Kleptokrat, Negarawan dan Demokrasi
The difference between a kleptocrat and a wise statesman, between a robber baron and a public benefactor is merely one of the degree. (Jared Diamond)
Dalam sejarah manusia, elite selalu mendapat lebih banyak daripada orang biasa (the commoners). Demikianlah kata Jared Diamond.
Dalam buku Gun, Germs and Steel: The Fates of Human Society, yang dipublikasikan tahun 1999, Diamond antara lain menyatakan para elite itu, apakah yang terorganisir dalam unit politik yang disebut dengan negara (state) atau dalam unit politik yang lebih kecil setingkat desa (chiefdom), selalu mentransfer kekayaan dari orang biasa kepada kelas atas.
Yang membedakan apakah elite itu akan menjadi pencuri yang memerintah (kleptocrat) atau negarawan (statesman), ditentukan oleh seberapa besar kekayaan yang ditransfer itu dikembalikan kepada publik. Menurutnya, Presiden Mobutu dari Zaire dapat dianggap sebagai maling yang memerintah karena hanya sebagian kecil dari kekayaan yang ditransfer ke negara dikembalikan kepada publik. Sebagian besar (miliaran dollar) untuk diri sendiri, sementara negeri sendiri tidak memiliki fasilitas telepon yang dapat berfungsi.
Kita menganggap George Washington sebagai negarawan karena membelanjakan sebagian besar upeti dari masyarakat yang diperoleh dari pajak untuk aneka program yang dikagumi publik, bukan untuk dirinya. Tetapi harus dicatat, kata Diamond, Washington lahir dari kalangan atas dari negeri di mana redistribusi kekayaan nasional berjalan dalam proses yang hampir sama timpangnya dengan Guinea Baru.
Pertanyaannya, strategi apakah yang dilakukan elite guna tetap mendapat dukungan masyarakat sekaligus melestarikan gaya hidup lebih mewahnya?
Empat pilihan strategis
Menurut Diamond, ada empat pilihan strategis. Pertama, melucuti penduduk dan mempersenjatai elite. Kedua, mendistribusikan kembali upeti yang diperoleh dari masyarakat melalui demokrasi sehingga membuat masyarakat gembira. Ketiga, menggunakan monopoli kekerasan guna membuat publik bahagia dengan memelihara ketertiban umum dan meniadakan kekerasan. Keempat, menggunakan ideologi atau agama untuk mengesahkan upeti yang diperoleh.
Apa yang dikemukakan Diamond patut direnungkan. Pertanyaannya, dari empat strategi yang biasanya digunakan elite, di manakah sebenarnya posisi elite politik Indonesia kini?
Secara normatif kita dapat menyatakan, strategi kedua adalah yang paling baik. Seperti halnya para politisi di negara demokrasi yang mapan, kita mengharapkan demokrasi yang tengah dijalani dapat mengembalikan pajak yang diberikan kepada negara dikembalikan kepada publik.
Kita memberikan toleransi terhadap gaya hidup para elite demokrasi yang berbeda dari masyarakat dengan harapan kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Kita meyakini demokrasi karena tidak percaya revolusi. Kita meyakini demokrasi sebagai instrumen politik untuk menaikkan status yang miskin menjadi kaya. Kita tidak meyakini revolusi karena kita tidak bermaksud menarik turun yang kaya menjadi miskin, tetapi bagaimana membuat yang miskin menjadi kaya.
Pilihan strategi kedua ini mungkin kita yakini karena menyadari ada batas-batas untuk memperoleh loyalitas publik jika hanya semata-mata menggunakan kekerasan seperti pada strategi pertama.
Kita mungkin tidak meyakini strategi ketiga karena tahu masyarakat tidak hanya menginginkan keamanan tetapi juga kesejahteraan ekonomi. Proses modernitas yang terus berlangsung, yang menciptakan manusia yang rasional dan kritis, mungkin telah menumbuhkan kesadaran dalam diri bahwa ideologi dan agama tidak dapat diandalkan untuk mendiamkan keresahan masyarakat umum.
Mengapa amat berbeda
Namun, jika demokrasi menjadi pilihan normatif kita, mengapa kenyataan empirik menjadi amat berbeda? Bagaimana kita bisa menjelaskan kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dirasakan publik sebagai beban amat berat? Bagaimana kita bisa menjelaskan liputan media tentang korupsi yang terjadi di berbagi lembaga negara mulai dari KPU, Polri, bahkan hingga Mahkamah Agung? Mengapa demokrasi yang kita kembangkan belum berhasil menghilangkan munculnya fenomena para pencuri yang memerintah itu?
Bagi yang pesimis, fakta-fakta empririk itu mungkin akan memberi inspirasi guna menyatakan, masa lalu menjadi lebih baik dari masa kini. Seluruh pertanyaan itu kemungkinan akan dijawab dengan menyatakan sebaiknya kita kembali ke masa Orde Baru.
Namun, pandangan pesimis ini sebaiknya tidak dijadikan pilihan. Kita perlu menyadari, justru karena demokrasi yang tengah kita jalani inilah yang menyebabkan berita-berita korupsi menjadi terbuka kepada publik. Adalah karena kehidupan media massa yang bebas dalam demokrasi, publik diberi peluang guna melihat siapakah yang telah menjadi kleptokrat.
Peluang ini mustahil diperoleh dalam sistem politik otoriter karena tiadanya kebebasan media untuk meliput. Yang belum maksimal dilakukan adalah mengambil aneka tindakan hukum terhadap para kleptokrat. Inilah yang harus dilakukan pemerintahan SBY-JK jika ingin diingat publik sebagai negarawan.
Dengan kata lain, demokrasi tidak akan pernah berhasil menghilangkan sepenuhnya para kleptokrat. Sebenarnya demokrasi bukan dimaksudkan untuk tujuan itu, tetapi untuk meminimumkan ruang gerak para kleptokrat karena hadirnya pengendalian terhadap kekuasaan baik melalui proses checks and balances antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif maupun melalui kebebasan media massa.
Itu sebabnya Diamond menyatakan pembedaan antara kleptokrat dan negarawan sebaiknya tidak dipahami dalam konteks hitam versus putih. Karena itu, yang dibutuhkan publik adalah sikap realistik untuk melihat demokrasi. Bukankah Churchill pernah menyatakan,