Komisi III DPR-Jaksa Agung Gelar Raker

Kejaksaan Agung kembali mengadakan rapat kerja dengan Komisi III DPR, di Gedung MPR/DPR Jakarta, kemarin. Rapat tersebut merupakan pertemuan pertama kedua belah pihak setelah rapat dengar pendapat yang diwarnai kericuhan 17 Februari lalu.

Rapat Kerja berlangsung dengan baik, sesekali diselingi dengan guyon dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan jajarannya ketika menanggapi pertanyaan maupun komentar dari sejumlah anggota Komisi III. Secara keseluruhan, rapat berlangsung dengan tertib.

Anggota Komisi III Anhar, yang dahulu memicu kericuhan dengan mengeluarkan analogi bahwa Jaksa Agung bagai ustad di kampung maling, tidak terlalu banyak berkomentar dalam rapat Kerja kemarin. Anggota Fraksi Bintang Reformasi tersebut hanya mengajukan sejumlah pertanyaan terkait kasus dugaan korupsi di Bank Mandiri.

Meski sempat disentil oleh sejumlah komentar dari beberapa anggota Komisi III yang mengingatkan kembali peristiwa yang sempat membuat renggang hubungan antara pemerintah dengan Dewan tersebut, Jaksa Agung tetap tampak santai dan tenang mengikuti rapat.

Berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dan baru selesai setelah lewat pukul 16.00, rapat kerja tersebut menghasilkan sejumlah keputusan. Antara lain, mengharuskan Jaksa Agung memberikan laporan kemajuan atas penanganan kasus korupsi.

Namun rapat sempat diwarnai perdebatan berlarut-larut mengenai penggunaan azas praduga tak bersalah. Yakni terkait dengan perlu-tidaknya menyebut nama atau inisial para tersangka kasus korupsi.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Akil Mochtar itu, Jaksa Agung berpendapat, azas praduga tak bersalah harus dihormati, termasuk oleh media massa, dengan tidak memuat gambar serta menulis nama lengkap para terdakwa kasus korupsi.

Dikatakan, media massa sebaiknya cukup menulis inisial mereka, untuk menghomarti hak azasi tersangka atau terdakwa. Jika nama terdakwa ditulis lengkap sedangkan dia belum pasti bersalah, keluarga terdakwa dipermalukan secara publik.

Namun pendapat Jaksa Agung itu ditolak sejumlah anggota Dewan. Panda Nababan, misalnya, mengatakan rakyat akan tertawa jika pers diminta menutup-nutupi atau menulis nama-nama terdakwa secara inisial.

Dengan menyebut nama terdakwa atau tersangka, tidak berarti yang bersangkutan telah bersalah. Masa Sekretaris Negara ditulis jadi SN. Daripada lucu-lucu, lebih baik terbuka, tulis apa adanya, kata Panda.

Panda mengatakan, kalau memang tujuannya untuk melindungi tersangka dari sorotan publik, pemeriksaan di Gedung Bundar Kejaksaan Agung terhadap tersangka mestinya harus dilakukan di tempat lain dan dilakukan malam hari. Pakai saja operasi siluman. Jangan sampai ketahuan publik demi kemanusiaan, katanya menyindir. (Dit/X-7)

Sumber: Media Indonesia, 27 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan