Ketua MA: Asas Nonretroaktif Bisa Ditembus demi Keadilan

Asas tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif) memang merupakan asas yang kontroversial di dalam hukum. Fungsi asas nonretroaktif ini di satu pihak memang menjamin keadilan bagi seseorang agar tidak diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang serta kepastian hukum, tetapi hal itu tidak berarti bisa mengabaikan rasa keadilan orang banyak.

Demi keadilan orang banyak, asas ini seharusnya bisa ditembus, kata Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan seusai shalat Jumat (18/2). Bagir bersama Mahfud MD dan Profesor Soewoto pernah membahas masalah asas nonretroaktif ini saat pembahasan amandemen UUD 1945. Mereka sebagai ahli saat MPR membahas Pasal 28 I amandemen UUD 1945 pada sidang MPR tahun 2000.

Kami bertiga sampai pukul 3 pagi untuk membahas itu. Kami sudah mengingatkan kepada Ketua MPR untuk berhati-hati dalam memasukkan asas nonretroaktif itu, ujar Bagir.

Sebagai ahli, mereka sadar akan banyaknya tindak pidana yang dilakukan sebelum UU dibuat, seperti UU Pengadilan HAM dan UU Korupsi. Tetapi akhirnya MPR memilih memasukkan asas nonretroaktif di dalam konstitusi. Kami sudah ingatkan itu, tetapi MPR mempunyai kebijaksanaan politik seperti itu, ujar Bagir.

Untuk pelanggaran HAM berat sudah diatur di dalam hukum internasional, yakni hukum nasional tidak bisa memasukkan asas nonretroaktif itu. Perdebatan asas nonretroaktif itu merupakan perdebatan panjang waktu mau menyeret penjahat perang di Pengadilan Nuremberg.

Waktu itu ditembus para hakim dengan menggunakan asas keadilan untuk orang banyak. Fungsi asas nonretroaktif adalah untuk menjamin keadilan agar jangan sampai orang diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang. Tetapi itu tidak berarti jangan sampai kita menjamin keadilan satu orang di sini, tetapi kita tidak adil kepada korban yang banyak, seperti dalam kejahatan perang itu, kata Bagir.

Ia menegaskan, berdasarkan asas keadilan untuk banyak orang itu, maka dalil nonretroaktif itu seharusnya bisa ditembus. Penerapan hukum dari asas nonretroaktif ini seharusnya diatur di dalam UU karena ini asas yang kontroversial, katanya.

Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendiskresikan kewenangan menilai asas nonretroaktif pada penerapan hukum kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bagir mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan Ketua MA. Dia menilai, perlu ada UU yang mengatur soal penerapan hukum asas nonretroaktif ini. MK sendiri waktu memutuskan soal asas nonretroaktif Perpu Terorisme juga menilai bahwa perkara yang sudah putus tetap jalan terus, katanya.

Sementara itu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa KPK akan tetap meneruskan proses penuntutan terhadap dua terdakwa yang saat ini perkaranya sedang ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini berlandaskan pada penegasan Ketua MK yang mengatakan, yang mengikat secara hukum dalam putusan MK adalah amar putusan yang berbunyi bahwa MK berkesimpulan pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga permohonan pemohon harus dinyatakan ditolak.

KPK akan tetap melanjutkan misinya, ujar Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. (VIN)

Sumber: Kompas, 19 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan