Kiat Memperlicin Segala Urusan

Ada angin sorga berembus dari Tim Perumus Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Retribusi Daerah Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah retribusi daerah di bidang pemerintahan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, katanya akan dibebaskan dari biaya, alias gratis. Apakah Anda, warga Jakarta, langsung senang? Cerita basi!

Sudah sekian tahun Pemprov DKI Jakarta mengumbar janji akan menggratiskan berbagai retribusi, salah satunya adalah mengurus kartu tanda penduduk (KTP). Kenyataannya di lapangan? Hanya segelintir warga yang bisa menikmatinya. Yang lainnya, tetap kena pemalakan halus dan kasar, kalau tidak urusan KTP bisa berlama-lama selesai.

Ketua Tim Perumus Raperda tentang Retribusi Daerah, M Firmansyah, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (15/3) lalu, memberi daftar panjang retribusi yang akan digratiskan. Untuk bidang pemerintahan, pelayanan pembuatan KTP, pencatatan kematian, dan pencatatan kelahiran. Di bidang ekonomi, pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk pengusaha kecil juga dibebaskan biaya, yang sebelumnya Rp 50.000.

Retribusi kebersihan lingkungan, terutama kegiatan pengangkutan sampah perumahan, juga dibebaskan dari biaya. Semua rumah tinggal dari yang luas bangunannya 70 m2 sampai di atas 301 m2, juga dibebaskan dari biaya.

Upaya pembebasan retribusi itu memang menggembirakan. Namun kita pesimistis, kalaupun raperda itu kelak ditetapkan jadi perda, apakah realisasinya di lapangan demikian adanya?

Angka dan data berbicara lain. Belum lama berselang, Transparency International Indonesia (TII) menyebut Jakarta sebagai kota terkorup di Tanah Air. Penilaian itu berdasarkan hasil survey berbentuk Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia Tahun 2004, yang telah dilakukan TII. Setelah Jakarta kemudian menyusul Surabaya, Medan, Semarang, dan Batam.

TII mengungkapkan, pengurusan izin usaha di kalangan Pemprov DKI adalah ruang tertinggi terjadinya korupsi dengan nilai total Rp 1,88 miliar. Disusul pengurusan izin kerja atau tenaga kerja Rp 1,3 miliar, kemudian rumah sakit, Puskesmas, Balai Kesehatan Rp 154 juta. Selanjutnya, bidang pekerjaan umum Rp 70 juta, dan perusahaan air minum (PAM) Rp 65 juta, pelayanan pendidikan Rp 32 juta.

Beberapa kalangan menganggap rapor merah yang diperoleh Jakarta dari survey itu sebagai hasil yang wajar. Soalnya Jakarta sebagai pusat kota memiliki perputaran uang terbesar di Indonesia.

Hampir 70-80 persen perputaran uang berada di Jakarta. Logikanya tentu akan terjadi korupsi yang besar pula. Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Pengawasan itu dilakukan dari atas sampai bawah dan benar-benar harus ditegak kan, kata Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Drs H Achmad Suaidy.

Sedangkan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso berkata, penilaian tersebut harus dijadikan pegangan bagi aparat pemda DKI untuk berupaya mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Itu benar, kalau yang mencegah itu benar-benar tidak berbuat. Tetapi, kalau ada segelintir yang tidak berbuat KKN di tengah menjamurnya KKN, tentu yang tidak KKN akan dianggap aneh.

Supaya tidak aneh, para pemimpin Ibu Kota mulai dari lini atas, harus menjadi teladan, bebas KKN. Maka, upaya mencegah KKN pun akan berhasil karena pada lini bawah tentu sungkan kalau tidak meneladani atasannya.

Pelicin
Memang, bukan rahasia umum lagi jika segala sesuatu di Jakarta harus serba menggunakan duit pelicin. Uang adalah kiat memperlicin segala urusan.

Mulai dari mengurus KTP, mendapatkan tender proyek, mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sampai izin jualan di pinggir jalan (kaki lima). Dari sesuatu yang awalnya dilarang, di Jakarta bisa menjadi halal dikerjakan asalkan ada duit atau masyarakat Jakarta menyebutnya sogokan.

Kami kan jualan di sini juga bayar ada retribusi yang ditarik setiap hari, kata Dudung (30), pengusaha bar di kawasan Bongkaran Tanah Abang, beberapa bulan sebelum akhirnya tempat itu dibersihkan aparat Suku Dinas Tramtib dan Linmas Jakarta Pusat pada awal tahun 2005 ini.

Sementara itu seorang pengembang yang tidak mau disebutkan namanya mengaku pada Pembaruan, harus mengeluarkan uang pelicin jika ingin mendapatkan proyek dari Pemprov DKI. Untuk melicinkan jalannya agar mulus sampai pada penandatanganan kerja sama, Ia mengaku harus melewati lebih dari 30 meja beserta uang titipan.

Itu pun belum lagi harus bayar sogokan ke DPRD. Sedangkan di DKI saja minimal saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 50.000/ meja. Tapi nilai segitu cuma untuk yang level bawah saja, sedangkan atasannya tentu harus lebih besar lagi, minimal Rp 100.000-Rp 200.000, jelasnya.

Ia mengaku, terpaksa melakukan itu. Karena kalau tidak, akan kalah bersaing dengan pegawai pemprov yang juga main proyek dengan meminjam nama perusahaan orang lain.

Mereka juga banyak yang ngambil proyek, makanya jangan heran kalau ada proyek yang tidak diumumkan oleh panitia lelang. Biasanya mereka sudah punya orang sendiri yang akan mengerjakan proyek itu, katanya.

Warga Jakarta yang ingin memenuhi kewajibannya harus pula mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Contohnya, pengalaman Ema (37), warga Senen, Jakarta Pusat. Ema mengaku untuk mengurus IMB ia harus mengeluarkan uang sekitar Rp 11 juta.

Padahal, biaya resminya hanya sekitar Rp 2 juta. Biaya untuk mengurus rumahnya seluas 130 m2 itu menjadi membengkak, karena adanya pungutan liar dari sederetan petugas di loket pengurusan IMB.

Sementara itu, berdasarkan hasil survey yang dilakukan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) pada tahun 1999, terungkap bahwa untuk pembuatan KTP, kartu keluarga (KK), surat izin mengemudi (SIM), dan paspor, semua pegawai kelurahan bisa berfungsi sebagai calo. Disebutkan dalam survei itu, untuk pembuatan KTP jika tanpa melengkapi persyaratan, alias langsung jadi, biasanya dikenai biaya Rp 100.000 hingga Rp 125.000, padahal dengan biaya resmi hanya dibutuhkan Rp 25.000.

Menurut data yang diperoleh Indonesian Coruption Watch (ICW) pada periode Januari-April 2004, negara mengalami kerugian akibat terjadinya korupsi di Jakarta sekitar Rp 55,449 miliar. Sedangkan pada periode Mei - Agustus 2004 jumlah kerugian negara mencapai Rp 378,500 miliar.

Dengan demikian, sepanjang bulan Januari - Agustus 2004 negara telah dirugikan sekitar Rp 433,949.

Menurut Wakil Koordinator ICW, Luky Djani, pada periode Januari-April 2004, di Jakarta dalam sebulan terjadi minimal lima kali kasus korupsi.

Modus
Berbeda dengan kasus korupsi di wilayah lain, sebaran korupsi di DKI Jakarta (pusat) cenderung merata di berbagai instansi atau departemen. Gambaran ini menunjukkan bahwa korupsi di DKI Jakarta sudah sedemikian kronis.

Melihat modus korupsi, hampir tidak ada yang baru, kecuali modus pembuatan aturan untuk melegalkan tindakan korupsi (korupsi DPRD), katanya.

Sementara berdasarkan laporan dari masyarakat yang diterima ICW, sepanjang bulan Mei-Agustus 2004, penyebaran kasus korupsi di wilayah DKI Jakarta banyak terjadi di Dinas Kependudukan, Departemen Pertahanan, Kimpraswil (Sekarang Pekerjaan Umum), BUMN, atau BUMD, Kantor Samsat, BPN, Kejaksaan Agung, BPK, dan Depdiknas.

Dalam laporan yang disampaikan kepada anggota DPRD DKI periode lalu, Kepala Bawasda DKI Jakarta, Firman Hutajulu mengaku, pada tahun 2004 telah melakukan 48 pemeriksaan reguler. Hasilnya ditemukan 166 kasus penyimpangan dana.

Tindak lanjutnya telah dikeluarkan saran dari 21 temuan, di mana enam temuan wajib menyetor kepada negara atau daerah senilai lebih dari Rp 192,441 juta.

Sedangkan pada pemeriksaan kasuistik yang dilakukan, Bawasda sudah memeriksa 102 kasus dari 104 laporan pengaduan yang diterima. Dari hasil pemeriksaan, 24 kasus berhasil didapatkan bukti penyimpangannya.

Dari jumlah kasus yang terbukti itu, dua kasus mengakibatkan kerugian negara atau daerah Rp 137.319.844.

Tentu penyimpangan itu kelak bisa makin membengkak dengan adanya niat Tim Perumus Raperda Retribusi Daerah yang akan menambah sejumlah unit pungutan lain, seperti perizinan di sektor kepariwisataan dan pembangunan menara telekomunikasi.

Apa pun nanti hasil yang ditelorkan tim perumus, warga Jakarta hanya ingin kotanya melepas predikat sebagai kota terkorup di negeri ini.(Pembaruan/Yumeldasari Chaniago)

Sumber: Suara Pembaruan, 18 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan