KKN Versus KKN

Pernyataan Presiden SBY bahwa ada birokrat dan pengusaha yang melawan gerakan pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini sangat sulit diberantas. Kendala pemberantasan akan muncul dari berbagai kelompok yang selama ini menikmati praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam hal penikmat praktik KKN bisa datang dari mana saja seperti birokrat, anggota dewan, perguruan tinggi, LSM dan pengusaha. Korupsi dalam praktiknya tidak pernah pilih kasih. Setiap orang bisa tergiur untuk melakukannya.

Selama tiga tahun terakhir ada fakta yang bisa dibaca sebagai pesimisme dan sekaligus optimisme kalau dikaitkan dengan pemberantasan korupsi. Pemberitaan besar-besaran oleh media massa terhadap berbagai penahanan terhadap anggota DPRD yang dianggap korupsi merupakan kenyataan yang membuat kita pesimis karena ternyata korupsi masih merajalela bahkan pelakunya justru orang-orang terhormat yang kita minta untuk mewakili mengurus negeri.

Di sisi lain, penahanan mereka juga menimbulkan optimisme karena masih ada upaya penegak hukum untuk mengejar para pelaku kejahatan korupsi. Di Sumatera Barat hampir semua anggota DPRD-nya sudah dimasukkan ke dalam hotel prodeo. Di beberapa daerah lainnya seperti Sidorajo, Ketua DPRDnya juga sudah beberapa bulan ini tidak bisa menghirup udara segar, selain hawa penjara. Beberapa anggota DPRD di daerah lainnya sedang menanti untuk segera diadili karena perbuatannya yang merugikan negara dan masyarakat.

Tapi kenapa masih banyak juga yang berani melawan upaya pemberantasan korupsi? Sampai-sampai mereka berani mengirim SMS kepada Presiden SBY? Strategi apa lagi yang mesti kita lakukan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme? Saya membayangkan perlunya sebuah gerakan yang lain. Penegakan hukum memang perlu diperkuat. Tetapi secara kultural kita harus segera membangun mentalitas masyarakat kita. Pendidikan kita seharusnya bisa menjadi media untuk pemberantasan korupsi. Jangan sampai pendidikan kita sendiri tidak bisa melahirkan orang yang bisa membedakan mana perilaku korup dan mana yang bukan.

Perguruan Tinggi sebenarnya bisa memanfaatkan perannya melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selama ini Kuliah Kerja Nyata terlalu banyak diorientasikan kepada pembangunan fisik. Pada tingkat ini, mungkin masyarakat sendiri sudah jenuh dengan kehadiran program yang ditawarkan mahasiswa selama ini. Pada tingkat kejenuhan seperti itu, sebenarnya sudah ada juga kegiatan alternatif dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata tematik, misalnya untuk memantau pelaksanaan pemilu.

Dengan kondisi negeri seperti ini, Kuliah Kerja Nyata bisa diorientasikan untuk ikut memberantas korupsi. Kalau selama ini mahasiswa dikirim ke desa untuk memberikan penyuluhan kesehatan dan pemberantasan buta huruf, sudah saatnya mereka dikirim ke kota untuk memberikan penyuluhan dan praktik pemberantasan korupsi dari pelayanan tingkat kelurahan, kecamatan sampai kabupaten. Mereka bisa menyebarkan brosur dan memberikan kesadaran bagi pemberi dan penerima layanan akan bahaya korupsi. Mahasiswa sekaligus bisa dilibatkan untuk mengawasi pusat-pusat pelayanan yang dianggap rawan korupsi. Dalam hal ini tentu sangat mudah untuk mengidentifikasi pusat-pusat pelayanan publik yang bisa memunculkan praktik korupsi, seperti pelayanan sertifikasi tanah, pembuatan SIM dan pembuatan KTP

Kalau sekelompok mahasiswa yang berjumlah sekitar 15 orang bisa mengawasi pusat pelayanan selama 2-3 bulan, berapa orang yang bisa diselamatkan dari tindak korupsi di pelayanan publik. Kita juga bisa menghitung berapa uang negara yang bisa dihemat karena tidak masuk kantong pribadi. Lebih dari itu, kesadaran masyarakat juga akan tumbuh dari apa yang dikenalkan oleh mahasiswa. Kalau satu perguruan tinggi bisa melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata tematik pemberantasan korupsi beberapa angkatan dalam setahun maka dampaknya akan luar biasa.

Selain itu, mahasiswa juga bisa diarahkan untuk memberikan pendidikan kepada siswa-siswa sekolah. Selama ini, budaya kita lebih menghargai tampilan orang dalam bentuk kekayaan. Harga diri orang diukur dari seberapa harta yang kita miliki. Akan tetapi, kita tidak pernah diajarkan untuk memahami bagaimana kekayaan itu sendiri diperoleh. Kita tidak pernah mengajarkan budaya malu terhadap kekayaan yang dimiliki secara tidak sah. Dengan pendidikan, diharapkan akan memunculkan budaya bersih dalam diri siswa.

*) Agus Pramusinto, Staf Pengajar Fisipol dan MAP UGM.

Tulisan ini diambil dari Kedaulatan Rakyat, 2 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan