Koalisi Masyarakat Sipil: Endus ‘bau tidak sedap’ dalam Pelimpahan Perkara BG ke Bareskrim

Pelimpahan berkas perkara dugaan korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) ke Bareskrim Polri oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) disinyalir menjadi upaya dari penghentian dugaan perkara korupsi ini, dan meloloskan yang bersangkutan sebagai Wakapolri. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut bertanggungjawab terhadap pelimpahan perkara ini dengan menarik kembali berkas BG.

Hal ini disampaikan dalam konferensi pers di Kantor ICW Rabu (8/4/2015). Saat menggelar konferensi pers para narasumber sambil menutup mukanya menggunakan masker yang menyimbolkan ’bau-bau tidak sedap dalam pelimpahan kasus BG’, Koalisi yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FH UI), Indonesian Legal Roundtable (ILR), Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Indonesia Corruption Watch  (ICW), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai pelimpahan perkara dugaan korupsi dari Kejagung ke mabes Polri seperti tidak memiliki keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi. Pelimpahan kasus ini patut dipertanyakan karena tidak dapat dipertanggungjawabkan.  Selain itu, pelimpahan perkara BG  menjadi bagian skenario meloloskan BG dari proses hukum serta mempelancar jalan menuju jabatan wakapolri.

Peneliti PSHK Miko Ginting mengatakan bahwa, pelimpahan perkara BG patut diduga telah didesain sejak awal. Jika ditarik ke belakang, pelimpahan perkara BG dari KPK ke kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang cukup, padahal KPK dianggap telah memiliki alat bukti yang cukup dalam menjerat BG.

"Jika perkara telah dipegang Bareskrim Polri, keberlanjutan perkara BG menjadi tanda tanya besar, karena pasti ada konfik kepentingan di dalamnya," kata Miko.

Miko menegaskan, bahwa proses hukum BG belum selesai sekalipun putusan praperadilan telah menyatakan penetapan tersangka terhadap BG tidak sah. "Sangat penting KPK harus mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada MA. Serta penetapan kembali BG dan beberapa pihak lainnya yang diduga terlibat dalam perkara ini," tegas Miko.

Peneliti MaPPI FH UI  Dio Ashar Wicaksana juga beranggapan hal yang sama," KPK harus mengambil alih perkara BG dari Bareskrim Polri dan mengajukan PK," ujarnya.

Jika KPK tidak melayangkan PK, sama halnya KPK mengamini putusan hakim Sarpin Rizaldi. "KPK tidak bisa menindak aparat penegak hukum yang duduk di jabatan struktural lembaga penegak hukum. Ini akan jadi musibah ke depanya bagi kerja-kerja KPK," tegas Dio.

Selanjutnya, menurut direktur advokasi dan kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, upaya meloloskan BG sebagai wakapolri menjadi alasan kuat mengapa pelimpahan kasusnya ke Bareskrim dilakukan. Menurutnya, kecurigaan ini muncul saat Kejaksaan Agung berdalih bahwa pelimpahan kasus ke mabes polri ini disebabkan oleh berkas yang perkara BG yang dinilai tidak lengkap. "Mengapa Jaksa melimpahkan kasusnya ke Bareskrim, kalau berkas ada yang kurang seharusnya dilimpahkan kembali ke KPK," tegasnya.

Dalam penghentian kasus, hanya kejaksaan dan kepolisian yang memiliki domain tersebut. Sedangkan KPK tidak mengenal penghentian penyidikan. "Jadi pelimpahan ini merupakan skenario agar perkara BG dihentikan," ucap Bahrain.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan