Ketua DPRD Sulit Pahami Riau Terkorup

Terkait dengan pembeberan data oleh Komite Pemberantasan Korupsi yang menunjukkan bahwa Riau termasuk lima besar provinsi terkorup di Indonesia, pihak Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Riau Chaidir terkesan masih sulit menerima kenyataan ini. Selain sementara hanya bisa menyatakan sikap amat prihatin, Chaidir juga akan segera berupaya mengklarifikasi kebenaran data tersebut.

Sangat disayangkan provinsi ini tercatat sebagai daerah terkorup. Padahal Riaulah provinsi pertama yang membuat kesepakatan dengan KPK untuk menyelenggarakan good governance. Tentu saja, sebagai pihak legislatif yang memegang fungsi controlling, kami akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Akhir bulan ini, akan kami lakukan pembahasan bersama seluruh tim kerja di DPRD, kata Chaidir, Rabu (23/3) di Pekanbaru, Riau.

Pembeberan data dilakukan KPK melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Senin lalu di Pekanbaru. Dalam urutan data disebutkan Riau menempati urutan keempat provinsi dengan kasus korupsi di tingkat penyelenggara pemerintahan daerah terbanyak dari 32 provinsi di seluruh Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya 432 laporan kasus korupsi yang diterima KPK sepanjang tahun 2004. Total kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 2,7 triliun.

Ketua DPRD Riau menegaskan tak akan menerima begitu saja kebenaran data KPK tersebut. Meski laporan itu adalah peringatan keras bagi segenap penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk di lingkungan DPRD. Namun, melalui kewenangan sesuai dengan fungsinya, DPRD akan menyelidiki sendiri dugaan kasus penyelewengan uang negara di Riau.

DPRD Riau menjadwalkan menjaring data mengenai kasus korupsi melalui kunjungan kerja anggotanya ke sejumlah instansi dan dinas-dinas pemerintahan, mengefektifkan fungsi panitia kerja, serta melakukan dengar pendapat atas segala dugaan penyelewengan keuangan dengan pihak terkait. Hasil penyidikan ini jika dianggap memenuhi prosedur akan segera dilimpahkan ke aparat yang berwenang.

Mengawali upaya pemberantasan korupsi tersebut, Chaidir justru menekankan penerapan transparansi pelaksanaan APBD dan kinerja pemerintahan dan juga di lingkungan DPRD. Tanpa ada kesediaan pada masing-masing pihak untuk transparan , praktik korupsi tidak akan dapat dihapuskan.

Sulitnya Riau menghapus praktik korupsi terlihat jelas dalam upaya pemrosesan hukum bagi para pelakunya. Belasan hingga puluhan kasus korupsi yang dilakukan pejabat di pemerintahan daerah tingkat I dan II terhitung sejak tahun 1999 hingga kini rata-rata masih mengambang, belum ada final keputusan hukuman.

Beberapa contoh kasus yang masih ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dan terus menjadi sorotan masyarakat Riau, antara lain, kasus korupsi penyalahgunaan anggaran DPRD Kampar, DPRD Pelalawan, DPRD Rokan Hilir, DPRD Bengkalis, dan DPRD Siak periode 1999-2004. Total dana yang diselewengkan mencapai Rp 30 miliar lebih.

Juga dugaan tindak pidana korupsi pada pelaksanaan pembangunan Kantor DPRD Pelalawan, serta kantor bupati dan pembangunan rumah Dinas Jabatan Bupati Kabupaten Pelalawan dengan nilai proyek Rp 33 miliar. Kasus dugaan mark up anggaran pembangunan RSUD di Kabupaten Pelalawan bernilai proyek Rp 2,4 miliar.

Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Riau Anto D Holyman beberapa waktu lalu mengatakan, meski tidak ada kepastian waktu pelimpahan kasus korupsi ke pengadilan, pihak Kejati Riau tetap menyampaikan komitmennya bahwa setiap kasus yang ditangani akan tetap diproses hukum.

Namun, untuk mengungkap sebuah kasus korupsi, sama sekali bukan hal mudah. Hal ini, antara lain, karena rata-rata tertuduh pelaku korupsi adalah orang yang memiliki kekuasaan dan latar belakang pendidikan yang tinggi. Mereka biasanya memiliki argumen kuat disertai bukti yang mampu membebaskan sebagai tertuduh.

Akibatnya, Kejati memerlukan waktu lebih lama untuk menemukan bukti-bukti tindak pidana. Pengajuannya ke tingkat pengadilan pun tidak dapat dilaksanakan sekaligus. (nel)

Sumber: Kompas, 24 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan