KKN, Tema Kampanye yang Populer

DALAM rangka kampanye, capres Golkar Wiranto pernah menyatakan, kalau dia terpilih, hukuman mati akan dijatuhkan pada sejumlah koruptor kakap, supaya lain-lainnya jera. Dia tidak akan pilih-pilih. ''Tidak perlu banyak-banyak. Kalau ada satu-dua pejabat dihukum mati, akan efektif untuk membuat jera.'' Dia lalu menyebut hukuman mati untuk koruptor yang dipraktikkan di China, yang terbukti efektif menurunkan kasus korupsi. Capres PAN Amien Rais di lain pihak berjanji, kalau terpilih dan terbukti tidak mampu memberantas KKN, dia akan mengundurkan diri. Itu akan dia buktikan pada kinerja mengawali komitmennya tersebut dalam 100 hari pertama pemerintahannya.

Karena maraknya korupsi, bukan tidak mungkin, minimal para pemilih yang merasa telah bersalah melakukan korupsi akan lari dari capres-capres berslogan keras semacam itu. Bukan hanya pejabat, tetapi pengusaha-pengusaha yang selama ini menikmati hasil KKN, yang membuat mereka dihormati karena kekayaan mereka, kemungkinan besar juga akan lari. Mereka tampaknya tidak peduli Indonesia disebut salah satu dari sepuluh yang paling korup di dunia dan bahwa citra buruk itu antara lain akibat ulah mereka. Mereka juga tidak peduli Indonesia dijauhi para investor asing yang masih punya nurani. Disebut yang masih punya nurani karena tidak semua pengusaha anti-KKN. Buku The Politics of Scarcity karya Myron Weiner malah menyatakan, dengan memberi sogokan, pengusaha dapat lancar menjalankan bisnisnya. Sogokan juga membuka sikap ramah dan fleksibel para pejabat. Bila pengusaha terlalu mematuhi peraturan, perjalanan bisnis dan ekonomi akan tersendat atau bahkan terhenti. Tidak sedikit sarjana sosial yang sependapat dengan Myron Weiner.

Tetapi sarjana-sarjana itu tidak melihat akibat lebih jauh yang sifatnya merongrong. Begitu dikatakan Syed Hussein Alatas dalam karyanya The Sociology of Corruption. Meningkatnya biaya untuk KKN kemudian dibebankan pada biaya produksi, yang membuat harga barang menjadi lebih mahal. KKN memungkinkan efisiensi di bidang basah, tetapi mematikan efisiensi di bidang-bidang kering. Namun, diakui oleh Hussein Alatas, masyarakat manusia sejak dahulu mengenal korupsi, kecuali masyarakat yang sangat primitif dan bersahaja.

Dia menyebut tokoh terkenal dalam ajaran Islam, Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), penentang keras korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan; juga memandang rendah hakim-hakim korup, yang waktu itu menjadi sasaran slogannya. Dia selalu menolak hadiah dari raja karena menyadari, batas antara hadiah dan sogokan bisa kabur.

Tokoh Islam lainnya, Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406) bukan hanya ahli sejarah dan kemasyarakatan, tetapi juga penentang keras korupsi. Ibnu Khaldun pernah menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tetapi pernah pula meringkuk di penjara. Ketika menjabat hakim, ia berusaha menghapuskan korupsi, tetapi gagal. Dia malahan dipecat. Ibnu Khaldun berkesimpulan, korupsi timbul karena pejabat yang berwenang ingin bermewah-mewah. Korupsi menyebar karena reaksi berantai terhadap sikap tersebut.

Indonesia bukannya tidak berusaha menghapuskan korupsi selama ini. Usaha memberantas korupsi, yang terbukti meluas ke mana-mana, antara lain tertuang dalam Ketetapan MPR No XI Tahun 1998; UU No 31 Tahun 1999 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No 30 Tahun 2002 mengenai pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada tingkat internasional, pemerintah Indonesia memberikan reaksi positif terhadap kesepakatan antarnegara anggota PBB untuk merumuskan bersama Konvensi Antikorupsi PBB. Tujuh sidang telah membahas konvensi tersebut selama 2002 sampai 2003, yang mencapai puncaknya pada upacara penandatanganan di Meksiko, Desember 2003. Delegasi Indonesia ikut berperan aktif. Dalam sidang-sidang PBB tersebut, Indonesia antara lain memberikan sumbang saran dan pemikiran dalam perumusan konvensi. Negara-negara anggota PBB mengadakan Konvensi Antikorupsi setelah pengalaman masing-masing negara anggota. Berdasarkan pengalaman mereka, rongrongan korupsi telah mengganggu stabilitas baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Tindak pidana korupsi juga telah berkembang dan meluas ke tindak-tindak kejahatan lintas negara, misalnya pencucian uang.

Maka, rasanya sudah pada tempatnya kalau KKN menjadi salah satu prioritas dalam pemerintahan yang akan datang. Orang bilang, enough is enough. Maka, memang ideal memakai tema itu untuk kampanye. Paling tidak kita akan tahu, seberapa serius sikap para capres dan cawapres mengenai masalah ini. Apalagi KKN umumnya dilakukan kalangan elite. Rakyat banyak boleh dikatakan menjadi korban karena efek berantai KKN.

Lebih jauh lagi, budaya KKN akan mengakibatkan gap antara yang kaya dan miskin makin melebar, yang pada gilirannya akan membangkitkan kecemburuan sosial dan tindak-tindak kejahatan. Lebih-lebih di masyarakat kita yang rakyat jelatanya banyak menganggur dan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kampanye pemberantasan KKN, dengan segala akibatnya yang merongrong kehidupan berbangsa, dapat dipastikan akan berhasil menggaet mayoritas suara rakyat dari kalangan akar rumput. Tetapi niat tersebut juga menjadi suratan janji yang harus dipenuhi.(Toeti Adhitama; Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 19 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan