Komersialisasi, Nodai Dunia Pendidikan Kita

Persoalan pendidikan di Indonesia begitu kompleks. Tak heran jika hak-hak dasar sebagian besar warga negara ini untuk memperoleh pendidikan, belum terpenuhi. Termarginalkannya hak-hak warga miskin untuk memperoleh pendidikan merupakan efek dari carut-marutnya pendidikan kita. Tidak dapat disangkal pula, derasnya arus komersialisasi dan kapitalisme pendidikan telah membuat semakin banyak orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan dasar di negara ini.

Menjadikan pendidikan sebagai komoditas adalah sebuah kekeliruan karena pendidikan bukanlah produk massal seperti sepatu, mobil, atau komputer. Pendidikan adalah investasi bangsa di masa depan dan bukan barang pabrikan. Hasil dari pendidikan nantinya akan menentukan pembangunan bangsa ini. Fakta di lapangan ternyata berbeda, pendidikan telah menjadi ladang bisnis.

Sekolah memungut uang kepada orang tua siswa dengan alasan subsidi dari pemerintah tidak cukup. Ironis sekali, di tengah gencarnya program wajib belajar, praktik komersialisasi pendidikan pun berkembang semakin pesat. Untuk mengeliminasi hal itu, intervensi pemerintah dalam soal anggaran pendidikan amat dibutuhkan.

Bila ada anggapan bahwa pembiayaan pendidikan itu adalah beban, sangat memprihatinkan. Lebih mengenaskan lagi, adanya fakta yang mencuat saat ini bahwa pemerintah di era Orde Baru mementingkan pembelian sejumlah tank dan senjata yang harganya puluhan triliun rupiah daripada menggratiskan anak-anak miskin untuk sekolah. Penetapan anggaran pertahanan yang lebih besar daripada pendidikan adalah hal yang patut dipertanyakan.

Sudah seharusnya pemerintah berupaya keras untuk membebaskan rakyat miskin dalam biaya pendidikan. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemenuhan hak-hak dasar warga yang di antaranya hak atas pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, sampai detik ini implementasi pemenuhan hak-hak dasar tersebut tak kunjung terealisasi, hanya bergaung pada tingkat retorika. Termasuk program 100 hari pendidikan yang diluncurkan Mendiknas.

Dengan kata lain, pemerintah harus menjadi sponsor utama penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah di negara ini. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 34 ayat 2, yang berbunyi pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Dalam pasal yang sama ayat 3 memang disebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemda, dan masyarakat. Namun tidak berarti masyarakat dijadikan andalan utama dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Jika ini terjadi, dikhawatirkan akan menyurutkan pemerintah menunaikan kewajibannya memenuhi hak warga negara atas pendidikan. Padahal dalam UU Sisdiknas jelas-jelas disebutkan, pemerintah tetap berperan utama dalam hal pembiayaan pendidikan dasar 9 tahun. Tentunya pembebasan itu bukan sekadar SPP seperti yang ada saat ini, tetapi terhadap semua biaya sekolah.

Meski sampai saat ini alokasi dana pendidikan di Jawa Barat sebesar 20 persen dari APBD belum tercapai, hal ini tidak boleh dijadikan alasan bagi pemerintah untuk membebankan biaya pendidikan kepada orang tua murid. Apalagi di tengah-tengah lesunya perekonomian sekarang ini, beban orang tua dipastikan kian berat.

Selama ini kemiskinan telah menjadi kendala masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan akses kebutuhan dasar lainnya. Seperti diungkap banyak pakar, kemiskinan yang menghantam republik ini, utamanya bersumber dari perilaku korup masyarakat kita mulai dari tingkat birokrat sampai akar rumput.

Demikian juga untuk bidang pendidikan, praktik korupsi bukanlah hal yang baru. Bahkan saking parahnya korupsi di bidang pendidikan, Depdiknas pernah menduduki peringkat kedua sebagai lembaga terkorup setelah Depag. Sungguh tragis!

Khusus di Jawa Barat, pada tahun 2004 ini tercatat sejumlah kasus korupsi mulai dari penyunatan gaji guru, jual beli nilai, mark-up anggaran, dan sejumlah kasus lainnya. Di Kota Bandung, praktik korupsi di sejumlah sekolah pun tak terelakkan. Parahnya, praktik tersebut dilakukan oleh sejumlah oknum kepsek, guru, pegawai disdik, dan masyarakat. Sejumlah kasus penyimpangan yang terjadi pada PSB (penerimaan siswa baru) 2004 adalah salah satu bukti mewabahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negara ini.

Berkaitan dengan sejumlah pelanggaran PSB, seharusnya komite sekolah bisa memainkan peranannya untuk mencegah agar penyimpangan tidak terjadi. Komite sekolah yang seharusnya memiliki posisi kuat dalam mengkritik kebijakan sekolah yang tidak akomodatif dengan kepentingan pemebelajaran siswa, justru bersuara melempem. Bahkan sejumlah oknum anggota komite sekolah pun ikut terlibat dalam sejumlah penyimpangan di dunia pendidikan. Tidak heran, jika ada tuntutan komite sekolah sebaiknya dibubarkan saja.

Selain masalah PSB, masalah buku ajar juga menjadi suatu problem krusial yang harus diselesaikan. Dalam hal ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan memberlakukan ganti buku ajar setiap lima tahun. Pemerintah menilai, kebijakan ini akan meringankan beban para orang tua yang setiap tahunnya harus mengeluarkan biaya belanja tinggi bagi kebutuhan sekolah anak-anak mereka.

Sudah menjadi rahasia umum buku pelajaran sekolah sering dibisniskan oleh para guru dan juga kepsek. Yang meraup untung pun bukan hanya penerbit buku, tetapi juga para guru yang mendistribusikan buku-buku dari penerbit tersebut kepada para anak didik mereka di sekolah-sekolah. Menurut Imas, salah seorang guru di Bogor, dari satu buku saja guru bisa menerima rabat 30-40 persen. Ini berarti keuntungan yang cukup menggiurkan bagi mereka sehingga tidak heran sejumlah guru begitu semangat menjual buku di kelas-kelas.

Dalam masalah guru jual buku, kebijakan pemerintah yang memberlakukan masa berlaku buku selama lima tahun akan mengikis perilaku cari untung guru seperti itu. Tetapi, untuk mengakomodasi kebijakan pemerintah seperti itu, perlu dibuat payung hukum, setidaknya dalam level kabupaten atau kota yang mengharamkan bisnis buku pelajaran. Koridor hukum tersebut dinilai penting untuk meng-counter citra buruk guru yang dikenal sebagai agen buku.

Memang ada juga yang mengatakan tidak setuju dengan pemberlakuan masa pakai buku. Mereka khawatir jika masa pakai buku ajar ditetapkan selama lima tahun, akan menurunkan kualitas pendidikan di negara ini. Pasalnya, derasnya arus informasi telah menyebabkan setiap detik informasi akan terus bertambah dan ini harus diakomodasi dengan baik sehingga para anak didik tidak ketinggalan informasi.

Tetapi, dalam hal ini, pengamat pendidikan asal UPI, Prof. Said Hamid Hassan, dalam salah satu wawancaranya menilai, fungsi perpustakaan sangat penting untuk menjembatani gap antara daya beli buku masyarakat yang rendah dengan pesatnya perkembangan arus informasi. Menurut Said, perpustakaan harus dibuat untuk melayani kebutuhan anak didik dalam mendapatkan beragam informasi. (Icha/PR)

Sumber: laporan akhir tahun Pikiran Rakyat, 23 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan