Ketika Tenda Biru Bermunculan

Ada pemandangan unik di sepanjang Sungai Kapuas sekarang ini. Kayu-kayu gelondongan yang jumlahnya 200-300 batang dijalin menyerupai rakit raksasa sehingga memenuhi pinggiran sungai. Lalu lintas sungai menjadi agak terganggu karena rakit tersebut panjangnya bisa lebih dari 100 meter dengan lebar lebih dari 25 meter.

RAKIT tersebut ditarik kapal dari bagian hulu ke bagian hilir sungai selama berhari-hari, bahkan bisa sampai dua pekan. Di tengah rakit raksasa, ada bangunan sederhana terbuat dari kayu. Di tempat inilah pemilik kayu tinggal, beristirahat dan memasak saat menghanyutkan kayu. Karena atap bangunan itu biasanya cuma terbuat dari terpal plastik warna biru untuk menahan hujan, masyarakat menyebutnya tenda biru....

Tidak sembarangan waktu tenda biru itu bermunculan di Sungai Kapuas. Biasanya, tenda biru itu bermunculan saat musim hujan ketika air sungai sedang deras. Saat itulah waktu yang paling baik untuk menghanyutkan kayu. Adapun musim kemarau digunakan untuk menebang kayu sebanyak-banyaknya, kata seorang pemilik kayu di Sungai Kapuas.

Bisa ditebak dari mana kayu tersebut berasal. Kayu itu memang hasil tebangan liar masyarakat yang biasanya dilakukan di bagian hulu sungai yang susah dijangkau. Hasil tebangan perseorangan, yang jumlahnya 5-10 batang kayu dan masing-masing berdiameter 50- 100 sentimeter, itu kemudian dikumpulkan.

Apabila sudah terkumpul lebih dari 20 penebang atau lebih dari 300 batang, kayu tersebut dijalin menjadi rakit kayu gelondongan. Kayu-kayu itu diikat menjadi satu agar tak tercerai-berai saat melintasi arus sungai yang deras.

Beberapa orang penebang kemudian dipercaya untuk membawa dan menjual kayu itu ke bagian hilir dengan ditarik menggunakan kapal tarik (tugboat) sewaan. Tidak murah pula untuk menarik kayu tersebut dari Kabupaten Kapuas Hulu ke Pontianak yang berjarak 800 kilometer karena tarifnya sekitar Rp 120 juta.

Biaya ini belum termasuk sopoy atau uang pungutan liar (pungli) sepanjang perjalanan di sungai itu. Pungutan liar biasanya dilakukan di tujuh titik, yakni di Kecamatan Semitau dan Kecamatan Silat, keduanya di Kabupaten Kapuas Hulu; di Sintang, Kabupaten Sintang; di Kecamatan Semuntai, Kabupaten Sekadau; di Kecamatan Sanggau, Kabupaten Sanggau; di Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak; serta Sukalanting, Kabupaten Pontianak.

Besarnya pungutan di tujuh titik itu sekitar Rp 7 juta-Rp 8 juta. Pungutan liar diduga dilakukan oknum polisi dan oknum dinas kehutanan.

Pungutan liar itu dilakukan karena petugas mengetahui kayu-kayu itu tidak dilengkapi dokumen yang sah, seperti surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Karena tidak dilengkapi dokumen, ketika kayu itu dijual, harganya lebih murah dari harga pasaran.

Karena harganya murah inilah, perusahaan kayu sangat berminat membelinya. Apalagi, kayu-kayu tersebut diantar langsung sampai ke perusahaan sehingga tidak ada risiko tertangkap petugas maupun membayar pungutan liar selama perjalanan.

Jika perusahaan kayu yang membeli, kayu tersebut diolah menjadi kayu lapis (plywood). Adapun jika yang membelinya perusahaan penggergajian kayu (sawmill), maka kayu tersebut dipotong menjadi balok-balok kayu.

Kayu hasil tebangan liar inilah yang akhir Februari lalu disita aparat Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat (Kalbar) di perairan Sungai Kapuas, tepatnya di Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sekitar 1.500 batang kayu bulat atau sedikitnya 3.000 meter kubik atau setara dengan 200 truk. Kayu tersebut, berdasarkan pemeriksaan polisi, berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu yang jaraknya sekitar 814 kilometer dari Pontianak. Jika harga kayu bulat Rp 400.000 saja per meter kubik, maka kayu hasil tebangan liar tersebut harganya sekitar Rp 1,2 miliar.

Karena itu, kami akan serius menangani kasus illegal logging ini, kata Kepala Polda Kalbar Brigadir Jenderal (Pol) Nanan Soekarna.

KAYU yang disita tersebut tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan banyaknya kayu hasil tebangan liar di Kalbar. Apalagi, kayu yang dihanyutkan dalam bentuk rakit-rakit kayu tersebut umumnya kayu yang kualitasnya kelas dua sehingga bisa mengambang di air.

Adapun kayu hasil tebangan liar dengan kualitas nomor satu, seperti kayu ulin dan kayu bangkirai, tidak bisa dihanyutkan karena berat jenisnya 1,04 sehingga akan tenggelam di air. Karena itulah, kayu yang kualitasnya nomor satu dan harganya di atas Rp 1 juta per meter kubik ini lazimnya diangkut menggunakan tongkang dan ditarik tugboat menuju lokasi perusahaan.

Pelaku penebangan liar bukan hanya perseorangan yang menggunakan gergaji mesin, tetapi sebagian besar justru perusahaan terkemuka yang menggunakan alat-alat berat untuk menebang kayu. Mereka juga mempunyai modal besar sehingga dengan mudahnya menyuap petugas sejak melakukan penebangan hingga pengangkutan.

Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Tri Budiarto mengatakan, pihaknya berharap para pengusaha perkayuan tidak lagi menggunakan kayu-kayu yang tidak jelas asal usulnya. Jika pengusaha perkayuan terus menampung dan membeli kayu yang tidak dilengkapi dokumen, berarti mereka mendorong terjadinya penebangan liar.

Tri mengungkapkan, kalau di lihat dari jatah tebangan, semestinya Kalbar hanya mendapat jatah tebang sekitar 340.000 meter kubik di tahun 2005. Dari jumlah itu, sampai saat ini hanya ada lima perusahaan yang mendapatkan rencana kerja tahunan (RKT) untuk boleh melakukan penebangan. Dan, itu hampir semuanya berasal dari Kabupaten Ketapang. Sementara di kabupaten lainnya di Kalbar tidak ada perusahaan yang mendapat RKT tersebut.

Karena itu, semestinya di Kalbar, selain di Kabupaten Ketapang, tidak ada lagi penebangan kayu. Jika masih terjadi penebangan kayu di daerah lain, patut dicurigai legalitasnya, kata Tri.

Kalaupun mereka berdalih menggunakan surat izin hak pemanfaatan hasil hutan (HPHH) skala 100 hektar, juga tidak bisa lagi karena izin tersebut sudah dicabut dua tahun lalu.

Kalau masih ada penebang yang menggunakan izin HPHH, pasti kayunya sudah jelek karena hasil tebangan tiga tahun lalu. Kalau kayunya masih bagus, berarti kayu itu hasil tebangan ilegal beberapa bulan lalu, kata Tri.

Selain menggunakan HPHH, modus yang kini marak digunakan adalah menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) untuk beberapa kali pengangkutan kayu. Ada pula pengusaha yang membawa SKSHH dari satu kabupaten, tetapi kayunya berasal dari kabupaten lain.

Di sinilah kami minta kecermatan petugas di tingkat kabupaten agar tidak sembarangan mengeluarkan dokumen negara tersebut. SKSHH harus disesuaikan dengan kondisi dan fisik kayu, kata Tri.

Kini, gara-gara petugas gampang mengeluarkan SKSHH, perdagangan kayu tidak lagi dalam bentuk bulat, tetapi terangan-terangan untuk ekspor dengan menggunakan kontainer atau peti kemas. Kayu tersebut disertai dokumen ekspor, tetapi ternyata SKSHH kayu tersebut diragukan keasliannya.

Seperti yang disita Brimob Polda Kalbar akhir Februari lalu, 12 kontainer kayu untuk ekspor tersebut diduga menggunakan dokumen SKSHH yang bermasalah. Dokumen SKSHH kayu tersebut berasal dari Pontianak, tetapi kayunya berasal dari daerah lain.

MODUS yang sedikit berbeda terjadi di Kalimantan Timur. Untuk melakukan penebangan kayu, bisanya digunakan dokumen HPHH skala 100 hektar yang dikeluarkan di tingkat kabupaten. Berbekal dokumen ini, penebang merasa kegiatannya sah dan bahkan berani mengangkut kayu itu hingga ke Kota Samarinda menyusuri Sungai Mahakam sepanjang 500 kilometer.

Padahal, dokumen tersebut tidak berlaku lagi, kata Kepala Polda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Budi Utomo.

Tidak sekadar ke Samarinda, sebagian kayu-kayu tersebut biasanya dikirim ke Malaysia. Selain menggunakan jalur darat menuju perbatasan Kalimantan Timur dan Sabah, Malaysia, pengiriman tersebut juga melalui laut lewat Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

Modus yang sering dilakukan antara lain adalah berpura-pura berangkat dari Kabupaten Nunukan menuju Kabupaten Berau. Lalu, ketika petugas lengah, kapal dibelokkan ke perairan Tawau, Malaysia. Petugas sudah berupaya maksimal. Tetapi, karena petugas terbatas, sedangkan perairan yang harus diamankan sangat luas, beberapa kapal mungkin saja lolos, kata Budi Utomo.

Adapun di Kalimantan Barat, penyelundupan kayu ke Malaysia masih tetap marak. Penyelundupan kayu di Kabupaten Kapuas Hulu yang paling ramai antara lain dari Kecamatan Nanga Badau menuju Lubok Antu, Sarawak, Malaysia.

Modus maupun jalur-jalur penyelundupan ini sebenarnya sudah diketahui petugas. Namun, entah mengapa, semuanya seolah-olah menutup mata sehingga penebangan dan penyelundupan kayu masih terus berlangsung hingga sekarang. (M SYAIFULLAH/TRY HARIJONO)

Sumber: Kompas, 5 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan