Komisi Antikorupsi Pelajari Kasus voucher Pendidikan

Kenapa harus lewat DPR?

Komisi Pemberantasan Korupsi masih mempelajari pemberian voucher pendidikan ke sejumlah anggota Komisi Pendidikan, termasuk Ketua DPR Agung Laksono. Kami sudah menemui Menteri Pendidikan Nasional untuk mengklarifikasi masalah itu, kata Deputi Bidang Pencegahan KPK Waluyo kemarin.

Sebelumnya, kata dia, KPK mengira voucher yang dibagikan Departemen Pendidikan Nasional melalui anggota DPR adalah voucher yang bisa langsung diuangkan. Ternyata tidak, ujarnya.

Voucher itu, ujar dia, berbentuk semacam surat pemberitahuan kepada sekolah yang akan dibantu bahwa mereka menerima sejumlah alokasi dana pendidikan atau block grand yang bisa diuangkan jika telah mengajukan proposal dan disetujui oleh Menteri. Kalau disetujui, baru cair, ujarnya.

Karena itu, keterangan Menteri Bambang Sudibyo itu akan digunakan sebagai bahan untuk mengkaji dari sisi administrasi pemerintahan. Apakah ada potensi korupsi administrasi di situ, ujarnya. Namun, Waluyo mempertanyakan kenapa harus lewat DPR.

Kasus ini mencuat Kamis lalu. Sejumlah anggota DPR meributkan adanya pemberian voucher pendidikan ke sejumlah anggota, termasuk Ketua DPR Agung Laksono. Komisi Pendidikan DPR pun mengakui menerima voucher itu. Nilai voucher beragam, dari Rp 20 juta hingga Rp 100 juta.

Menurut anggota DPR, Dradjad Wibowo, seharusnya anggota Dewan yang menerima voucher melaporkan ke KPK. Kalau tidak dilaporkan, bisa tergolong gratifikasi, ujarnya.

Tempo mencoba mengecek beberapa sekolah yang pernah diberi voucher pendidikan ini. Di Bantul, salah satu sekolah yang menerima voucher adalah SDN Priyan, Desa Trirenggo, Bantul. Voucher senilai Rp 200 juta diberikan oleh Ketua DPR Agung Laksono saat melakukan safari Ramadan beberapa waktu lalu. Kondisi sekolah ini memang rusak berat akibat gempa. Tapi saya nggak melapor, kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DI Yogyakarta Sugito.

Selain ke Bantul, Agung berkunjung ke Bojonegoro, Jawa Timur. Namun, di sini Agung tak membagikan voucher itu.

Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional, Bambang Wasito Adi, tak menyangka voucher itu memiliki ekses politik. Penyaluran voucher merupakan hak prerogatif Menteri, tidak ada kriteria tertentu.

Komisi Pendidikan DPR meminta Departemen Pendidikan memperbaiki mekanisme pemberian voucher. Pemberian voucher oleh DPR kepada sekolah tidak bisa lepas dari unsur politik. Kami sudah menegur Departemen agar memperbaiki mekanismenya, kata Wakil Ketua Komisi Pendidikan Anwar Arifin. Aqida s | syaiful a | sujatmiko | Rini Kustiani

Sumber: Koran Tempo, 20 Oktober 2006
--------
KPK Klarifikasi Diknas
Agung Laksono Bukan Ketua Umum Kosgoro

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sudah mendatangi Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dan jajaran pejabat Depdiknas untuk mengklarifikasi soal voucher pendidikan yang diberikan melalui Ketua DPR Agung Laksono.

Klarifikasi yang dilakukan KPK bertujuan untuk mempelajari lebih lanjut soal kasus ini, apakah kasus voucher masuk ke ranah gratifikasi ataukah ranah pengawasan KPK.

Deputi Pencegahan KPK Waluyo kepada Kompas di Jakarta, Kamis, menjelaskan, sebelumnya KPK berencana akan mengirim surat kepada Ketua DPR Agung Laksono untuk meminta klarifikasi, termasuk mengirimkan formulir gratifikasi. Namun, rencana itu dibatalkan karena KPK masih harus mempelajari hal itu dengan saksama.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro Syahrul J Bungamayang, Kamis (19/10), meminta semua pihak untuk membedakan secara tegas antara keberadaan Kosgoro yang saat ini dipimpin Effendi Jusuf dan Kosgoro 1957 yang didirikan tahun 2003 di bawah pimpinan Agung Laksono.

Kosgoro 1957 adalah organisasi kemasyarakatan pendukung/ bernaung di bawah Partai Golkar, kata Syahrul J Bungamayang dalam konferensi pers di Wisma Mas Isman, Jakarta.

Kosgoro sendiri adalah ormas yang bersifat independen.

Kami sudah cek tidak ada lembaga pendidikan kami yang menerima voucher dari Agung Laksono, ujar Bungamayang.

Sedangkan Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Sjarifuddin Hasan (Jawa Barat II) menepis anggapan bahwa voucher bantuan pendidikan diterima oleh anggota DPR dari semua partai politik.

Ada indikasi hanya anggota DPR dari partai politik tertentu saja yang menerima voucher bantuan pendidikan itu.

Dibantah Depdiknas
Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika menegaskan, pembagian voucher bantuan pendidikan melalui Ketua DPR Agung Laksono jauh dari muatan politis. Apalagi jika hal itu diduga menjurus ke praktik korupsi.

Dodi melihat pemberian voucher itu dalam kerangka membangun sinergi dengan semua komponen bangsa untuk terjun bersama menangani permasalahan pendidikan. Kalau legislatif mau terjun ke lapangan dan dilandasi itikad baik untuk menyalurkan bantuan, bukankah itu sangat membantu? katanya.

Lagi pula, mekanisme voucher sangat jauh dari peluang terjadinya korupsi. Jalur birokrasi jadi pendek karena dananya kelak langsung ke rekening sekolah, tidak melalui pemerintah daerah. Pencairannya pun tidaklah otomatis, tetapi harus lebih dulu mengajukan proposal.

Akan tetapi, menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti dan Manajer Program Pendidikan Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, cara-cara penyaluran dana pendidikan tersebut tidak dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan lebih bertendensi politik.(VIN/DIK/SUT/NAR/WIS)

Sumber: Kompas, 20 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan