Kode Delapan Enam di Jalan

Mendekati batas kota, Pak Jenggot, seorang sopir pocokan, memperlambat laju truknya. Paijo, kernet yang duduk di sebelahnya telah mahfum akan tugasnya. Bergegas ia meloncat turun, kemudian berlari kecil menuju sebuah pos polisi yang terletak di depan sebuah kantor BUMN. Diulurkannya selembar uang melalui loket kaca. Dalam waktu beberapa detik, tugas untuk memberikan salam tempel telah dilakukan Paijo dengan sempurna. Setelah Paijo naik ke kabin, truk tancap gas menuju kota.

Bagi sebagian besar pembaca, terutama pekerja transportasi, kisah salam tempel di atas barangkali bukan hal baru. Namun, bagi pembaca yang belum tahu, cobalah sesekali cangkruk dekat pos polisi. Barangkali Anda beruntung dapat menyaksikan adegan seperti itu.

Sudah lama masyarakat memandang miring prilaku polisi, terutama dari satuan lalu lintas (satlantas). Mereka dianggap menyalahgunakan wewenangnya di bidang lalu lintas untuk memeras rakyat. Ada sebuah joke, jika sekumpulan polisi kongkow-kongkow, maka yang bertugas untuk menraktir adalah polisi lalu lintas, karena dia yang paling kaya.

Tak penting joke itu benar atau salah, yang jelas Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Irjen Farouk Muhammad pernah menyatakan kepolisian merupakan salah satu lembaga yang paling korup (Media Indonesia, 15 Mei 2004). Ada dua jenis korupsi dalam tubuh Polri, yakni penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau melakukan tindakan brutal.

Menurut Farouk, sistem perekrutan yang penuh budaya sogok merupakan pemicu korupsi di tubuh kepolisian.

Dalam rubrik Piye Jal di harian ini, polisi sering menjadi bahan olokan. Penulis mencatat beberapa julukan untuk polisi yang dimuat rubrik tersebut, seperti maling, mata duwitan, tuyul, ora nduwe isin, dan pemeras. Suatu kosakata yang kasar menurut adat dan sopan santun ketimuran. Apalagi bagi orang Jawa yang biasanya mengritik menggunakan simbol.

Suara-suara dalam masyarakat tersebut dapat menjadi indikator bahwa citra aparat kepolisian tengah berada di titik terendah. Persoalan inilah yang mestinya digunakan untuk mengurai kasus pembakaran Mapolsek Tayu, Pati, beberapa waktu lalu

Polisi lalu lintas merupakan satuan yang paling rajin melakukan operasi. Operasi yang katanya untuk menekan angka pencurian kendaraan itu digelar hampir setiap hari. Bukan hanya di jalan-jalan protokol, tetapi juga di gang-gang sempit atau pinggir kampung.

Sayangnya, kerajinan mereka justru berbuah cibiran karena sering berubah menjadi pemerasan. Masyarakat menilai operasi yang dilakukan polisi lebih didasari motif mencari keuntungan materi dibanding penegakkan disiplin lalu lintas. Polisi berdalih bahwa operasi lalu lintas hanya untuk menjaring pengendara yang melanggar aturan lalu lintas. Namun dalih itu paradok dengan kenyataan bahwa orang yang berniat mematuhi peraturan lalu lintas, dengan membuat surat izin mengemudi (SIM) misalnya, tidak memperoleh pelayanan semestinya.

Para pelanggar lalu lintas mengeluh karena polisi justru terkesan enggan memberi surat tilang. Dengan berbagai cara, pelanggar lalu lintas dikondisikan agar melaksanakan kode delapan enam alias damai. Modus yang paling sering adalah dengan ancaman penyitaan kendaraan. Pelanggar takut kendaraannya disita, karena berdasar pengalaman, kendaraan yang disita tidak terjamin keamanannya. Jadi apa boleh buat, delapan enam menjadi pilihan paling rasional.

Menurut Pasal 52 UU No. 14 Tahun 1992, polisi tidak berhak menyita kendaraan kecuali dalam hal: diduga berasal atau untuk melakukan tindak pidana, pelanggaran menimbulkan korban tewas, pengemudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor atau surat tanda nomor kendaraan bermotor (STNK).

Pada kenyataannya, di luar pelanggaran di atas, polisi tetap mengancam akan menyita kendaraan.

Tidak hanya pelanggar yang ditilang polisi, pengendara yang tidak melanggar aturan lalu lintas pun sering dicari-cari kesalahannya. Sungguh memprihatinkan pengalaman pengendara motor asal Rembang bernama Marijan, yang ditilang (oknum) polisi gara-gara terlambat membayar pajak kendaraan (Suara Merdeka, 7 Januari 2005). Menurut pengakuannya, setelah gagal memenuhi kesepakatan, motornya disita dengan tuduhan melanggar Pasal 54 (2) dan Pasal 57 (2).

Tindakan polisi jelas melampaui wewenangnya, karena keterlambatan membayar pajak kendaraan bukan pelanggaran aturan lalu lintas. Lembaran kertas yang selama ini disebut STNK sebenarnya terdiri atas dua bagian. Bagian pertama STNK itu sendiri, masa berlakunya lima tahun. Bagian kedua adalah bukti pembayaran pajak kendaraan bermotor yang wajib dilunasi setahun sekali.

Jika pengendara terlambat membayar pajak, sanksinya adalah denda yang dibayar saat membayar pajak. Jadi polisi tidak berhak menilang karena pengendara tidak melanggar aturan lalu lintas. Yang aneh adalah Marijan dikenai Pasal 54 (2) dan Pasal 57 (2) karena kedua pasal tersebut masing-masing hanya berisi satu ayat.

Pengalaman menunjukkan, polisi sering mendakwa pelanggar lalu lintas menggunakan pasal yang keliru. Seringkali pelanggaran yang berbeda, seperti tidak mengenakan helm, tidak membawa SIM, atau melanggar lalu lintas didakwa menggunakan pasal yang sama, yakni Pasal 54.

Seorang kawan mengatakan, kita tidak perlu repot-repot membuka undang-undang lalu lintas karena Pasal 54 hanya merupakan kode agar kita membayar dua puluh ribu rupiah (lima ribuan sebanyak empat lembar).

Demoralisasi Polisi
Setelah UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diberlakukan, polisi terbebas dari struktur komando TNI. Undang-undang tersebut merupakan landasan hukum bagi polisi untuk mengembangkan institusi sipil yang bercorak pengayom, jauh dari nuansa garang ala militer. Undang-undang tersebut juga memberi kekuasaan lebih luas kepada polisi untuk menjalankan fungsi hukum.

Sayangnya, transisi peralihan kekuasaan dari TNI ke polisi tidak berlangsung mulus. Banyak (oknum) polisi yang memanfaatkan otonominya untuk keuntungan pribadi. Setelah lepas dari TNI, oknum-oknum itu lebih leluasa menyalahgunakan kekuasaan.

Pada saat yang sama, situasi politik Indonesia saat itu tidak menguntungkan. Peralihan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati membutuhkan kalkulasi politik yang rumit. Dampaknya, perhatian para petinggi Polri terhadap manajemen porfesionalisme - sebagaimana diamanatkan UU No 2 tahun 2002 -- tidak optimal Setelah stabilitas politik di era Megawati kian mantap, para petinggi Polri mengerjakan order besar memberantas terorisme. Lagi-lagi, pembinaan profesional terabaikan. Para oknum polisi yang suka menyeleweng luput dari perhatian.

Keberadaan mereka menjadi borok menular. Di tengah ketidakpastian reward management and punishment, para oknum polisi busuk menjadi sumber pembusukan dari dalam.

Sangat manusiawi jika para polisi yang semula memiliki dedikasi tinggi dalam mengemban tugas kemudian tergoda imannya melihat para oknum yang bermain kotor justru lebih cepat kaya.

Peristiwa pembakaran Mapolsek Tayu Pati yang belum lama ini terjadi, mestinya tidak dianggap sebagai amuk massa biasa. Peristiwa tersebut merupakan akumulasi kejengkelan masyarakat terhadap prilaku polisi sendiri.

Polda Jateng mesti turun ke Pati untuk menyelidiki kasus tersebut secara transparan. Ada indikasi seolah-olah polisi mencari-cari pembenaran dengan menyatakan, mulut pengendara berbau alkohol (SM, 29/01/2005). Seolah polisi hendak menyatakan terjadinya kecelakaan akibat pengendara motor dalam keadaan mabuk. Padahal menurut keterangan saksi, kecelakaan terjadi karena polisi menendang motor yang tengah melarikan diri (SM, 01/02/2005).

Pembinaan profesionalitas polisi juga perlu diprioritaskan. Langkah strategis perlu disusun untuk membangun citra polisi yang profesional. Pertama, menghapus praktik-praktik rante ekonomi dalam operasi kepolisian. Petinggi Polri perlu mengembangkan instrumen yang valid untuk mendeteksi apakah operasi yang dilakukan anak buahnya benar-benar merupakan upaya penegakan hukum atau mencari keuntungan pribadi. Jika modus rante ekonomi dibiarkan berkembang, yang terjadi adalah pembusukan dari dalam.

Kedua, ada reward management and punishment yang efektif. Polisi yang memiliki dedikasi dan pengabdian tinggi kepada masyarakat mesti memperoleh reward sepadan. Sebaliknya, oknum polisi nakal memperoleh punishment yang setimpal.

Ketiga, perekrutan calon polisi harus fair dan transparan. Instrumen penerimaan anggota Polri sebaiknya melibatkan institusi di luar Polri dan mengedepankan unsur keterbukaan. Perekrutan yang tidak transparan memberi peluang praktik suap. Jika itu terjadi, akibatnya fatal. Jajaran kepolisian akan diisi polisi-polisi bermental sogokan.(Panji J. Satrio, pegiat Gibran Intelectual Forum (GIF) Semarang)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 7 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan