrol publik); (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses); (4) masih menonjolnya semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan perbuatannya; dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan puncak lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan.
Kehadiran Komisi Kejaksaan dengan kewenangan supervisinya harus mampu memicu dan mengefektifkan pengawas internal. Membenahi pengawasan internal berarti memberikan solusi terhadap kelima permasalahan di atas. Sebab, Komisi yang beranggotakan tujuh orang ini, walaupun di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, bersifat mandiri, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
***
Ada sejumlah persyaratan agar Komisi Kejaksaan berfungsi efektif. Persyaratan pertama, akseptabilitas, integritas, dan kualitas dapat diwujudkan melalui proses seleksi yang transparan, partisipatif, dan akuntabel (TPA). Melalui proses seleksi TPA, kita dapat menjaring dan menyaring anggota Komisi Kejaksaan yang memenuhi persyaratan di atas.
Kedua, kewenangan atribusi. Kewenangan ini hanya dapat dimiliki andaikata peraturan perundang-undangan memandatkannya. Kewenangan pengawasan yang diberikan kepada Komisi Kejaksaan berdasarkan Perpres No. 18 Tahun 2005 jelas dan tegas: mengawasi, memantau, dan menilai kinerja, sikap, dan perilaku jaksa dan pegawai kejaksaan, termasuk tugas-tugas menerima pengaduan dan memeriksa jaksa dan pegawai kejaksaan. Namun, pengaruh Komisi Kejaksaan ini juga akan ditentukan oleh kemampuan pimpinan dan anggotanya dalam mengaktualisasi kepemimpinan dan membangun sikap proaktifisme.
Ketiga, sumber daya pendukung (terutama finansial) da-pat terwujud apabila terdapat komitmen pemerintah dalam menyediakan anggaran yang memadai, kemampuan lobi pimpinan Komisi Kejaksaan dengan Bappenas, Ditjen Anggaran (Departemen Keuangan) dan Komisi Anggaran DPR RI. Kemampuan memobilisasi dan mengkoordinasikan lembaga-lembaga donor untuk menyediakan hibah (grant) juga kapasitas yang perlu dimiliki pimpinan Komisi Kejaksaan.
Persyaratan keempat, mencegah duplikasi peran antara pengawasan internal dan komisi pengawas eksternal melalui pengaturan dalam peraturan perundang-undangan agar keduanya bisa saling memperkuat, bukan saling mematikan. Dalam hal pengawasan disiplin, Perpres No. 18/2005 memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada aparat Jamwas melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Komisi akan mengambil alih tugas pengawasan (step in) apabila: (1) pemeriksaan oleh aparat internal tidak serius dan berlarut-larut; (2) hasil pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal tidak sesuai dengan kesalahannya; (3) terjadi kolusi dalam pemeriksaan oleh aparat pengawasan internal.
***
Dari berbagai persyaratan tersebut, akseptabilitas publik, kualitas, integritas, proaktifisme, dan kepemimpinan para anggota Komisi Kejaksaan merupakan keniscayaan dalam mewujudkan Komisi Kejaksaan yang berpengaruh. Karena itu, proses penjaringan dan penyaringan anggota Komisi Kejaksaan tidak dapat dilihat sebagai business as usual. Membangun proses seleksi dengan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas (TPA) merupakan sebuah keniscayaan. Walaupun tidak diatur dalam Perpres, tidak ada alasan bagi Jaksa Agung untuk tidak menyelenggarakan proses seleksi TPA untuk menjaring 14 calon anggota terbaik untuk dipilih tujuh di antaranya oleh Presiden.
Beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh tim seleksi yang dibentuk Jaksa Agung adalah: (1) kemampuan tim seleksi menerjemahkan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas (TPA) ke dalam prosedur dan mekanisme kerja mereka; (2) kemampuan menerjemahkan persyaratan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela sebagaimana ditentukan Pasal 17 poin e Perpres No. 18/2005 ke dalam kriteria yang lebih konkret dan terukur guna memudahkan pertanggungjawabannya kepada publik; (3) kemampuan tim seleksi menjaring hidden potential candidates, mengingat calon-calon berpotensi pada umumnya enggan mengajukan lamaran.
Apabila ketiga prinsip ini benar-benar dilaksanakan Jaksa Agung dalam menjaring dan menyaring calon anggota, saya yakin tidak akan terjadi diskrepansi antara preferensi masyarakat dan hasil proses seleksi Komisi Kejaksaan.(Mas Achmad Santosa, Penasihat Pembaruan Hukum & Peradilan pada Partnership for Governance Reform in Indonesia/UNDP)
Tulisan ini merupakan rubrik kolom Majalah Tempo, No. 52/XXXIII/21 - 27 Feb 2005