Kode Etik; KPK Diminta Telusuri Perlakuan Khusus Lain

Komisi Pemberantasan Korupsi diminta untuk menelusuri kemungkinan adanya perlakuan istimewa lain yang diberikan Direktur Penuntutan KPK Ferry Wibisono kepada mantan Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto.

Perlakuan istimewa tersebut adalah diperkenankannya Wisnu keluar Gedung KPK melalui pintu samping seusai menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada pekan lalu. Peristiwa itu seharusnya hanya dijadikan petunjuk kemungkinan rentetan perlakuan istimewa lainnya yang bisa jadi diberikan karena alasan loyalitas atau solidaritas korps.

”Saya tidak yakin peristiwa kemarin itu sebuah kebetulan. Ini by design (didesain). Ada rangkaian kegiatan yang perlu diwaspadai, perlakuan-perlakuan istimewa yang lain,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hasrul Halili, saat dihubungi, Sabtu (6/2).

Ungkapan hampir senada dilontarkan oleh Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Hasril Hartanto. ”Itu memang bisa dilihat sebagai ungkapan kehormatan terhadap senior. Namun, dalam konteks sekarang, tindakan itu tidak tepat. Oleh karena itu, perlu ada pemeriksaan lebih jauh,” ujarnya.

Menurut Hasrul, peristiwa mengantar keluar via pintu samping yang dilakukan Ferry (yang juga jaksa) menunjukkan adanya loyalitas yang tetap tersisa kepada instansi asal (Kejaksaan Agung). Hal itu berpotensi menjadi problem, terutama jika yang diperiksa KPK adalah pimpinan kejaksaan.

”Potensi konflik kepentingannya luar biasa. Waspadai kalau misalnya orang yang bersangkutan ikut mengurus kasus itu juga. Kemungkinan tidak akan profesional,” ujarnya.

Terbuka
Terkait dengan proses pemeriksaan yang rencananya dilakukan oleh bagian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK, baik Hasrul Halili maupun Hasril Hartanto meminta agar dilakukan secara terbuka dan transparan. KPK harus menjelaskan setiap tahapan pemeriksaan yang dilakukan.

”Bila perlu dilakukan secara terbuka. Atau setidaknya hasil pemeriksaan internal itu harus dipublikasikan,” kata Hasril.

Sebelumnya, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febridiansyah, menyatakan bahwa tindakan Ferry diduga melanggar kode etik pegawai KPK, khususnya Pasal 7 Ayat 2 Huruf d Peraturan KPK Nomor 5 P/KPK Tahun 2006. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa pegawai KPK dilarang berhubungan langsung dengan calon terdakwa, tersangka, dan calon tersangka ataupun keluarganya yang perkaranya masih ditangani KPK (Kompas, 6/2).

Peristiwa tersebut, kata Hasrul, membuka wacana lama mengenai perlunya KPK memiliki penyidik dan jaksa independen. KPK membutuhkan aparat yang independen. Selain itu, Hasrul juga mengingatkan, aparat yang diperbantukan ke KPK bisa jadi orang yang bermasalah dan tidak steril dari judiciary corruption (korupsi peradilan). (ANA)

Sumber: Kompas, 8 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan