[Klipping Berita] Tentang Ratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi [27/07/04]

94 Negara Meratifikasi Konvensi Antikorupsi
(Wadah Kerja Sama Pengembalian Uang Haram)
Kompas, Senin, 15 Desember 2003
PADA 11 Desember merupakan hari bersejarah PBB soal perang terhadap korupsi. PBB meraih dukungan kuat untuk memerangi korupsi di seluruh dunia. Sebanyak 94 negara dari 125 negara yang hadir di Merida, Meksiko, meratifikasi Konvensi PBB Memerangi Korupsi (UN Convention Againts Corruption).

HANYA dibutuhkan 30 tanda tangan untuk bisa memberlakukan konvensi itu, dan ada 84 negara yang melakukannya. Setelah itu, konvensi tersebut akan berlaku 90 hari setelah 11 Desember 2003.

Panitia perumus memulai pekerjaannya soal konvensi itu pada Januari 2002. Ada 128 negara anggota PBB yang memberikan perhatian untuk mengembangkan konvensi itu. Delegasi tingkat menteri dari berbagai negara hadir di Merida. Presiden Meksiko Vicente Fox adalah orang pertama yang membubuhkan tanda tangan dokumen, yang merupakan hasil dari dua tahun perundingan internasional.

Mereka yang hadir antara lain Jaksa Agung Amerika Serikat Jenderal John Ashcroft, Wakil Presiden Kolombia Francisco Santos, Menteri Kehakiman Italia Roberto Castelli, Menteri Luar Negeri Paraguay Leila Rachid, dan Menteri Kehakiman Peru Fausto Alvarado.

Delegasi Indonesia yang hadir adalah Direktur Jenderal Informasi Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional Mangasi Sihombing, Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina, Samodra Sriwidjaja, serta Duta Besar RI untuk Meksiko Alwi Luthan. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra tidak turut hadir karena berhalangan. Akan tetapi, ia akan terbang ke New York menandatangani konvensi itu pada 18 Desember 2003.

Perwakilan Meksiko di pertemuan itu, Patricia Olamendi, mengatakan, hampir semua negara maju menandatangani Merida Convention.

Mengapa konvensi itu penting?
Dokumen itu adalah sebuah konvensi yang punya gigi, kata Direktur Eksekutif Kantor PBB untuk Narkoba dan Kriminal Antonio Maria pada jumpa pers, Kamis (11/12), di Merida yang terletak di Semenanjung Yucatan, atau 990 km di sebelah timur Mexico City.

Direktur Bank Dunia untuk Global Governance Daniel Kaufmann mengatakan, mengapa konvensi itu diluncurkan. Soalnya, praktik suap, sogok, dan hasil korupsi-berdasarkan perhitungan kasar tetapi sangat konservatif-menyangkut lebih dari 1,5 triliun dollar AS atau sekitar 5 persen dari 33 triliun produksi domestik bruto (PDB) dunia.

Korupsi adalah persoalan global, kata Olamendi.

Berbagai negara juga menyambut konvensi itu. Cina antusias menandatangani konvensi itu dengan harapan bisa memerangi korupsi yang sistemik di negara tirai bambu itu. Cina berkeinginan untuk bisa merepatriasi miliaran dollar AS yang disimpan di seberang oleh pejabat Cina yang korup.

Sejumlah 4.000 mantan pejabat Cina diyakini telah membawa kabur lebih dari lima miliar dollar AS uang-uang negara, yang diinginkan untuk bisa ditarik kembali. Namun, menurut kantor berita Xinhua, angka itu sangat minimal.

Majalah milik pemerintah Cina, Beijing Review, bulan Oktober 2003 mengatakan, dari tahun 1997 hingga 1999 pelarian modal dari Cina melampaui 53 miliar dollar AS. Bagian terbesar dari angka itu adalah dana yang diperoleh akibat penyalahgunaan kekuasaan.

Kami yakin konvensi itu menjadi satu senjata untuk mengembalikan dana-dana asal Cina yang disimpan di luar negeri, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Liu Jianchao. Untuk Cina dan negara-negara lainnya di dunia, langkah yang memperkuat kerja sama internasional dalam memerangi korupsi akan memberikan pengaruh positif. Karena itulah Cina mau berpartisipasi untuk mengegolkan konvensi itu.

KONVENSI itu adalah sebuah terobosan karena negara yang meratifikasi sepakat untuk mengembalikan aset-aset yang dikorup, saling membantu, membekukan rekening bank, melucuti properti, dan mengekstradisi tersangka pelaku. Masalahnya, korupsi sudah berskala transnasional. Koruptor di satu negara menyimpan uang haram itu di negara lain. Karena itu, kerja sama lintas batas negara memang menjadi urgen.

Konvensi itu memperlakukan korupsi sebagai lebih dari sekadar kriminal biasa karena menggoyahkan kestabilan negara-negara, mengikis kelembagaan demokrasi seperti pemilihan umum.

Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengatakan, konvensi itu akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas bisnis. Konvensi akan menolong mengatasi persoalan di banyak negara berkembang, di mana elite yang korup menjarah (looted) miliaran dollar AS, yang justru dibutuhkan pemerintahan baru untuk mengatasi persoalan ekonomi dan sosial yang melekat pada masyarakat, kata Annan, yang menyatakan tanggal 9 Desember sebagai Hari Pemberantasan Korupsi. Konvensi itu melindungi peniup isu korupsi (whistle-blowers).

Hal itu akan bisa menolong negara-negara miskin seperti Meksiko dan Nigeria untuk menarik kembali dana yang dijarah dan disimpan di perbankan Swiss dan AS. Nigeria telah menghabiskan waktu lebih dari 4 tahun untuk menarik 2,2 miliar dollar AS yang dikorup almarhum diktator Nigeria, Jenderal Sani Abacha. Setelah enam tahun berjuang atas lebih dari sembilan juta dollar AS deposito yang dimiliki seorang mantan jaksa Meksiko di sebuah bank AS dari hasil suap, AS mengembalikan kurang dari sepersepuluh dari jumlah itu ke Meksiko.

Pemulihan aset akan memberikan perbedaan kepada kehidupan warga Afrika, kata perwakilan Afrika Selatan Geraldine Fraser-Moleketi, yang mengatakan, korupsi bukan hanya persoalan negara ketiga, melainkan persoalan global.

Konvensi itu, yang pertama dan meliputi keikutsertaan Asia dan Afrika, kemungkinan bisa membantu negara-negara berkembang menjadi lebih creditworthy (bisa membayar utang) dengan terbasminya korupsi, yang menggerogoti pinjaman pemerintah.

Cara lama berbisnis di Afrika tidak bisa dilanjutkan lagi, kata Menteri Luar Negeri Mauritius Anil Kumarsingh. Sementara kami di Afrika menciptakan langkah-langkah memerangi korupsi, tetapi kami juga meminta negara-negara Barat untuk mengambil langkah menghadapi pejabat korup yang menggarong dana-dana.

Konvensi itu menuntut negara yang meratifikasi untuk meluncurkan undang-undang yang melarang aktivitas, seperti pencucian uang (money laundering), mencegah korupsi, dan saling bekerja sama satu sama lain. Namun, ratifikasi itu juga sangat tergantung pada aturan hukum dan kemajuan administrasi di negara masing-masing, yang diperlukan oleh konvensi itu. Komitmen politik tentunya juga sangat diperlukan untuk implementasi.

Konvensi itu akan dilengkapi dengan pembentukan sebuah badan untuk memantau pelaksanaannya di lapangan, apakah negara-negara itu melengkapi diri dengan berbagai langkah untuk mendukung konvensi itu. Namun, tidak semua orang atau negara mendukung konvensi itu. Juga tidak jelas apakah negara-negara yang memiliki surga perbankan offshore-julukan bagi perbankan yang tidak mau tahu dari mana asal dari deposito-memberikan tanda tangan atau tidak.

Negara seperti itu, antara lain Cayman Islands, Liechtenstein, dan Luksemburg, memberikan indikasi kesediaan mereka untuk melakukan ratifikasi. Tidak jelas Singapura turut meratifikasi konvensi.

Jika Singapura melakukannya, tentunya Indonesia akan sangat tertolong karena bisa mendatangkan kembali gembong-gembong penjahat kelas kakap yang telah menggarong uang Indonesia dan telah menghancurkan perekonomian Indonesia. (AFP/AP/REUTERS/MON)

----------------
Pekerjaan Rumah Setelah Tanda Tangani Konvensi Antikorupsi
Kompas, Sabtu, 20 Desember 2003
Peristiwa hukum penting yang pantas dicatat dalam lembaran sejarah Republik Indonesia untuk memberantas atau memerangi korupsi telah terjadi di akhir tahun 2003 ini. Suatu langkah yang berani-meskipun baru merupakan tahap awal-dalam bentuk komitmen untuk menandatangani Konvensi PBB Antikorupsi. Langkah berikutnya adalah ratifikasi melalui undang-undang yang dilakukan parlemen (DPR).
Ini yang pertama bahwa urusan mengadili koruptor dan melacak uang rakyat yang dilarikan ke luar negeri bukan lagi melulu perkara negara bersangkutan, melainkan melibatkan campur tangan pihak luar, yakni PBB. Badan PBB yang khusus menangani adalah United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang berkantor di Vienna. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra telah bertindak sebagai wakil Pemerintah RI dalam menandatangani konvensi pada tanggal 18 Desember 2003 di New York (Yusril berhalangan hadir di Merida, Meksiko, minggu lalu).

Indonesia, seperti halnya ratusan negara yang ikut menandatangani konvensi, sadar bahwa korupsi telah menjadi bentuk kejahatan tinggi yang mewabah di seluruh dunia dan paling terkena adalah negara-negara yang lemah penegakan hukumnya. Bukan hanya dana dari negeri sendiri yang dikorup oknum pejabat, terlebih lagi dana pinjaman (dari luar negeri dan dalam jumlah besar) yang sangat dibutuhkan masyarakat negara berkembang justru digelembungkan dan diselewengkan pejabat pelaku korupsi.

Rupanya begitu banyak negara yang bermasalah dengan korupsi sehingga Konvensi Antikorupsi mendapat dukungan sangat besar dari anggota PBB. Dengan begitu, syarat 30 negara peratifikasi agar konvensi bisa berlaku akan cepat terpenuhi, yakni paling tidak selama setahun ke depan.

Wakil Indonesia untuk PBB di Vienna, Samodra Sriwijaya, menjelaskan kepada Kompas bahwa Indonesia memegang peran sangat penting dalam proses perumusan pasal-pasal dalam konvensi. Indonesia aktif berargumentasi dalam tujuh kali pertemuan UNDOC selama dua tahun (2002-2003). Ini karena Indonesia sangat berkepentingan untuk bisa memanfaatkan instrumen hukum internasional tersebut dalam memerangi korupsi di Tanah Air.

Selanjutnya, UNDOC akan memberi bantuan teknis kepada Indonesia dalam implementasi konvensi di Tanah Air. Beberapa materi konvensi yang masih merupakan hal baru bagi Indonesia antara lain individu atau badan hukum yang menderita akibat praktik korupsi dapat menggugat pihak pelaku untuk memperoleh ganti rugi.

Dengan demikian, rakyat yang selama ini menjadi korban korupsi dan cenderung terabaikan akan mendapatkan posisi hukum kuat dalam menghadapi koruptor (siapa pun). Kemudian juga sektor swasta. Misalnya penyuapan pemerintah oleh sektor swasta, atau di kalangan swasta sendiri, juga diatur konvensi. Ini adalah hal yang belum tersentuh oleh UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Melalui perangkat hukum tersebut, konvensi menginginkan agar tiap negara mengatur kontrak pemerintah dengan swasta atau antarswasta secara transparan. Oleh sebab itu, langkah lanjut Pemerintah RI adalah melakukan harmonisasi agar hukum Indonesia sesuai dengan materi konvensi (lihat UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). (Denny Sutoyo-Gerberding)

---------------------
Hasil Ratifikasi Kovensi PBB Anti Korupsi::Kelak Rakyat Dapat Menggugat Koruptor
UNODC Siap Beri Bantuan Teknis
sumber : Detik.com, 19-12-2003
Den Haag, Setelah penandatanganan Konvensi PBB Antikorupsi, badan PBB UNODC siap memberi bantuan teknis kepada Indonesia untuk membabat korupsi. Kelak para koruptor dapat digugat ganti rugi oleh rakyat sebagai korban. Demikian diungkapkan Wakil Tetap RI untuk PBB di Wina, Dubes Samodra Sriwidjaja kepada detikcom Kamis malam atau Jumat (19/12/2003) pagi waktu Jakarta.

Menurut Sriwidjaja, setelah menandatangani konvensi itu, Indonesia memasuki tahapan baru perang melawan korupsi. Materi konvensi itu selanjutnya akan disosialisasikan di tanah air, disusul ratifikasi melalui mekanisme konstitusi Indonesia. Berdasarkan UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, konvensi ini akan mempengaruhi sistem hukum nasional Indonesia sehingga harus diratifikasi melalui UU. Dalam hal ini DPR RI akan terlibat dalam proses ratifikasi konvensi tersebut. katanya.

Sriwidjaja menuturkan bahwa tindak lanjut berikutnya yang perlu dilakukan Indonesia adalah melakukan harmonisasi terhadap hukum Indonesia sehingga in compliant (sesuai) dengan konvensi.. Dalam hal ini kantor PBB di Wina yang menangani tindak lanjut Konvensi ini, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), telah bersedia memberikan bantuan teknis kepada Indonesia dalam rangka implementasi konvensi. paparnya.

Yang menarik, kata Sriwidjaja, ada beberapa materi konvensi yang bakal menjadi palu godam bagi para koruptor dan perlu mendapat perhatian Indonesia dalam rangka implementasi, yaitu antara lain bahwa individu atau badan hukum yang menderita akibat tindakan korupsi dapat menggugat pelaku tindak pidana korupsi untuk mendapatkan compensation for damages (ganti rugi).

Rakyat yang selama ini menjadi korban korupsi, dan cenderung terabaikan, akan mendapat kedudukan hukum yang kuat terhadap pelaku korupsi. kata Sriwidjaja. Dengan kata lain, bukan hanya negara saja, tapi rakyat sebagai korban juga dapat melakukan gugatan hukum dan meminta ganti rugi kepada koruptor.

Koruptor Swasta
Menurut Sriwidjaja, sektor swasta antara lain praktik pembobolan bank dengan dokumen fiktif, penyuapan oleh swasta kepada pemerintah atau di kalangan swasta sendiri, dll yang oleh beberapa UU Tindak Pidana Korupsi Indonesia belum disentuh, juga diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi tersebut. Dalam hal ini, kata Sriwidjaja, konvensi menginginkan setiap negara mengatur tentang kontrak pemerintah dengan swasta atau antar swasta, serta transparansi di sektor swasta. Konvensi juga menempatkan masalah korupsi sebagai masalah internasional dan Indonesia tidak lagi dapat menganggapnya sebagai urusan internal dalam negeri. Pendek kata koruptor akan diburu habis-habisan.

Mengenai mekanisme implementasi, konvensi menetapkan bahwa negara peserta harus memberikan informasi tentang praktik dan perundang-undangan masing-masing pada Conference of State Parties (Pertemuan Negara Peserta, red) yang kelak akan diselenggarakan secara regular untuk dibahas dalam forum.Indonesia harus transparan memberi informasi, sebab masukan dari pihak lain seperti LSM juga akan dipertimbangkan oleh forum konferensi. Dengan demikian kesungguhan setiap negara untuk memberantas korupsi suka atau tidak suka akan menjadi sorotan internasional. Untuk urusan korupsi, kelihatannya kita tidak bisa main-main lagi. tandas Sriwidjaja, seraya menambahkan bahwa peran media massa sebagai salah satu fungsi kontrol akan semakin mendapat tempat melalui konvensi ini. Sriwidjaja menegaskan, bahwa Konvensi PBB Anti Korupsi itu merupakan bagian produk diplomasi aktif Indonesia di PBB Wina selama 2 tahun melalui 7 kali pertemuan yang melelahkan sepanjang 2002-2003. Oleh sebab itu Indonesia harus memanfaatkan instrumen internasional ini untuk kepentingan nasional Indonesia, sebagai bagian dari upaya seluruh bangsa yang saat ini mendambakan korupsi dibabat tuntas

---------------------
PBB berhasil sepakati konvensi antikorupsi
Radio Netherlands, Terjemahan Yunita Rovroy, 11 Desember 2003

Kalau setiap korupsi berdampak negatif, maka itu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Pemerintahan jatuh, proyek pembangunan gagal dan tindak kejahatan makin meningkat dalam lingkungan korup. Tapi para pakar pada konperensi PBB di Meksiko memperkirakan korupsi merugikan perekonomian dunia sekitar lima persen, atau satu setengah triliun dolar per tahun. Ini memang angka rata-rata. Tapi mendorong PBB untuk pertama kali membahas dan mengambil tindakan memberantas masalah korupsi ini. Walau demikian, sudah jelas bahwa korupsi dilakukan secara diam-diam. Berikut rangkuman wawancara Radio Nederland dengan Gillian Dell dari lembaga anti korupsi Transparency International.

Sulit menilainya
Tentu saja sangat sulit menilai korupsi. Demikian tandas Gillian Dell dari lembaga anti korupsi Transparency International. Korupsi selalu tersembunyi, dilakukan secara diam-diam dan tidak dilaporkan. Korupsi adalah kesepakatan antara penyogok dan penerima uang sogok itu. Karena itu sangat sulit menilai korupsi.

Diperkirakan korupsi bisa merugikan perekonomian dunia sedikitnya satu setengah triliun dolar per tahun. Angka yang disebut ini memang sangat tinggi. Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah ini sangat penting. Karena tanpa itu informasi yang diperlukan tidak diketahui.

Bersejarah
Konperensi PBB tentang pemberantasan korupsi memang berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat. Sekarang saatnya juga tepat sekali untuk melahirkan konvensi anti korupsi pertama PBB. Semua itu kedengarannya memang baik bahkan luhur, tetapi patut dipertanyakan apa makna konvensi ini. Pertemuan PBB ini sendiri terlaksana setelah berlangsung perundingan intensif selama dua tahun. Lebih dari 120 negara anggota PBB terlibat di dalamnya. Kenyataan bahwa negara-negara itu berhasil mencapai kesepakatan memerangi kemiskinan merupakan sesuatu yang bersejarah dan patut disambut gembira. Ini merupakan langkah pertama secara internasional untuk menangani korupsi.

Konvensi yang disepakati menyediakan kerangka menyeluruh untuk menangani masalah penyuapan di dalam atau di luar negeri, baik pada sektor pemerintah mau pun sektor swasta. Konvensi ini khususnya menyediakan cara untuk mengadakan kerja sama, pertukaran informasi dan bantuan teknis serta keuangan, pada negara-negara yang membutuhkannya supaya bisa memerangi korupsi.

Perlu ratifikasi
Perjanjian-perjanjian itu kedengarannya memang merdu, tapi dalam kenyataan sangat berbeda. Contoh yang paling mencolok adalah kesepakatan yang tercapai di Kyoto mengenai pengurangan gas penyebab dampak rumah kaca. Sampai sekarang tidak dilaksanakan. Apakah organisasi-organisasi khusus seperti Transparancy akan bisa membantu?

Menurut Gillian Dell ada beberapa unsur penting yang dibutuhkan, dan tentu saja Tranparancy bisa mendorong proses ini. Transparancy bisa mendorong masyarakat sipil mengawasi pemerintah mereka agar memenuhi janji. Tentu saja kepastian konvensi PBB itu bisa dilaksanakan. Kita butuh ratifikasi dari sejumlah besar negara. Di samping itu juga harus ada proses peninjauan kembali. Itu banyak manfaatnya.

Coba saja lihat konvensi OECD untuk memberantas praktek penyuapan yang dilakukan pejabat-pejabat asing yang hanya menyorot si penyuap. Jadi pihak yang memberi uang suap dalam transaksi. Proses peninjauan kembali ini adalah pegangan bagi pelbagai pemerintah untuk melihat kembali apa yang telah terjadi, dan dengan demikian mereka harus memenuhi janji.

Dampak negatif korupsi sangat besar
Jadi proses itu bisa mujarab, dan bila korupsi bisa diberantas, maka Transparancy yakin adanya kemampuan untuk pembangunan di seluruh dunia. Yang dimaksud di sini adalah pertumbuhan dan pembangunan yang sejati. Karena korupsi mengganggu penanaman modal, mengganggu pengambilan keputusan yang benar. Jadi dampak negatif korupsi sangat besar.
------------
Klik di sini untuk download dokumen ini dalam format pdf.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan