Ketimpangan Hukum, Aparat Penegak Hukum Harus ‘Jernih’ dalam Mengadili

Ketimpangan Hukum, Aparat Penegak Hukum Harus ‘Jernih’ Dalam Mengadili

Aparat penegak hukum seharusnya tidak bersikap diskriminatif dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini karena dapat berakibat terjadinya fenomena ketimpangan penindakan hukum di Indonesia.

Pengamat hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar mengatakan fenomena ketimpangan penegakan hukum disebabkan kemampuan dan kepemilikan 'sumber daya' materi, kekuasaan, jabatan, dan politik bagi kelas 'atas'. Namun tidak dimiliki oleh  masyarakat kelas 'bawah' dalam proses penegakan hukum. Oleh karenanya, sikap netral yang dimiliki aparat penegak hukum sangat mempengaruhi keadilan, selain faktor adanya sistem dan budaya yang berlaku.

"Ketika hukum mau ditegakkan di tengah masyarakat, ada faktor kepemilikan sumber daya yang tidak merata yang menyebabkan diskriminatif. Ini sangat terlihat saat ini," kata Abdul saat dihubungi antikorupsi.org

Ketidakpastian hukum juga terjadi saat keputusan hakim Sarpin Rizaldi, pada saat penetapan putusan praperadilan yang melompati kewenangannya. Akan tetapi hakim lain masih tetap mematuhi penerapan UU yang berlaku. Akibatnya kekacauan hukum dan imbas dari perbedaan keputusan menyebabkan banyak kerugian, khususnya masyarakat kecil.

"Bukan hanya SDM nya, tetapi faktor ekonomi dalam penanaman modal dari luar negeri ke Indonesia menjadi terpengaruh. Ini bisa menjadi efek jangka panjang akibat inkonsisten si dalam penegakan hukum," papar dia.

Fickar menekankan bahwa Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait konsep peradilan restorative justice. Ketetapan ini seharusnya menjadi pegangan penegak hukum untuk melihat tindak pidana yang tidak menyebabkan banyak kerugian negara. Salah satu persyaratannya ialah kerugian dibawah Rp 2,5 juta dan pelaku tindak pidana yang sudah tua. Seyogyanya seperti kasus Nenek Asyani yang dituduh mencuri 7 batang kayu jati tidak diadili di pengadilan melainkan cukup dilakukan mediasi oleh kepolisian atau kejaksaan.

Fickar sangat menyayangkan penerapan peradilan restorative justice tidak terlihat saat kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Keadilan dan penegak hukum seperti 'tidak satu komando', dan keadaan ini diperburuk dengan kebijakan Menkum HAM Yasonna Laoly yang akan membuka lebar pintu kepada koruptor untuk mendapatkan remisi.

"Beda rezim memang beda kebijakan, Jokowi harus mendorong kebijakan ini agar diterapkan kembali. Padahal di kalangan pimpinan aparat hukum juga telah dikeluarkan surat edaran agar kasus-kasus kecil bisa dimediasi tanpa harus diperadilankan," tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan