Ketika Kepercayaan Dipersoalkan

Sangkaan keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen telah memunculkan cobaan baru bagi Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap komisi yang berdiri pada tahun 2003 itu. Cobaan ini berbeda dengan sebelumnya, yang umumnya berkisar pada kewenangan yuridis formal KPK, seperti tentang kewenangan penyadapan yang dimiliki komisi itu atau keabsahan putusan yang diambil setelah Antasari tidak aktif sebagai ketua.

Kepercayaan masyarakat terhadap KPK makin dimainkan saat Antasari membuat testimoni bahwa sejumlah pejabat komisi itu menerima aliran dana dari Direktur Utama PT Masaro Anggoro Widjojo.

Anggoro ditetapkan sebagai tersangka karena menyuap mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Emir Faisal agar mendapatkan proyek dalam Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

Kedua kasus di atas memang belum terbukti secara hukum. Antasari belum diajukan ke pengadilan. Empat pimpinan KPK juga sudah menolak mentah-mentah isi testimoni ketua nonaktifnya. Bahkan, mereka telah melaporkan ke polisi sejumlah pihak yang diduga terkait dengan testimoni itu, seperti Antasari dan sahabatnya, Eddy Sumarsono.

Pimpinan KPK juga menyatakan, kasus yang menimpa Antasari tidak mengganggu mereka. Salah satu buktinya, menurut Wakil Ketua KPK M Jasin, selama Antasari tidak aktif, sudah ada 23 kasus yang dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan. Kasus tersebut beberapa di antaranya bahkan yang sepertinya sulit diungkap waktu Antasari masih aktif. Misalnya dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004, seperti yang dilaporkan Agus Condro Prayitno, mantan anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Belum cukup
Namun, berbagai usaha pimpinan KPK tersebut agaknya belum cukup mampu mengatasi dua cobaan itu.

Ada sejumlah pertanyaan di masyarakat yang belum terjawab. Misalnya, mengapa ketua komisi itu sampai diduga terlibat dalam tindak pidana serius, yaitu pembunuhan berencana. Juga, mengapa antara Antasari dan empat pimpinan lainnya komisi itu, yang sebelumnya terlihat kompak dan gagah berani memberantas korupsi, sekarang saling serang dalam kasus dugaan suap? Bagaimana sistem di internal KPK sehingga berbagai masalah itu sampai terjadi?

Berbagai pertanyaan itu muncul karena selama ini KPK dikenal sebagai lembaga yang bersih, profesional, dan kredibel.

Menurut Danarka Sasangka, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dampak dari turunnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu institusi tidak kalah buruk, bahkan dapat lebih buruk jika dibandingkan saat institusi itu diserang secara yuridis formal.

Bahkan, ketika sebuah institusi mulai dipersepsikan buruk oleh masyarakat, legitimasi moral dan sosialnya sudah mulai runtuh.

Ketika itu terjadi, kekuasaan formal yang dimiliki institusi itu sudah tidak banyak berarti, bahkan akan menjadi bahan sinisme, olok-olok, dan kecurigaan masyarakat. Ini sudah dialami sejumlah institusi di Indonesia.

Aura berbeda
Sampai sekarang, memang belum ada kajian ilmiah yang menunjukkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap KPK setelah munculnya kasus pembunuhan Nasrudin dan testimoni Antasari.

Namun, seorang pengacara pernah berujar singkat, ”auranya sudah berbeda”, ketika beberapa waktu lalu memasuki Gedung KPK untuk mendampingi kliennya yang diperiksa.

Ketidakhadiran saksi untuk diperiksa di KPK juga mulai lebih sering terdengar.

Agus Sudibyo dari Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi menuturkan, munculnya sejumlah pertanyaan yang berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK tidak dapat dilepaskan dari gencarnya pemberitaan media tentang berbagai persoalan yang ada di komisi itu.

Namun, lanjut Agus, langkah media ini tidak dapat disalahkan sebab pemberitaan media masih berimbang dan proporsional. Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini masih diberikan tempat yang wajar.

Pemberitaan atas kemelut yang sedang terjadi di KPK juga menjadi bagian dari kontrol masyarakat atas lembaga itu. Sebab, KPK merupakan lembaga yang dibiayai dari anggaran negara.

”Yang sekarang dibutuhkan KPK tidak hanya membuktikan bahwa kinerja mereka tidak terpengaruh oleh masalah yang belakangan terjadi, tetapi juga membuktikan bahwa berbagai berita negatif yang sekarang berkembang tidak benar,” ucap Agus.

Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch menambahkan, KPK juga perlu menunjukkan ke masyarakat bahwa mereka memiliki sistem yang terkontrol baik dan mengikat siapa saja yang ada di dalamnya. Jadi, semua penyelewengan dapat dengan mudah diketahui dan siapa saja yang bersalah akan mendapat sanksi.

Komite etik
Hal ini setidaknya dapat dilakukan KPK dengan segera membentuk Komite Etik untuk menangani dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Antasari.

Masalahnya, dengan alasan data yang dikumpulkan belum cukup, komite itu belum juga dibentuk. Padahal, KPK sudah mewacanakan pembentukan komite itu sejak pertengahan Mei lalu atau sebelum testimoni Antasari mencuat ke permukaan.

Beberapa dari dugaan pelanggaran etika oleh Antasari itu juga sudah diketahui masyarakat. Misalnya bermain golf dan bertemu dengan orang yang bermasalah dengan KPK.

Penundaan pembentukan Komite Etik itu, menurut Boyamin Saiman dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia, akhirnya dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat.

Misalnya, penundaan sengaja dilakukan sampai Antasari ditetapkan sebagai terdakwa dan diberhentikan tetap. Pada saat itulah Komite Etik menjadi kehilangan relevansinya di masyarakat.

Kalau ini sampai terjadi, dapat dipastikan kepercayaan masyarakat terhadap komisi itu akan semakin berkurang.

Akan muncul pertanyaan selanjutnya, seperti, buat apa mempertahankan KPK jika lembaga itu ternyata juga tidak seperti yang diharapkan? [M Hernowo]

Sumber: Kompas, 4 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan