Kilas Balik; Membongkar Kasus Korupsi

Salah satu terobosan penting dalam Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999), adanya ruang bagi masyarakat berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 41 Ayat (2) UU No 31/1999, ditegaskan bahwa peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Untuk kasus-kasus yang sudah dilaporkan, masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 hari.

Sekalipun sudah ada jaminan terhadap partisipasi masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sampai sejauh ini upaya membongkar kasus korupsi masih belum optimal. Hambatan itu mungkin muncul karena partisipasi masyarakat atau pembangunan jaringan antar-kelompok masyarakat masih amat terbatas. Bisa juga, upaya membongkar kasus korupsi terkendala karena terbatasnya respon aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.

Terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, tulisan coba menguraikan secara ringkas upaya Forum Peduli Sumatra Barat (FPSB) membongkar kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatra Barat Tahun 2002. Sebagai sebuah forum, FPSB terdiri dari berbagai profesi (seperti aktifis mahasiswa, LSM, wartawan, dosen, pengusaha, tokoh masyarakat, praktisi dan lain-lain) yang punya komitmen untuk berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
***

Dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, FPSB lebih mendahulukan langkah persuasi. Misalnya, menghadapi proses penyususan RAPBD 2002, kegiatan dimulai dengan menggelar serangkaian pertemuan yang melibatkan pakar yang pernah ikut dalam proses penyusunan PROPEDA dan REPETADA Sumatra Barat serta ahli keuangan daerah dan hukum keuangan dari beberapa perguruan tinggi. Pertemuan juga melibatkan kelompok lain seperti aparat penegak hukum.

Berdasarkan hasil serangkaian pertemuan tersebut, kelihatan bahwa struktur dan sebagian mata anggaran tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku khususnya PP No 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD (PP No 110/2000). Kemudian, hasil diskusi itu disampaikan kepada anggota DPRD dengan harapan mereka mau melakukan perbaikan. Sayang DPRD tidak merespon usulan perbaikan FPSB, mayoritas anggota DPRD tetap yakin bahwa struktur anggaran yang mereka susun tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada.

Karena tidak berhasil meyakinkan anggota DPRD, FPSB coba meyakinkan beberapa perguruan tinggi untuk melakukan kajian terhadap RAPBD 2002. FPSB juga mendorong perguruan tinggi menyampaikan hasil telaahnya ke DPRD. Gagasan ini disambut positif beberapa perguruan tinggi. Sayangnya, ketika hasil itu disampaikan, DPRD tidak mau melakukan perbaikan sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi itu. Pelebaran agenda FPSB tidak hanya ke perguruan tinggi tetapi juga kepada media massa dan mahasiswa.

Ketika langkah di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, FPSB menyampaikan masalah penyimpangan penyusunan keuangan DPRD kepada Gubernur. Dalam suatu pertemuan dengan gubernur, berupaya menjelaskan penyimpangan-penyimpangan dalam penyusunan anggaran DPRD. Di samping itu, FPSB juga mendorong gubernur untuk menjelaskan kepada anggota DPRD agar dilakukan revisi terhadap RAPBD 2002. Hasil yang dicapai juga tidak menggembirakan. Gubernur malah berusaha menyakinkan FPSB bahwa anggaran itu sudah disusun sesuai dengan ketentuan yang ada.

Gagal meyakinkan gubernur, FPSB melanjutkan upaya koreksi yaitu datang ke Departemen Dalam Negeri dengan meminta Menteri Dalam Negeri menggunakan kewenangan yang dimilikinya yaitu memerintahkan DPRD merevisi APBD 2002. Sama dengan upaya-upaya sebelumnya, usaha FPSB ini tidak mendapat jawaban dari Depdagri.

Setelah 'gagal' melakukan upaya di atas, FPSB baru melakukan langkah hukum yaitu melaporkan penyimpangan penyusunan APBD kepada pihak berwenang. Sebelum melaporkan, ada tiga persolan mendasar yang sempat didiskusikan agak dalam yaitu (1) ke institusi mana (kepolisian atau kejaksaan) akan dilaporkan, (2) siapa yang akan dilaporkan, apakah eksekutif, legislatif atau eksekutif dan legislatif sekaligus, dan (3) identitas pelapor.

Untuk masalah yang pertama, FPSB menyepakati untuk melaporkan penyimpangan penyusunan keuangan anggota DPRD kepada Kejaksaan Tinggi. Pertimbangannya, kalau dilaporkan ke kepolisian, proses akan lebih panjang. Artinya, dengan melaporkan ke kejaksaan, FPSB sudah memangkas satu tahap proses penyelesaian kasus-kasus korupsi. Tidak hanya itu, selama proses diskusi-diskusi awal, beberapa aparat kejaksaan pernah mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh FPSB. Asumsinya, beberapa aparat kejaksaan sudah memahami sebagian persoalan yang terjadi dalam proses penyusunan APBD 2002.

Perdebatan agak dalam terjadi dalam masalah kedua tentang siapa yang akan dilaporkan. FPSB menyepakati, yang pertama akan dilaporkan adalah pihak DPRD. Pertimbangannya, di samping strategi, mendahulukan anggota DPRD sangat terkait dengan fungsi kontrol lembaga legislatif terutama dalam memerangi praktik korupsi. Semestinya, dalam proses penyusunan anggaran, legislatif harus mampu melakukan koreksi terhadap anggaran yang dibuat eksekutif guna mencegah kemungkinan adanya penyimpangan di kemudian hari. Nyatanya, fungsi kontrol diabaikan dan mereka sibuk merekayasa keuangan sendiri.

Dalam hal identitas pelapor, pada mulanya ada pemikiran untuk menyembunyikan identitas. Pemikiran itu didasarkan pada pertimbangan tidak adanya undang-undang yang melindungi pelapor dari kemungkinan serangan balik pihak terlapor. Tetapi karena pertimbangan untuk memudahkan konfirmasi (terutama dari media massa) terhadap perkembangan laporan, identitas sengaja dipublikasikan secara luas.

Dengan pertimbangan-pertimbanga di atas, FPSB melaporkan kasus indikasi korupsi di DPRD ke Kejakasaan Tinggi Sumatra Barat. Sayangnya, sesuai dengan batas waktu yang ditentukan tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Tinggi. Bahkan, FPSB mensomasi kejaksaan karena tidak menindaklanjuti laporan yang telah disampaikan. Somasi itu juga tidak jelas nasibnya. Dalam ketidakpastian itu, FPSB melakukan langkah lain yaitu melaporkan kejaksaan ke Komisi Ombudsman Nasional (KON).

Tidak sampai dua minggu, FPSB menerima surat KON kepada Jaksa Agung tentang laporan FPSB. Setelah itu, mulai kelihatan upaya kejaksaan menindaklanjuti laporan FPSB. Dalam proses penyidikan, kejaksaan sempat menahan salah seorang Wakil Ketua DPRD. Setelah menjalani proses sekitar satu tahun, April 2003 kasus penyimpangan penyusunan keuangan DPRD dalam APBD 2002 dilimpahkan ke pengadilan. Proses persidangan memerlukan waktu sekitar satu tahun, pertengahan bulan Mei 2004 majelis hakim Pengadilan Negeri Padang menyatakan 43 orang anggota DPRD Sumatra Barat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
***

Lalu, pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman FPSB di atas? Membongkar kasus korupsi harus dilakukan dengan langkah yang sitematis dan tidak pernah menyerah. Kalau satu upaya gagal, secara kreatif harus ditemukan cara lain. Prinsipnya, karena pelaku korupsi tidak tunggal, membongkar kasus korupsi harus dilakukan secara berjamaah.

Catatan terakhir, pengalaman FPSB hanya sebagai contoh. Artinya, tidak semua upaya membongkar kasus korupsi mesti sama dengan pengalaman FPSB. Apalagi, tulisan ini lebih merupakan pemahaman pribadi saya terhadap gerakan yang dilakukan FPSB. Bisa jadi, teman-teman saya yang lain punya pemahaman dan penceritaan yang berbeda dari tulisan ini. Yang terpenting, kita tidak boleh berhenti melawan korupsi.

Saldi Isra, mantan Kordinator Forum Peduli Sumatra Barat (FPSB)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 20 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan