Kinerja dan Tantangan KPK [17/07/04]

Mengejutkan dan bravo. Begitulah kata-kata yang pantas disampaikan kepada kelima unsur pimpinan KPK. Dalam waktu enam bulan sejak dibentuk, KPK sudah menyelidiki 12 kasus korupsi, dan dua kasus sudah memasuki tahap penyidikan.

Berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan yang masih dibolehkan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau surat penghentian penuntutan perkara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki wewenang itu sehingga tugas KPK lebih berat.

Bukan hanya dua alat bukti awal yang cukup untuk meningkat pada tahap penyidikan, KPK harus matang mempertimbangkan tahap ini dan minimal diperoleh tiga alat bukti untuk memperoleh keyakinan dan kesiapan guna menetapkan seseorang menjadi tersangka tindak pidana korupsi.

KASUS Abdullah Puteh adalah kasus pertama dalam kinerja KPK sejak pembentukan sekaligus merupakan uji coba atas kesungguhan dan keberanian KPK yang diberi wewenang lebih besar daripada kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Kasus ini merupakan awal yang kondusif untuk membangun pemerintahan yang bebas KKN, bahwa tidak seorang pun kebal hukum.

Dalam kasus ini, seharusnya tidak seorang pun termasuk pejabat tinggi pemerintah (presiden dan wakil presiden), pejabat legislatif, dan yudikatif mempersoalkan tugas dan wewenang KPK dalam menuntaskan kasus itu. Sebaliknya, mereka harus mendorong KPK agar lebih intensif bekerja dan membawa kasus ini ke pengadilan khusus korupsi.

Polemik soal wewenang KPK harus dihentikan, diselesaikan, dan diserahkan sepenuhnya kepada putusan pengadilan yang imparsial, berkait dengan keabsahan penahanan tersangka. Cara-cara lama itu tak pernah mencerdaskan masyarakat awam dalam memberantas korupsi, kecuali membingungkan.

Akuntabilitas publik dibangun dengan proses peradilan yang jujur, tidak memihak, dan adil. Meski ada masalah dalam perlindungan hak asasi tersangka, sejak kini kita belajar menjadi dewasa dalam menegakkan hukum dan keadilan, terutama dalam memberantas korupsi, dan menyerahkan sepenuhnya kepada institusi pengadilan.

Kedewasaan dalam berperkara hanya dapat dibentuk dengan baik dan obyektif dalam sidang pengadilan, bukan dalam media yang mengandalkan persepsi masyarakat, yang kadang terbawa arus emosionalitas daripada rasionalitas.

MASALAH korupsi dan pemberantasannya adalah masalah hukum, bukan masalah politik. Karena itu, pemberantasan korupsi tidak dapat dikembalikan kepada otoritas politik (DPR/DPRD). Proses politik sudah selesai saat RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disahkan menjadi UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001, dan RUU Pembentukan KPK menjadi UU No 30/2002.

Maka, masalah korupsi oleh penyelenggara negara, bukan masalah hukum administrasi negara. Masalah korupsi merupakan tindak pidana khusus dan luar biasa sehingga memerlukan langkah pemberantasan luar biasa. Yang menentukan ada-tidaknya tindak pidana korupsi adalah dipenuhitidaknya kualifikasi tindak pidana korupsi menurut UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 dan doktrin yang berkembang dan dianut hukum pidana, bukan doktrin yang dianut dan berkembang dalam hukum administrasi negara.

Jelas, praktisi hukum harus bisa membedakan dan menegaskan bahwa perkara korupsi termasuk rezim hukum pidana khusus, bukan hukum administrasi negara. Selain itu, sistem hukum acara pidana Indonesia tidak menganut sistem preseden sebagaimana dianut dalam sistem common law.

Karena itu, tidak ada satu pun alas hukum yang kuat untuk mengatakan sistem preseden merupakan kemutlakan dalam proses beracara untuk perkara pidana di Indonesia, kecuali bila para hakim, pengacara, dan jaksa penuntut umum sudah tak lagi bisa membedakan kedua sistem hukum itu dalam praktik beracara.

Dalam pemberantasan tindak korupsi, peran perbankan amat strategis. Hasil kekayaan dari korupsi bermuara dalam aktivitas perbankan sehingga masalah kerahasiaan bank (bank secrecy) sering menjadi faktor penghambat yang dapat menggagalkan langkah penegak hukum dan KPK dalam pembuktian korupsi.

Tidak ada lagi celah hukum bagi koruptor untuk berlindung di balik kerahasiaan bank sebagai tempat menyembunyikan dan mencuci uang karena UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 15/2002 juncto UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sudah menutup celah hukum itu.

Penutupan celah hukum baru berjalan efektif jika otoritas perbankan dan pimpinan bank memiliki komitmen yang sama dengan aparatur penegak hukum dan KPK. Apalagi UU No 7/1992 juncto UU No 10/1998 tentang Perbankan memberi peluang pembukaan keterangan keadaan keuangan tersangka (Pasal 42).

PERAN Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemberantasan korupsi juga tidak kalah penting. Karena itu, kerja sama erat lembaga ini dan KPK amat strategis dalam menelusuri jejak peredaran uang hasil korupsi. Secara teknis hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan menyertakan pejabat PPATK sebagai saksi ahli.

Kerahasiaan bank dalam konteks globalisasi perdagangan dan perbankan kini sudah tidak perlu dimasalahkan lagi karena sudah dirumuskan aneka kekecualian untuk dapat membukanya, baik dalam undang-undang nasional maupun dalam hukum internasional.

Konvensi Menentang Korupsi (Convention Against Corruption, 2003) yang sudah diadopsi Pemerintah Indonesia, Desember 2003, memuat ketentuan itu. Dengan bahasa wajib (mandatory language), konvensi itu menuntut agar tiap negara peserta konvensi sudah memasukkan ketentuan yang dapat membuka kerahasiaan bank untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi (Pasal 31 Ayat 7 juncto Pasal 40 dan Pasal 55).

Perkembangan ini menuntut seluruh pejabat otoritas perbankan dan pimpinan bank untuk memahami dan melaksanakan ketentuan pembukaan kerahasiaan bank sepanjang menyangkut status hukum tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain. Apalagi KPK sudah dibekali ketentuan khusus untuk melaksanakan instrumen internasional itu dalam UU No 30/2002 (Pasal 12 Huruf c dan Huruf d).

Di sisi lain, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas keberhasilan KPK meningkatkan kasus tindak pidana korupsi ke tingkat penyidikan dan penuntutan, tetapi juga ditentukan kinerja hakim pengadilan khusus korupsi sepanjang mereka masih memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan, didukung bukti meyakinkan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan dan nurani hakim bersangkutan, dengan wajib mempertimbangkan kerugian material dan imaterial (martabat) yang diderita bangsa dan negara selama puluhan tahun akibat korupsi.

Dalam kaitan kinerja para hakim pengadilan khusus korupsi, Komisi Yudisial menjadi amat penting perannya dan bersifat strategis untuk ikut mengawasi kinerja pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Namun, pengamatan menunjukkan, seluruh kinerja KPK dan para hakim dalam pemberantasan korupsi akan mengalami berbagai kendala serius di kemudian hari sehubungan dengan penerapan konvensi tahun 2003 karena hukum acara yang diberlakukan masih jauh dari memadai untuk menangani kasus korupsi dengan skala internasional.

Diperlukan perubahan mendasar, antara lain pembentukan hukum acara khusus penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam UU yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan memasukkan ketentuan mengenai perlindungan saksi/pelapor yang komprehensif serta kemungkinan ketentuan yang memuat perlindungan pihak ketiga yang telah dirugikan karena tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.

Jelas, perjalanan pemerintah dan bangsa dalam upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial masih panjang.(Romli Atmasasmita Koordinator Forum 2004 (Pemantau Pemberantasan Korupsi))

Tulisan ini diambil dari Kompas, 17 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan