Ketika Uang Rakyat Jadi Bancakan Partai

Uji materi pembubaran Badan Anggaran (Banggar) DPR terus bergulir. Pembubaran Banggar mewakili perlawanan terhadap perampokan anggaran negara yang telah berlangsung lama. Partai politik yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat di DPR, malah menggerogoti uang rakyat. Ironisnya, perampokan gotong royong ini dimulai sejak tahap perencanaan di Banggar. Banggar ditengarai sebagai episentrum korupsi di DPR. 

Korupsi politik di Banggar

Ari Dwipayana, Doktor Ilmu Politik di FISIP UGM menekankan bahwa masalah utama korupsi politik adalah kekuasaan yang tidak terkendali. “Fenomena legalized corruption atau korupsi yang seolah-olah legal, terjadi di DPR. DPR mendapatkan struktur dan ruang yang berasal dari aturan, dan dari sisi institusinya. Korupsi yang seolah legal ini berbahaya. Ada payung hukum yang dirancang sedemikian rupa sehingga praktek-praktek yang sejatinya ilegal, tapi karena payung ini, jadi legal. ”

Ary meminta masyarakat mencermati praktek-praktek korupsi. “Secara prosedural, seperti tidak ada masalah. Prosedur dijalanin. Tapi dalam prosesnya, sesungguhnya ada praktek perburuan rente (rent seeking). Peraturan jadi tamengnya. Ini harus kita cermati. Kita harus bisa mengungkap bagaimana legalized corruption ini bisa terjadi.” ujar Ary. 

Abdullah Dahlan, peneliti ICW, menjelaskan bagaimana legalized corruption menggerogoti anggaran. “Ada kewenangan sampai teknis dan detil, di mana Banggar bisa membahas anggaran hingga satuan tiga. Seharusnya pembahasan anggaran itu berjenjang. Pemerintah lalu ke komisi terkait, lalu ke banggar. Banggar harusnya hanya melakukan sinkronisasi. Ini malah mem-bypass proses, malah bikin kebijakan sendiri. ‘Kan luar biasa.”

“DPR harusnya mewakili rakyat. Sehingga, kayaknya nggak mungkin ada oligarki dalam DPR. Tapi, keberadaan Banggar itu ya bentuk oligarki.  Banggar yang sangat kecil berwenang mengambil keputusan-keputusan oligarkis. Keputusan yang seharusnya diambil komisi-komisi,” ujar Ary prihatin. 

Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Centre mengamati Banggar sebagai anomali sejarah. “Banggar yang dulu bersifat ad hoc (sementara), ketika jadi permanen, korupsi malah menjadi-jadi,” ungkapnya.

Menurut Arif, banyak kebijakan anggaran dibuat hanya untuk kepentingan politik, jauh dari kepentingan rakyat. “Ada upaya menggemukkan proyek-proyek yang sedang berjalan dan jaringan-jaringan partai. Akhirnya, muncul krisis integritas yang menimpa banyak anggota DPR.” 

Kini, pembahasan APBN-Perubahan malah menimbulkan proyek-proyek baru. “Padahal APBN-P seharusnya untuk mengevaluasi anggaran sebelumnya. Ini melenceng. Malah muncul item baru yang sebelumnya tidak pernah diusulkan dan dibahas di komisi. Misalnya Lapindo,” Arif mencontohkan.

“Kita nggak ngerti argumentasi parpol, ketika ada proyek berjalan dan anggarannya naik 2 sampai 3 kali lipat. Misalnya ada inflasi, itu ‘kan harus dihitung. Kenaikan BBM juga harus dihitung. Ini nggak pernah ada analisanya. Ini konsekuensi politik, tidak ada analisis anggarannya,” kritik Arif.

Tidak ada mekanisme kontrol

Korupsi di Banggar semakin parah akibat tidak ada pengawasan ketat. “Ketika Banggar bahas anggaran secara rinci hingga satuan tiga, terus mereka juga yang mengawasi, tidak mungkin pengawasan yang baik akan berjalan. Mereka yang membentuk, menjalankan, mengawasi. Mustahil,” kata Arif, “Apalagi, banggar bisa membahas tanpa sepengetahuan komisi,” sambung Ary. 

Very Junaidi, salah satu kuasa hukum koalisi melihat pengawasan sebagai kewajiban. “Kita ingin dorong pengawasan yang kuat. Fungsi anggaran tetap, tapi DPR hanya membahas sampai ke makro ekonomi atau politik anggaran. DPR tidak boleh bahas sampai detail. Nanti, DPR menguatkan pengawasan, sementara fungsi anggaran dijalankan pemerintah.”

Koalisi juga menilai DPR tidak punya cukup waktu dan kemampuan untuk membahas dan menjalankan anggaran hingga sangat rinci. “Mestinya MK juga bisa melihat bahwa ini persoalan konstitusi dan sistem yang dimandatkan konstitusi,” tegas Very, “Yang terjadi hari ini, pengawasan dan melalui pembahasan anggaran, justru membuka peluang korupsi. Peraturan yang menimbulkan dampak praktek itu.” 

Namun, dari perkembangan sidang, beberapa hakim mengutarakan kekhawatiran. “Pak Akil Mochtar bilang: ‘Kalau kewenangan anggaran diberi ke pemerintah, nanti pemerintahnya korupsi juga.’ Atau Hamdan Zoelfa yang bilang, ‘Sekitar 30%-an anggaran negara, ketika pengelolaannya ada di pemerintah, juga tidak jelas,” tutur Very.

Very menjelaskan lebih lanjut, “Dulu ketika kewenangan anggaran ada di pemerintah, korupsi terjadi di  pemerintah. Sekarang, kewenangan anggaran ada di DPR. Apa kita cuma  menggeser kembali korupsi ke pemerintah? Dulu, korupsi terjadi di pemerintah karena DPR-nya tidak mengawasi, cuma jadi tukang stempel. Rezim berganti, aturan berubah.  Sekarang DPR punya kewenangan sangat besar, sampai satuan tiga. Posisinya jadi sama. Harusnya, DPR menggalakkan pengawasan terhadap pemerintah.” 

Ini membuktikan bahwa di manapun kewenangan itu diberikan, akan ada potensi penyimpangan. Very menekankan, “Lagi-lagi, itulah akibat pengawasan tidak berjalan. Kami yakin bahwa pergerseran korupsi tidak akan terjadi kalau DPR mengawasi dengan maksimal, sementara pemerintah memegang kewenangan pembahasan anggaran. “Syaratnya, banggar tidak akan membahas secara rinci. Supaya tidak terjadi konflik kepentingan dan tidak jadi subyektif,” tegas Very.

 

Pendanaan parpol, salah satu pemicu korupsi anggaran

Korupsi anggaran di DPR juga dipicu masalah pendanaan partai. Ary Dwipayana mengungkapkan, “Parpol menghadapi masalah serius untuk membiayai kampanye. Sumber dari anggota makin lama makin turun, sejalan dengan berjaraknya antara partai dengan konstituen. Karena krisis biaya, akhirnya partai mencari sumber alternatif.”

Ary mengakui bahwa negara memang membantu keuangan partai politik. “Tapi tidak cukup. Ada kesenjangan antara subsidi untuk partai dengan pengeluaran partai untuk pemilu. Ketika sumber pembiayaan formal tidak bisa memenuhi, parpol mencari sumber-sumber lain.” 

Sumber pembiayaan alternatif juga diperoleh dari korupsi. “Bisa kita lihat dari bagaimana mereka memperdagangkan pengaruh dan kebijakan,” tukas Ary. “Korupsi politik memang berhubungan dengan keuangan partai dan cara partai mendapat dana. Ini bukan modus tertutup. Ini sudah sangat terbuka.”

Abdullah mengamati bahwa cara paling gampang untuk mendapatkan modal politik adalah membajak sumber daya negara. “Daripada menggalang dana publik? Itu butuh membangun parpol yang sehat, berusaha mendapatkan kepercayaan masyarakat. Prosesnya lama.  Akhirnya jalan pintas diambil, menjadikan kebijakan negara sebagai modal politik.” 

Abdullah mencatat bahwa ada fenomena korupsi oleh partai politik tergambar lewat usaha ICW menguji keterbukaan laporan keuangan partai politik. “Kami menguji sembilan parpol, yang punya realitas berbeda. Belum tergambar bahwa parpol membangun secara institusi, model pendanaan yang sehat.”

Abdullah menjabarkan upaya itu lebih lanjut. “Ada yang disembunyikan parpol dalam hal sumber penerimaan. Partai tidak membangun sistem pendanaan transparan, yang bisa menjadi instrumen awal untuk membangun trust. Mereka malah membajak state resources, salah satunya kebijakan APBN.”

Menurut Abdullah, ini keprihatinan besar jelang pemilu. “Oleh kesaksian Nazarudin, ada sejumlah proyek yang mengalir ke fraksi. Bisa dibayangkan, kebijakan sudah tidak dibicarakan untuk kepentingan publik, tapi menjadi arena transaksi untuk kompromi kepentingan partai. Dana Bansos di APBN adalah salah satu yang mengonfirmasi itu. 76 triliun, dari APBN untuk pemerintah pusat khusus bansos.” 

“Sepanjang partai politik tidak bisa mendanai diri mereka secara independen dan sumber-sumbernya sah, sepanjang itu pulalah mereka akan mencari sumber-sumber pendanaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” Ary mengingatkan.

“Fakta di persidangan, ahli menyampaikan bahwa anggaran “haram” yang ada di parpol itu 60% dari kebutuhan mereka per tahun. Ini sangat rasional sekali. Ada parpol sekarang yang membuang dan menghabiskan uang 30 miliar untuk kongres saja. Itu keterangan Yulianis. Belum operasional, iklan, dan lain-lain. Biaya politik tinggi, ujung-ujungnya ya korupsi,” jelas Very. 

Tujuh kasus tersebut adalah kasus DPID yang melibatkan Wa Ode Nurhayati, Wisma Atlet, Hambalang, kasus pengadaan Al-Qur’an di Kementerian Agama, Kasus PON, kasus PLTU Tarakan, dan kasus korupsi di Kemdikbud. Tujuh kasus ini, menurut koalisi, menunjukkan gejala transaksi politik  ada di Banggar.

Abdullah menjelaskan, “Kewenangan Banggar memang sangat besar. Kalau kita melihat dengan pendekatan korupsi, sebenarnya ketika kewenangan luar biasa dimiliki kekuasaan tanpa ada kontrol dan transparansi proses, maka korupsi rawan terjadi.”

“Kita tidak ingin kebijakan anggaran publik tersandera bahkan terbajak, jadi bancakan kepentingan partai, bukan untuk kebaikan yang lebih luas.” tutup Abdullah.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan