Kisruh KPK ke Mahkamah Konstitusi

Perpu pemilihan pelaksana tugas pemimpin KPK dinilai cacat hukum.

Dua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, hari ini akan mendatangi Mahkamah Konstitusi. Mereka melanjutkan penentangan terhadap diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memilih pelaksana tugas pemimpin KPK.

“Kami meminta Mahkamah menafsirkan Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tentang pimpinan kolektif di KPK,” kata Ahmad Rivai, kuasa hukum mereka, di Jakarta kemarin. Dalam ayat itu, hanya disebutkan bahwa pemimpin KPK bekerja secara kolektif tanpa menyebutkan jumlah anggota pimpinannya.

Dinonatifkannya Ketua KPK Antasari Azhar karena dituduh terlibat kasus pembunuhan, dan disusul dijadikannya Chandra dan Bibit sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang oleh polisi, membuat pimpinan KPK tinggal dua orang. Pemerintah menilai komposisi itu tidak memenuhi kuorum sehingga perlu ditunjuk pejabat sementara.

Dalam pandangan Bibit dan Chandra, tidak ada keharusan pimpinan kolektif terdiri atas minimal tiga orang, sehingga terbitnya perpu itu merupakan pelanggaran. “Kami berkeyakinan yang dimaksud pimpinan kolektif itu tidak harus lima orang,” ujar Rivai.

Dengan kata lain, kata dia, sepeninggal Antasari, Bibit, dan Chandra, keputusan KPK tetap sah meski diambil dua pemimpin tersisa, Haryono Umar dan Mochammad Jasin.

Hal itu berarti, kata Rivai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pelaksana Tugas KPK tidak perlu diterbitkan Presiden. Perpu yang terbit 22 September lalu membolehkan Presiden menunjuk pemimpin sementara KPK.

Yudhoyono lalu menunjuk Tim Lima, yang kemudian merekomendasikan Tumpak Hatorangan Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo sebagai pelaksana tugas pemimpin KPK. Ketiganya kemarin dilantik Presiden, dan Tumpak kemudian ditunjuk oleh rekan-rekannya sebagai ketua sementara.

Terbitnya perpu itu menimbulkan reaksi pro dan kontra. Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai perpu itu cacat hukum.

Masih adanya dua pemimpin aktif KPK, menurut dia, tidak menimbulkan situasi darurat di lembaga itu. Campur tangan pemerintah dalam memilih pemimpin sementara justru akan membuat masyarakat ragu akann independensi KPK.

“Mereka terpilih dengan proses yang instan, seharusnya kerja yang dihasilkan juga instan. Kenapa ini harus dikejar, (karena untuk) menepis kecurigaan publik terkait independensi KPK,” kata Zainal.

Tapi staf ahli Presiden bidang hukum, Denny Indrayana, menilai perpu itu telah menyelamatkan upaya pemberantasan korupsi. "Tanpa perpu, kemungkinan ada masa stagnasi pemberantasan korupsi selama 11 bulan hingga akhir 2010," kata Denny.

Menurut Denny, hitungan 11 bulan diperoleh dari lamanya Antasari Azhar berubah status dari tersangka menjadi terdakwa. "Status Antasari sebagai tersangka sejak Mei 2009 hingga sekarang sudah lima bulan," kata dia. Sedangkan seleksi pemimpin KPK membutuhkan waktu paling cepat enam bulan.

Denny mengatakan pelantikan tiga pejabat sementara pemimpin KPK itu membuktikan Presiden telah menyelamatkan KPK. "Dengan bertugasnya tiga pemimpin sementara KPK, stagnasi seperti ini bisa dihindari," kata dia. Jika proses hukum terhadap Bibit dan Chandra berhenti, maka pelaksana tugas KPK otomatis akan berhenti. ANTON SEPTIAN | SUTARTO | HERU CN | GUNANTO | CHETA | YUDONO

Sumber: Koran Tempo, 7 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan