Keuangan Negara; Status Aset Rp 35,6 Triliun Tak Jelas

Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan aset senilai Rp 35,6 triliun pada enam Badan Usaha Milik Negara atau BUMN yang tidak jelas status hukumnya. Akibatnya, belum ada kepastian hukum yang mengikat atas keberadaan aset-aset tersebut.

Demikian Ketua BPK Anwar Nasution yang menyampaikan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2005 kepada DPR di Jakarta, Selasa (3/10).

Menurut Anwar, ketidakpastian status aset itu melanggar pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara. Dalam aturan disebutkan, penyertaan modal pemerintah di BUMN harus ditetapkan dalam sebuah peraturan pemerintah dan jenis investasi yang jelas. Keenam BUMN itu, Perum Bulog, PT Angkasa Pura I, Angkasa Pura II, Perum Prasarana Perikanan Samudera, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Pertamina, katanya.

Anwar mengatakan, pihaknya menemukan berbagai potensi kerugian negara dalam LKPP 2005. Oleh karena itu, BPK tengah menyusun laporan khusus untuk Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menggali kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan pemerintah.

Laporan itu kami sampaikan pada Pak Hendarman Supanji (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus) dan Taufiequrahman Ruki (Ketua KPK).

BPK kembali menetapkan status disclaimer atau tidak memberikan pendapat atas LKPP 2005, yang merupakan LKPP kedua sejak 61 tahun Indonesia merdeka. Penetapan status itu didasarkan atas berbagai temuan, antara lain Investasi Permanen Lainnya di Bank Indonesia Rp 130,23 triliun yang tidak jelas status hukumnya.

Temuan lainnya adalah pelaporan kas yang tidak memadai pada 1.303 rekening senilai Rp 8,54 triliun atas nama pejabat pemerintah atau instansi. BPK menyoroti, 623 rekening deposito senilai Rp 1,32 triliun dan 680 rekening giro Rp 7,11 triliun.

Tahun lalu kami melaporkan rekening atas nama pejabat, sekarang malah ada rekening berbentuk deposito. Uang negara kok didepositokan. Bagaimana ribanya? katanya.

Harus dihentikan
Menanggapi status disclaimer itu, Direktur Informasi dan Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao mengatakan, pihaknya memiliki program yang sistematik dalam menyusun LKPP. Termasuk dalam program itu adalah penerbitan standar laporan keuangan, aplikasi standar itu, pelatihan, serta penyusunan LKPP itu sendiri, katanya.

Anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, status disclamer harus dihentikan tahun ini juga, karena BPK sudah memberikan status yang sama sejak 2003. Oleh karena itu, menurut Dradjad, pihaknya akan mempelajari sendiri hasil pemeriksaan BPK atas LKPP 2005.

Kalau saya menemukan dugaan tindak pidana korupsi, saya sendiri yang akan melaporkannya kepada KPK dan Kejaksaan Agung. Kalau tidak dilakukan seperti itu, pemerintah tidak akan kapok, katanya.

Pengeluaran di luar APBN untuk pengembalian pajak kepada kontraktor, fee BP Migas dan fee Pertamina merupakan penyalahgunaan wewenang negara. Seharusnya BPK lebih tegas dan menyebutnya sebagai kerugian negara yang menyangkut tindak pidana. Meskipun tidak sampai menguntungkan diri sendiri, tetapi mereka pasti memperkaya pihak tertentu, kata Drajad.

Seharusnya Departemen Keuangan (Depkeu) memprioritaskan penertiban rekening pejabat yang tidak jelas. Rekening itu berpotensi pidana korupsi karena ada ketidakjelasan perhitungan bunga dan administrasinya. Depkeu kesulitan sendiri dalam mengkonsolidasi rekening karena ada rekening yang bisa menyembunyikan sesuatu yang sifatnya pidana

Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Sutisna Prawira mengatakan, pihaknya tidak memiliki tunggakan sebesar Rp 974,5 miliar ke kas negara, tetapi memiliki piutang pada pihak ketiga berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Sistem akuntansi pemerintah menganut accrual basis, sehingga piutang itu baru bisa diterima pembayarannya pada tahun 2006, katanya.(OIN)

Sumber: Kompas, 4 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan