KHN Minta Batalkan Perppu Antikorupsi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk membatalkan rencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Permintaan disampaikan oleh Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) JE Sahetapy usai diterima Presiden Yudhoyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Menurut KHN, perppu itu hanya akan menimbulkan dampak politis yang dapat dipermasalahkan oleh legislatif.

Ada gagasan tentang perppu, KHN mengusulkan agar pemerintah tidak menerbitkan perppu karena kalau dalam bentuk perppu itu sifat politiknya sangat kental. Kalau perppu itu very loaded karena muatan politiknya sangat besar, ada sifat darurat dari perppu itu, jelas Sahetapy dalam konferensi persnya bersama beberapa anggota KHN, di antaranya Mardjono Reksodiputro dan Mohammad Fajrul Fallakh.

Pihaknya, lanjut Sahetapy, dalam kesempatan bertemu Presiden itu mengusulkan agar lebih baik pemerintah melakukan amendemen pasal-pasal tertentu dari hukum acara dan hukum material.

Menurut Sahetapy, bila pemerintah hanya melakukan amendemen terhadap pasal-pasal tertentu itu, maka pihak legislatif tidak akan dipusingkan dengan aspek-aspek politiknya.

Kalau itu saja yang digarap (amendemen), diyakinkan pihak legislatif tidak terlalu dipusingkan dengan aspek-aspek politiknya, kata Sahetapy. Ia mengatakan Presiden menyetujui pendapat KHN tersebut.

Menjawab pertanyaan apakah pemerintah tidak akan membuat perppu, Sahetapy menjawab, Kalau usul itu diterima, berarti tidak akan dilanjutkan dengan perppu.

Dalam wawancara khusus dengan Media, Jumat (18/2), Wapres Jusuf Kalla mengatakan pemerintah akan segera mengeluarkan perppu tersebut.

Rencana pemerintah mengeluarkan perppu pertama kali diungkapkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Hamid Awaluddin awal Januari. Ternyata rencana penerbitan perppu antikorupsi ini mengundang silang pendapat dari berbagai kalangan. Perbedaan pendapat itu menyangkut dua hal, yaitu soal pengertian 'ihwal kegentingan memaksa' sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945 untuk menerbitkan perppu, dan substansi perppu itu sendiri.

Pakar hukum pidana Muladi adalah salah satu yang mendukung perppu. Ia mengatakan bahwa kegentingan memaksa tidak harus bersifat fisik, tapi juga nonfisik yang membahayakan keselamatan dan kelangsungan hidup bernegara.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas yang dihubungi Media di Jakarta tadi malam, tidak mempersoalkan apakah pemerintah mengeluarkan perppu atau mengamendemen perundangan yang ada.

Tidak masalah bagi KPK. Benar, jika berbentuk perppu akan menjadi perdebatan menyangkut ihwal kegentingan. Jika membuat UU baru apakah waktunya tidak terlalu lama. Cara terbaik, ya, amendemen, katanya. (Tia/Riz/P-1).

Sumber: Media Indonesia, 22 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan