Ketua MA: Retroaktif Bisa Dipakai demi Keadilan Masyarakat

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengatakan bahwa asas hukum tidak berlaku surut (nonretroaktif) bisa dihilangkan untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Asas itu bisa saja diterobos hakim demi keadilan, kata dia seusai salat Jumat di Jakarta kemarin.

Asas nonretroaktif, kata Bagir, sejak awal memang sesuatu yang kontroversial. Di satu sisi, kata dia, asas ini menjamin kepastian hukum agar seseorang tidak diperlakukan sewenang-wenang. Repotnya, menurut dia, di sisi lain tindakan seseorang pada suatu saat, seperti kejahatan kemanusiaan, memang belum ada hukumnya. Akibatnya, Asas nonretroaktif bisa dipersepsikan meniadakan keadilan masyarakat, katanya.

Bagir mengungkapkan, dia dan beberapa teman penegak hukum pernah mengingatkan agar anggota DPR berhati-hati menggunakan asas nonretroaktif. Ini mereka sampaikan sewaktu diminta memberikan masukan dalam penyusunan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, menurut dia, banyak tindak pidana yang terjadi sebelum undang-undang itu disahkan. Ketika itu, kata dia, ia sudah mencontohkan soal peradilan bagi pelanggar hak asasi manusia berat, yang sudah memberlakukan asas retroaktif dalam hukum internasional.

Perdebatan pemakaian asas tidak berlaku surut itu, kata Bagir, pernah terjadi saat hakim mengadili para penjahat Perang Dunia II di Pengadilan Nuremberg. Pihak yang dituduh melakukan kejahatan selama perang menilai mereka tak bisa dituntut karena saat perbuatan itu dilakukan tidak ada hukumnya. Sedangkan bagi korban perang, penjahat perang harus dihukum karena melakukan kejahatan luar biasa. Hakim akhirnya memutuskan menghilangkan asas nonretroaktif, papar Bagir.

Perdebatan soal bisakah sebuah hukum berlaku surut atau tidak kembali mencuat saat ada permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Yang hendak diuji adalah Pasal 68 UU Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Pasal 28i ayat 1 UUD 1945.

Bram Manoppo, pemohon uji materiil, mempersoalkan pasal itu karena menganggapnya bertentangan dengan pasal 28i ayat 1 tentang hak dasar untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. KPK, dinilai Bram, tidak sah menangani kasusnya karena peristiwanya terjadi sebelum 27 Desember 2002, saat diberlakukannya UU KPK.

Mahkamah Konstitusi, dalam keputusannya, menolak permohonan Bram dan KPK tetap berhak menangani kasusnya. Namun, dalam putusan yang sama, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa KPK tak berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK disahkan.

Pertimbangan putusan ini kemudian menuai kekecewaan berbagai pihak, termasuk KPK. Sesungguhnya KPK berharap majelis hakim MK mampu menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan tujuan diterbitkannya UU KPK, kata Ketua KPK Taufiequrachman Ruki seusai pembacaan putusan.

Indonesia Corruption Watch menilai pertimbangan itu akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. ICW menuntut agar undang-undang itu bisa menggunakan asas berlaku surut untuk mengusut kasus-kasus korupsi masa lalu. Upaya pemberantasan perlu cara-cara luar biasa karena sudah menjadi kejahatan yang luar biasa, kata Danang Widoyoko, Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW.

Secara terpisah, kemarin Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, penafsiran yang berbeda-beda atas putusan itu memang bisa terjadi. Tergantung argumen yang dibangun, ujarnya di Istana Negara, Jakarta. Mahkamah Konstitusi, kata dia, hanya membuktikan apakah undang-undang yang dipersoalkan itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Karena tidak mengandung asas retroaktif, permohonan ditolak, katanya. Sedangkan soal penerapan UU itu, menurut dia, tergantung penilaian hakim.

Bekas Ketua Panitia Kerja RUU KPK di DPR, Hamdan Zoelva, mengatakan bahwa DPR memang tidak menyatakan secara tegas apakah UU itu bisa berlaku surut atau tidak. Saat pembahasan, kata dia, banyak yang berbeda pendapat soal asas berlaku surut ini. Namun, menurut dia, sebagian besar anggota panitia kerja menginginkan UU itu bisa berlaku surut karena melihat kasus korupsi yang sudah semakin parah. edy can/ abdul manan

Sumber: Koran Tempo, 19 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan