Kisah Para

Dana Gizi Disunat Provinsi, Mundur dari Kepala Puskesmas

Di tengah maraknya praktik korupsi di ranah politik dan birokrasi, masih banyak orang yang ingin bekerja secara jujur di negeri ini. Inilah potret salah seorang anggota dewan yang gigih memilih jadi saksi pelapor alias whistleblower kasus korupsi.

SOLIHIN, Rembang

SAAT ini adalah hari-hari yang berat bagi dr Sugeng Ibrohim. Anggota DPRD Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, itu sering diteror. Sudah tidak terbilang, beberapa kali wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menerima ancaman lewat telepon. Bukan hanya itu, istrinya di rumah pun diancam akan dibunuh.

Saya pernah nekat. Yang meneror saya tantang. Eh, ternyata malah tidak muncul, kata Sugeng saat ditemui Radar Kudus (Grup Jawa Pos) di rumahnya yang asri di Sidorejo, Pamotan, sekitar 18 kilometer dari kota Rembang, Selasa (4/9).

Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Sugeng yang lulusan Universitas Diponegoro, Semarang, itu selama beberapa lama bahkan dikawal petugas.

Teror itu tidak lepas dari sikap pria kelahiran Tulungagung 39 tahun lalu yang dikenal sangat kritis menentang ketidakberesan berbagai persoalan di daerahnya. Dia tetap kukuh dengan sikapnya meski dihantam badai dari kanan kiri.

Bapak satu anak itu mengakui, dia memang baru melaporkan dugaan kasus korupsi di Rembang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan itu terkait dengan proses lelang yang diduga fiktif terkait dengan proyek peningkatan jalan lapisan hotmix di daerahnya senilai Rp 53 miliar.

Sugeng akhirnya melapor ke KPK setelah laporan serupa (lelang fiktif) ke Polda Jateng itu tidak segera ditanggapi. Ini pelanggaran pidana, bukan delik aduan. Jadi, mestinya segera ditindaklanjuti, kata suami Diana Nugraheni Arimurti itu.

Sesuai dengan Keppres No.80 Tahun 2003 dan Perpres No.85/2006, semua proyek Rp 1 miliar ke atas memang harus ditenderkan secara terbuka. Pengumuman lelang itu harus diumumkan di media lokal dan nasional.

Menurut dia, proyek itu sebetulnya punya tujuan bagus. Yakni, memperlancar arus transportasi dan ekonomi. Sayang, iklan lelang proyek pada 9 September 2006 (salah satunya di Radar Kudus) diduga dipalsukan. Langkah itu sebagai upaya menyembunyikan pelelangan. Dengan demikian, hanya orang-orang tertentu yang tahu. Merekalah yang dipersiapkan untuk menang.

Sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006, persoalan iklan ganda masuk bahan temuan. Dalam LHP BPK itu, kata dia, juga disebutkan adanya kas daerah yang tekor hingga Rp 12 miliar, deposito fiktif Rp 6,8 miliar di Bank Pasar, dan pelanggaran lain.

Bagaimana saya bisa diam kalau keuangan daerah digunakan untuk kepentingan yang tidak semestinya. Bahkan, melanggar aturan hukum dan perundang-undangan yang ada, katanya.

Sugeng mengakui, kegiatannya melawan korupsi terbawa sejak dia belum terjun ke dunia politik. Yakni, setelah satu bulan dia menjadi kepala Puskesmas Kecamatan Sedan di Rembang. Saat itu dia menemukan dana untuk program peningkatan gizi keluarga dari APBD I Jawa Tengah yang disunat di tengah jalan. Yakni, 10 persen disunat di Dinas Kesehatan Provinsi, 10 persen disunat di Dinas Kesehatan Kabupaten. Saya heran, dana untuk peningkatan gizi saja dipotong, apalagi dana-dana yang lain, kata dokter yang mengawali tugasnya sebagai dokter di Lasem, Rembang, pada 1993 itu.

Suatu hari, saat kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah saat itu (dia meminta namanya tidak dikutip) berkunjung ke Rembang, dia mempertanyakan pemotongan dana peningkatan gizi keluarga. Pejabat provinsi itu membantah adanya potongan dana tersebut. Saya malah dinilai memfitnah, ujarnya. Yakin pemotongan itu benar-benar ada, Sugeng menantang agar pejabat itu melapor ke polisi sehingga ketahuan siapa yang benar. Sebab, Dinas Kesehatan Kabupaten jelas-jelas menyebutkan bahwa potongan itu diperintahkan Dinas Kesehatan provinsi, katanya.

Karena sikap Sugeng itu, dana operasi untuk Puskesmas Sedan ditahan hingga tiga bulan. Karena tidak ada dana, operasi di puskesmas tidak berjalan normal. Saya menyimpulkan praktik korupsi sudah menggurita dan sistemik. Sejak itu, saya bertekad melawan korupsi, ujarnya.

Karena sering protes, tidak lama kemudian Sugeng dipanggil ke kabupaten. Saat itu, yang menemui adalah Kepala Bagian Keuangan Pemkab Rembang Muhamad Jupri. Saat menghadap itulah, dia dinasihati. Intinya, dirinya dianggap tidak cocok menjadi PNS. Padahal, saat itu dia sedang memproses menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Setelah mendapat nasihat itu, saya mengurungkan niat menjadi PNS, katanya.

Setelah mundur dari kepala Puskesmas Sedan, selama empat tahun (1997-2001) dia melaksanakan tugas sebagai dokter secara independen. Lalu, pada 2001, dia diterima menjadi konsultan Bank Dunia untuk proyek Safe Motherhood Project Partnership and Family Approach (SMPFA). Proyek itu bertujuan meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Di proyek ini saya pernah ditempatkan di Chiangmai, Thailand, katanya.

Saat bekerja di Bank Dunia, dia mendapatkan kenikmatan karena bekerja dengan sistem yang bersih. Bantuan itu dilewatkan Depkes dan BKKBN. Tidak ada anggaran di proyek Bank Dunia yang dipotong pimpinan. Semua bekerja dengan tatanan yang tersistem bersih, katanya.

Sejak masuk di Fakultas Kedokteran Undip, ayahnya memang menanamkan agar dia seperti Dokter Wahidin dan Dokter Sutomo yang gigih membantu masyarakat. Dokter harus siap terjun di daerah-daerah untuk melayani masyarakat, ujarnya.

Bagaimana ceritanya sehingga Sugeng masuk dunia politik? Sebelum kontraknya berakhir dengan Bank Dunia, Sugeng mengaku ditemui Ketua DPC PKB Rembang H Yaqut Cholil Qoumas. Saat itu, Gus Tutut -panggilan putra almarhum KH M Cholil Bisri tersebut- minta dirinya masuk PKB. Saat itu dia menjawab tidak tertarik masuk partai politik.

Saya enjoy bekerja di Bank Dunia dan praktik dokter menolong masyarakat yang membutuhkan. Dengan cara itu, saya sudah mendapat rezeki lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari, katanya.

Namun, Gus Tutut terus meyakinkan dirinya. Sugeng diminta menjadi politikus yang beretika yang berjuang membela rakyat. Kalau bisa seperti itu, manfaatnya dapat dirasakan masyarakat banyak, ujarnya.

Setelah diyakinkan, Sugeng tertantang. Dia masuk PKB dan terpilih menjadi anggota DPRD Rembang periode 2004-2009. Saat baru masuk sebagai anggota dewan, dia bersama Gus Tutut, Durrotun Nafisah (PKB), dan Arif Budiman (PAN) menolak fasilitas seragam yang diberikan pihak setwan. Belum bekerja kok sudah mendapat fasilitas dari negara, katanya beralasan.

Setelah itu, dia bersama beberapa anggota dewan yang lain juga pernah menolak dana THR untuk hari raya Lebaran pada 2004. Dia merasa tidak pantas menerima dana tersebut. Di kemudian hari akhirnya terbukti dana yang telanjur diterima anggota dewan harus dikembalikan ke kas daerah. Sebab, penerimaan dana tersebut dinilai menyalahi aturan.

Sugeng juga bersikap keras saat bupati Rembang masih dijabat H Hendarsono yang mengajukan anggaran Rp 900 juta untuk menyambut kunjungan Presiden Megawati. Dana itu terlalu besar untuk ukuran daerah seperti Rembang. Tapi, kami akhirnya kalah suara dari fraksi lain, katanya.

Dia menuturkan, perbenturannya dengan bupati Rembang sekarang, H Moch. Salim, terjadi sejak munculnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2005. Meski berbenturan, dirinya mengaku tetap hormat kepada pribadi H Moch. Salim. Sebab, yang dia kritisi adalah institusi bupati. Bukan pribadi bupatinya.

Dalam LHP BPK tahun 2005, disebutkan ada dana tak tersangka Rp 1,7 miliar yang tidak masuk dalam perhitungan APBD Rembang. Padahal, setiap rupiah uang milik rakyat harus dipertanggungjawabkan. BPK jelas-jelas menyebut bahwa hal itu merupakan pelanggaran atas UU Perbendaharaan Negara dan PP Penyusunan Anggaran.

Menurut Sugeng, melawan korupsi bukan persoalan menang kalah, tetapi mau atau tidak mau, berani atau tidak berani. Sebab, tidak ada cerita bahwa kebenaran kalah melawan kesalahan. Untuk itu, dia bertekad akan terus menyuarakan pentingnya melawan korupsi.

Kesederhanaan Sugeng terlihat di ruang tamu rumahnya. Alih-alih barang elektronik mewah, di sana terhampar sebuah rak besar dari kayu yang berisi buku-buku. Mulai buku soal perundang-undangan, kedokteran, hingga keislaman. Di ruang depan, terparkir sebuah mobil sedan dan Blazer. Kendaraan itu dipakai untuk ngantor ke gedung dewan, tempat praktik dokter, kegiatan partai, dan organisasi NU.

Dia juga mengajak rekan-rekannya di dewan untuk tetap mempertahankan prinsip itu. Sebab, gaji anggota dewan sudah besar. Sekitar Rp 7 juta dipotong partai sekitar Rp 2 juta. Membawa pulang Rp 5 juta itu sudah lebih dari cukup. Karena dewan masih mendapat tunjangan perumahan dan fasilitas lain. Kalau bicara kurang, memang kurang terus, katanya. (*)

Sumber: Jawa Pos, 6 September 2007
-----------------
Kisah Para

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan