Kinerja Anggaran DPR

Di awal 2008, Dewan Perwakilan Rakyat kembali membuat sensasi. Seakan hadiah tahun baru, setiap anggota Dewan bakal menerima uang insentif legislasi Rp 39 juta. Jelas saja putusan ini segera menuai protes publik.

Betapa tidak, hal ini muncul di tengah berlapis derita banjir, tanah longsor, dan angin yang tengah melanda sebagian besar rakyat Indonesia. Pembagian insentif ini juga dinilai tidak masuk akal karena dibayarkan dalam bentuk rapel atas kegiatan legislasi yang sudah jauh hari berakhir. Momentum awal tahun bagi DPR semestinya digunakan untuk mengevaluasi diri. Mungkin juga saat yang tepat untuk mempersoalkan kembali seperti apa seharusnya konsep kinerja anggaran DPR.

Kinerja anggaran publik selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah unit kerja pemerintahan dapat mencapai tujuan kerja dengan alokasi anggaran yang tersedia. Semakin efektif dan efisien pengelolaan anggaran dengan prestasi capaian kerja sesuai dengan dokumen perencanaan, unit tersebut dapat dikatakan baik dalam kinerjanya.

Sering kali kinerja anggaran dikaitkan dengan konsep anggaran kinerja (performance budget). Anggaran kinerja adalah sebuah format anggaran baru yang diperkenalkan sejak bergulirnya otonomi daerah di awal era Reformasi. Anggaran kinerja mencoba mengoreksi berbagai persoalan dalam praktek penganggaran lama (anggaran tradisional). Anggaran lama lebih berbasis penerimaan (input), dengan besarnya porsi peningkatan alokasi anggaran diukur dari persentase kenaikan penerimaan negara. Untuk apa anggaran akan dipergunakan dan bagaimana cara mengukur efektivitasnya kurang mendapat perhatian.

Struktur belanja dalam sistem lama kemudian menjadi tidak efisien, karena banyak pos belanja yang berulang dari tahun ke tahun tanpa evaluasi. Tapi alokasinya terus bertambah sesuai dengan kenaikan persentase porsi penerimaan (incrementalism). Hal ini kemudian banyak memunculkan penyimpangan, seperti pembelanjaan fiktif dan penggelembungan. Yang krusial dari sistem anggaran ini juga sifatnya yang harus habis pakai. Hal ini kemudian memunculkan indikasi pemborosan dengan proyek kebutan di akhir tahun anggaran.

Dengan diperkenalkannya sistem anggaran kinerja, kelemahan sistem lama bertahap diperbaiki. Anggaran kinerja memberikan perhatian lebih pada pengeluaran (output), bahkan menyertakan dengan berbagai pemenuhan indikator kinerja, seperti efektivitas, efisiensi, capaian (outcome), dan dampak (impact). Untuk mencapai berbagai indikator ini, sistem standar harga dan standar pelayanan pun diperkenalkan. Diharapkan, dengan konsep kinerja, anggaran dapat dievaluasi capaiannya sesuai dengan tujuan unit-unit kerja di pemerintah. Sistem ini juga secara tidak langsung mengurangi kemungkinan penyelewengan anggaran yang sering kali tidak dapat dibendung dalam penerapan sistem anggaran lama.

Anggaran DPR
Banyak kebijakan anggaran di DPR yang sering kali mendapat sorotan miring karena dipandang tidak merepresentasikan kinerja. Taruhlah kasus pembelian laptop yang dipandang pemborosan karena alokasi harga yang jauh di atas harga pasar dan dipandang tidak terlalu penting melihat limpahan fasilitas serta tunjangan yang telah diterima anggota DPR.

Kasus lain, seperti proyek renovasi rumah dinas DPR, juga mendapat sorotan tajam karena berkemungkinan menjadi pembelanjaan fiktif, mengingat tidak kurang dari 85 persen anggota DPR sebenarnya berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya rumah dinas yang tidak ditempati sehingga rusak karena kurang perawatan dan tak berpenghuni. Adanya alokasi ini juga mendorong publik mempertanyakan alokasi perawatan rumah dinas Rp 2 juta per bulan yang sudah menjadi bagian dari tunjangan anggota DPR. Ke manakah larinya alokasi tunjangan itu? Tak pelak, alokasi Rp 200 juta untuk renovasi pun dianggap akal-akalan Sekretariat DPR untuk memproyeksi anggaran negara. Berkelindan dengan adanya alokasi uang sewa Rp 13 juta per bulan yang akan dibagikan ke anggota DPR pengguna rumah dinas, lengkaplah sudah tuduhan bahwa anggota DPR dan Sekretaris Jenderal DPR sama-sama untung dengan adanya proyek ini.

Mendorong kinerja
Cukup sudah! Sudahi segera akal-akalan anggaran di DPR yang ujung-ujungnya minta tambahan penghasilan buat anggota. Sekarang saatnya memikirkan format anggaran baru di DPR yang dapat mendorong kinerja DPR, terutama dalam melaksanakan fungsi-fungsi utama: legislasi serta anggaran dan pengawasan dengan efektif, mencapai target, dan juga efisien. Kebijakan uang insentif legislasi, misalnya, adalah contoh kebijakan yang sudah mengarah mendorong fungsi utama, tapi masih kurang tepat.

Membagikan insentif Rp 1 juta per anggota DPR, padahal tidak semua anggota terlibat dalam pembahasan rancangan undang-undang, menunjukkan tidak bersahutannya masukan dan keluaran dari kegiatan Dewan. Hal ini juga dapat dicap anggaran ganda (double budgeting) karena sebenarnya DPR telah memiliki alokasi tersendiri setiap menghadiri rapat-rapat di DPR yang jumlahnya sudah cukup besar, yaitu uang paket Rp 750 ribu-2 juta per bulan dan uang sidang Rp 150 ribu per sidang. Kurang apa lagi!

Bayangkan jika alokasi Rp 550 juta per undang-undang diarahkan untuk kebutuhan lain yang dapat membantu kerja-kerja anggota DPR. Misalnya penambahan anggota staf ahli untuk setiap anggota yang dapat membantu penguasaan isu-isu penting di setiap RUU. Untuk alokasi 39 undang-undang, misalnya, telah tersedia dana Rp 21,45 miliar. Atau target 60 undang-undang per tahun juga telah ada alokasi Rp 38,5 miliar. Dengan perspektif anggaran kinerja, DPR sebenarnya dapat berhemat dan melakukan banyak hal dengan alokasi yang tersedia.

Hanya, pemetaan kebutuhan untuk peningkatan kinerja DPR harus dihitung dengan cermat dan realistis. Dalam konteks legislasi, misalnya, jika memang hanya mampu menyelesaikan 40 RUU tiap tahun, kenapa harus mentargetkan hingga dua kali lipatnya? Untuk itulah, DPR perlu mengevaluasi dan mengukur diri. Target harus terukur dan sesuai dengan kapasitas agar keluaran dalam bentuk produk undang-undang tetap terjaga kualitasnya.

Ibrahim Fahmy Badoh, MANAJER DIVISI KORUPSI POLITIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan